Pada Jumat (21/1), saya baru saja mendapatkan kabar duka. Salah satu bude saya, kakak dari ibu menghembuskan napas terakhir di kediamannya, Jakarta Timur. Berita tersebut sontak membuat grup WhatsApp keluarga besar saya riuh. Mama yang notabene adalah adik dari mendiang, hanya bisa duduk termangu mendengar berita ini. Papa langsung meminta kami sekeluarga untuk pergi ke kediaman almarhumah untuk memandikan dan menguburkannya di hari yang sama.
Sesampainya di kediaman bude, semua orang hanya bisa terdiam dan beberapa orang di antaranya adalah anak-anak bude tidak bisa menahan tangis. Namun, di tengah suasana duka ini, sayangnya saya tidak merasakan apa-apa. Saya tidak merasakan sedih begitu hebat apalagi menangis.
Bahkan ketika saya mengikuti segala prosesnya, perasaan hampa saya tidak kunjung berubah. Saya hanya bisa terdiam dengan pikiran luar biasa bingung, kenapa saya tidak berduka seperti yang lain? Saya pun tidak kuasa menyalahkan diri sendiri karena tidak bisa bersikap dengan seharusnya.
Apa yang saya alami ini ternyata juga dialami oleh kedua teman saya. Amalia, 23, yang baru saja menyelesaikan kuliah S1. Ia bercerita tentang rasa bersalahnya karena tidak bisa merasakan perasaan duka ketika ada sanak saudaranya yang meninggal. Ia bahkan bingung bagaimana harus memosisikan diri di depan orang lain ketika ada sebuah kabar duka.
Baca Juga: Adakah Cara Berduka yang Tepat Saat Pandemi?
“Aku enggak tau ini normal atau enggak, tapi aku pernah mengalami kondisi di mana aku enggak bisa merasakan apa-apa ketika ada sanak saudaraku meninggal. Aku malah enggak kepikiran tentang perasaanku, karena lempeng aja gitu rasanya. Aku kadang bingung harus memosisikan diriku di depan orang lain. Duh, ini aku respons ini salah enggak, sih? Umumnya orang respons kayak aku enggak, sih?” tutur Amalia.
Hal senada terjadi pada “Lila”, 27, karyawan swasta yang baru saja kehilangan ayahnya. Ia mengatakan bagaimana ia tidak berduka seperti kebanyakan orang kehilangan salah satu orang tuanya. Ia justru merasa biasa aja dan ini membuatnya sedikit merasa bersalah.
“Aku enggak ngerasain apa-apa waktu tahu ayah meninggal. Aku jadi bingung sama diriku sendiri sampai temanku bilang untuk menormalisasi feel nothing jika ada anggota keluarga kita meninggal. Ya, I do feel nothing tapi tetap aja ada rasa bersalah” curhat Lila.
Absennya Perasaan Duka Seseorang
Absennya perasaan duka yang dialami baik oleh saya, Amalia, dan Lia ternyata bukan sebuah kasus yang aneh. Dalam psikologi, apa yang kami rasakan ini adalah absent grief. Kamus Psikologi Asosiasi Psikolog Amerika (APA) mendefinisikan "rasa duka yang tidak ada" atau absent grief sebagai suatu bentuk kesedihan yang rumit yang dialami oleh seseorang di mana mereka tidak menunjukkan, atau hanya sedikit, tanda-tanda kesedihan tentang kematian seseorang.
Dikutip dari What’s Your Grief, banyak deskripsi dan definisi untuk menjelaskan adanya ketidakhadiran kesedihan yang menempatkannya di bawah kata "kompleks" atau "rumit". Orang mungkin merasa malu bahwa mereka tidak merasakan perasaan yang lebih intens daripada yang mereka rasakan, dan cenderung menyimpan pikiran itu untuk diri mereka sendiri. Hal inilah yang memunculkan pertanyaan, “Apa yang salah dengan saya, dan mengapa saya tidak berduka seperti yang seharusnya?”
Baca Juga: Pelajaran dari Kematian Ayah
Pertanyaan ini sering kali membuat kita merasa bersalah, karena kita menghadapi sesuatu situasi di mana kita merasakan sesuatu yang tidak bisa diidentifikasi dengan jelas dan masalah ini pun tidak dapat dilihat orang lain. Sering kali perasaan bersalah ini membuat kita merasa semakin terisolasi. Tekanan inilah yang kemudian disebut dengan self-stigma.
Tiga Alasan Mengapa Kamu Tidak Merasakan Duka
Agar self-stigma yang kita alami dari absent grief tidak berlarut-larut maka kita harus mengetahui satu hal penting. Bahwasanya setidaknya ada tiga alasan mengapa seseorang mungkin merasa mereka tidak berduka sebanyak yang mereka harapkan. Pertama adalah perbedaan asumsi dan realitas terhadap perasaan duka.
Dalam halaman website Pathways Home Health and Hospice, dijelaskan bahwa gagasan individiu tentang bagaimana seharusnya kita berduka dan memperlihatkan emosi sedih mulai terlihat dan terbentuk sejak usia dini. Bahkan ketika sebelum kita mengalami momen kehilangan, ada faktor-faktor eksternal yang bermain dalam membentuk gagasan mengenai duka.
