Women Lead Pendidikan Seks
June 30, 2020

Tak Ada Cium Tangan dan Tidur di Barak: Bagaimana Pesantren Sikapi ‘New Normal’

Kebiasaan hidup komunal memunculkan tantangan bagi pesantren dalam menjalankan protokol kesehatan di tengah pandemi.

by Siti Parhani, Social Media Coordinator
Issues
Share:

Setelah sektor bisnis serta perkantoran perlahan mulai dibuka, kini giliran institusi pendidikan yang sedang dipersiapkan untuk segera beroperasi kembali. Bagi institusi pendidikan formal umumnya, penerapan protokol kesehatan new normal mungkin tak sesulit pengaplikasian di pesantren yang bersifat komunal, di mana hampir semua kegiatan dilakukan bersama-sama.

Tercatat ada 28.000 pesantren di Indonesia dengan jumlah total santri sekitar empat juta orang. Pandemi selama ini telah menghantam pesantren secara finansial, termasuk juga komunitas di sekitarnya yang bergantung secara ekonomi dari pesantren. Semua santri telah kembali ke rumah orang tua masing-masing untuk menghindari penyebaran virus corona di pesantren.

Lukman Haris Dimyati, Koordinator Gerakan Ayo Mondok dan Pengasuh Pesantren Termas Pacitan, Jawa Timur, mengatakan banyak tantangan dalam membuka kembali pesantren dan menjalankan protokol kesehatan sesuai imbauan pemerintah. Keterbatasan tempat untuk santri membuat pembatasan sosial sulit dilakukan.

“Ya, misalnya satu ruangan itu 15 orang. Kalau sesuai standar protokol seharusnya hanya empat sampai lima orang, tapi ya bagaimana, sulit kan. Enggak mungkin bangun tempat baru. Pesantren juga secara finansial terpukul sekali,” ujar kyai yang akrab dipanggil Gus Lukman itu,  dalam webinar “Dampak COVID-19 pada Kesehatan Mental Santri” (19/6).

Webinar tersebut diselenggarakan oleh Klinik Misinformasi. Klinik Misinformasi adalah sebuah kampanye kolaboratif yang bertujuan untuk memberantas berita bohong terkait COVID-19, dengan cara mengedukasi pengguna internet agar bijak dalam mengkonsumsi berita di dunia digital dan menghubungkan mereka dengan sumber informasi yang akurat dan terpercaya.

Baca juga: 5 Cara Atasi Bias Gender di Pondok Pesantren

Kampanye ini didorong oleh Purpose Climate Lab, melibatkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), MAFINDO atau Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia, Gusdurian, Gerakan Ayo Mondok, RMI PBNU, Magdalene, Remotivi, Gerakan Islam Cinta, Compassionate Action Indonesia, dan Hello Sehat.

Tantangan besar

Gus Lukman mengatakan, sebuah survei yang dilakukan baru-baru ini oleh Pesantren Termas menunjukkan bahwa 60 persen santri ingin segera kembali ke pesantren karena rindu kebersamaan di pesantren. Sedangkan sisanya enggan pulang karena takut menularkan sesuatu kepada guru dan kyai di pesantren, tambahnya.

Beberapa pesantren di Jawa Timur sudah mulai membuka kembali pondoknya, menguji efektivitas regulasi new normal. Psikolog keluarga dan Koordinator Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid mengatakan, harus dipahami bahwa protokol cegah COVID-19 berseberangan dengan kultur pesantren yang di kesehariannya tidak memiliki sekat antar individu, dari mulai makan, tidur, sampai belajar bersama-sama.

Karenanya, perubahan perilaku yang akan terjadi berlangsung drastis, dari mulai kebersihan, menjaga jarak, hingga cara berinteraksi dengan sesama pemondok.

“Ketiga proses proses adaptasi yang berat tersebut tentu akan mengagetkan mereka. Belum lagi yang tidak benar-benar paham dengan COVID-19 pasti harus diberi pemahaman terlebih dahulu,” ujar Alissa.

“Memang pemberlakuan new normal ini harus ada disiplin diri yang besar, dan pengawasan dari pengasuh pesantren juga penting supaya protokol kesehatannya berjalan,” tambahnya.

Pesantren sebagai penanggung jawab santri harus memfasilitasi dan memberi pemahaman tentang perubahan kultur serta tradisi di pesantren, serta membantu santri untuk beradaptasi dengan new normal, ujar Alissa.

Baca juga: Kemendikbud dan Plan Indonesia Dorong Pendidikan Setara bagi Seluruh Murid

“Pesantren sebaiknya memperjelas perubahan perilaku yang akan dicapai, memperjelas protokol kesehatan dan protokol perilaku baru. Bagaimana santri supaya disiplin serta membentuk kematangan diri,” ujar Alissa.

Menurutnya, situasi sulit ini sebetulnya merupakan peluang bagi pesantren untuk membentuk santri yang lebih matang juga independen.

Dosen Ilmu Komunikasi serta pemerhati sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati mengatakan, pesantren sebetulnya punya keunggulan dibanding institusi pendidikan lain yang bisa dijadikan modal dalam menghadapi kondisi new normal ini. Lockdown sendiri bukan sebuah konsep baru bagai santri yang memang memiliki lingkungan terpisah, sehingga secara tidak langsung pesantren sudah punya kontrol yang jelas terhadap kehidupan sehari-hari santrinya.

“Santri itu juga sudah biasa bertahan tanpa gawai di pesantren, melakukan sesuatu yang lebih bermanfaat,” ujar Devie.

Selain itu, karena terbiasa melakukan segala sesuatu bersama-sama, santri memiliki keunggulan dalam menjaga hubungannya dengan sesama teman di lingkungannya. Akibat tidak bergawai, santri juga pandai menghibur sendiri dan memiliki rasa humor yang tinggi, sesuatu yang berguna dalam menjaga kesehatan mental.

“Santri juga memiliki kepercayaan diri, mental yang dibentuk dalam memimpin teman-temannya,” ujarnya.

“Semuanya mereka sudah punya, meski secara fisik rentan karena tempat untuk santri yang minim, tapi secara mental dan psikologis santri bisa jadi lebih kuat dan siap dibandingkan sekolah formal lainnya,” kata Devie.

Bisa dipanggil Hani. Mempunyai cita-cita utopis bisa hidup di mana latar belakang manusia tidak jadi pertimbangan untuk menjalani hidup.