Faktor-faktor eksternal ini misalnya ada dalam keyakinan spiritual, sikap budaya, norma-norma sosial, hingga sejarah keluarga (misal dalam sejarah keluarga kematian selalu identik kematian tragis dengan tangisan nyaring semua anggota keluarga). Dalam masyarakat abad ke-21, gagasan tentang kesedihan dan duka ini diperkuat dengan adanya teknologi. Film atau serial secara tidak langsung mengajarkan kita cara berduka dan acapkali adegan-adegan ini sangat didramatisasi. Maka tidak mengherankan, gagasan berduka ini terinternalisasi dalam diri kita yang secara tidak langsung menjadi “panduan” bagi kita tentang bagaimana seharusnya duka diwujudkan dalam sikap.
Kedua, kita mengalami anticipatory grief. Dalam laman website Health Direct, dijelaskan bahwa anticipatory grief adalah kesedihan yang sudah dialami oleh individu bahkan sebelum mereka kehilangan. Dalam hal ini individu memahami sebuah kondisi di mana orang yang ia kenal atau cintai tidak bisa lepas dari kemungkinan kematian yang nyata. Oleh karenanya, anticipatory grief biasanya dialami oleh individu yang memiliki hubungan dengan seorang lansia, seorang dengan penyakit kronis, atau memiliki kecenderungan bunuh diri.
Anticipatory grief tidak berarti kesedihan seseorang akan berkurang, tetapi ini berarti mereka dapat memproses aspek kerugian dari sebuah kehilangan lebih lambat. Anticipatory grief juga dapat menyebabkan seseorang mengalami pikiran dan emosi yang terasa bertentangan dengan duka, tetapi sebenarnya sangat umum. Misalnya, orang tersebut mungkin merasa lega karena penderitaan seseorang ia kenal atau cintai telah berakhir.
Baca Juga: Persoalan Memotret Orang Sakit atau Berduka Tanpa Izin
Ketiga, rasa duka memang belum kamu alami sepenuhnya. Hal ini umum terjadi bagi kita yang terlalu terkejut dengan kehilangan tiba-tiba seseorang, sehingga kita belum bisa memproses informasi yang kita dapatkan. Banyak dari orang yang baru merasakan kesedihan dan duka nyata ketika dihadapkan dengan individu, tempat, atau benda tertentu. Misalnya, seorang perempuan tidak merasakan apa-apa ketika mengetahui ibunya meninggal. Baru setelah berminggu-minggu setelahnya ketika ia sedang di dapur memasak masakan favorit mendiang ibunya, ia merasakan rasa kehilangan yang sangat mendalam.
Perasaan sedih dan duka yang belum sepenuhnya dialami juga datang dari fakta di mana kita terlalu fokus dengan secondary losses. Hal ini mengacu pada bagaimana seseorang “menunda” kesedihannya karena lebih fokus kepada hal-hal yang harus mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar orang-orang yang mendiang tinggalkan. Misalnya, seorang adik harus memastikan anak-anak mendiang kakaknya dirawat dengan baik dan mengurus segala kebutuhan mereka.
Kamu Tidak Aneh, Kamu Normal
Dr. Alejandra Vasquez, Konselor Duka bersertifikat dalam artikel Cake mengungkapkan bagaimana absennya perasaan duka adalah sebuah perasaan yang valid. Tidak ada cara yang benar atau salah dalam berduka, karena setiap orang memiliki kondisi spesialnya masing-masing dalam menerima kenyataan bahwa orang yang mereka kenal atau sayangi telah meninggalkan kita selamanya.
Penting untuk diingat bahwa tidak menangis setelah mengalami kematian seseorang tidak apa-apa. Tidak apa-apa untuk tidak merasakan apapun selama beberapa hari atau minggu setelahnya. Tubuh kita pun memproses reaksi kesedihan yang berbeda pada saat-saat pertama setelah mengalami kehilangan. Coping mechanism tertentu misalnya dapat dipicu segera setelah kita mendengar berita duka, sehingga kita bisa lebih baik menekan rasa sakit akan kehilangan dari orang lain.
Kita mungkin merasa bahwa kita harus memiliki respons kesedihan yang lebih signifikan karena kita memiliki hubungan keluarga dengan orang yang meninggal atau karena kita pernah dekat dengan mereka. Namun, terkadang kerabat darah sekalipun hanya terhubung lewat gelar dan nama. Selama kita hidup, kita mungkin akan kehilangan kontak serta tidak memiliki koneksi emosional yang mendalam dengan mereka.
Tidak adanya perasaan atau emosi setelah kita menderita kehilangan tidak berarti ada yang salah dengan kita. Tidak apa-apa untuk mengalami kesedihan dalam bentuk apa pun yang dimanifestasikan, baik melalui air mata atau perasaan lain. Tidak adanya kesedihan juga merupakan cara berduka.
Lagipula, duka bukanlah sebuah kompetisi. Tidak ada standar untuk mengukur siapa yang paling berduka, dan tidak ada hadiah untuk orang yang paling banyak berduka atau paling lama berduka. Oleh sebab itu, jangan merasa bersalah dan merasa dirimu aneh jika kita tidak merasakan apa-apa. Kamu normal dan perasaanmu itu valid.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments