Setelah hampir setengah tahun tidak berjumpa, saya dan sahabat saya, “Ulfa”, membalas situasi itu dengan berbincang lama dari siang hingga menjelang larut malam baru-baru ini. Kami membicarakan banyak hal, terutama soal kondisi psikis masing-masing setelah menjalani serangkaian proses terapi. Obrolan kami menjadi panjang karena kami bertukar kisah tentang relasi dengan orang tua. Beberapa pengalaman yang ia ceritakan terasa dekat sekali. Lalu pada cerita yang lain, saya bisa mencicip rasa lebih getir yang menguap dari kata-katanya.
Beberapa bulan lalu, Ulfa sempat melukai diri setelah berkonflik dengan keluarganya. Ini bukan kali pertama ia melakukannya. Sejauh pengetahuan saya, tidak serta merta orang memilih melukai diri ketika berkonflik atau menghadapi suatu masalah. Tentu ada endapan emosi dan perkara tak terselesaikan sejak lama yang akhirnya membludak dan muncul dalam tindakan destruktif macam yang Ulfa lakukan.
Kekerasan-kekerasan fisik dan verbal yang ia terima dari sang Ibu sejak kecil bukanlah hal yang gampang hilang dari benaknya. Bagi orang luar, perlakuan yang diterima Ulfa hanyalah hal sepele yang tidak perlu dipermasalahkan, apalagi sampai disebut sebagai peristiwa traumatis. Ini terjadi karena sebagian besar orang dari generasi terdahulu melumrahkan pola asuh yang melibatkan kekerasan. Lazimnya, alasan yang mereka pakai ialah, “Kamu segini aja cengeng. Dulu Mama lebih parah dikerasin sama Nenek.”
Pernah suatu kali, Kakek Ulfa jatuh stroke. Ketika itu, Ulfa dan kakaknya tengah berada di ruang TV, menonton video Westlife sembari bernyanyi. Mendapati ayahnya stroke, bukannya fokus menolongnya, Ibu Ulfa malah menghampiri dia dan kakaknya, membawa alu hendak menghajar mereka. Menurut ibunya, Ulfa dan kakaknyalah yang membuat Kakek Ulfa stroke lantaran terlalu berisik. Masih segar di ingatan Ulfa, ia dan kakaknya lari tunggang langgang ketakutan menghindari ibu mereka.
“Macem-macem barang udah pernah dilempar ke badan gue,” aku perempuan 26 tahun ini.
Kali lain, Ulfa berjalan membawa sepiring makanan dan tidak sengaja menjatuhkannya tepat di atas keset. Ibu-ibu normal lainnya mungkin hanya akan meminta anaknya membereskan yang tumpah saja. Tetapi ibu Ulfa memilih sikap ekstrem: Menyuruh anaknya memungut kembali makanan yang sudah kotor itu ke piring, lalu memakannya sampai habis.
Baca juga: Oh, Ibu dan Ayah, Putuskan Rantai Kekerasan terhadap Anak
Menyakiti diri
Ulfa merasa dirinya tidak berharga. Perasaan itu kian bertambah ketika ibu Ulfa menjelma sebagai perisak terbesar dalam hidupnya. Semasa remaja, Ulfa tidak pernah merasa ada yang salah dengan tubuhnya; teman-temannya juga tidak pernah mengejek dia. Namun bagi sang Ibu, ada saja yang mesti diperbaiki dari Ulfa: Giginya, atau masalah jerawatnya—yang padahal sangat jamak dan normal pada remaja. Ulfa sebenarnya tidak butuh dan tidak mau pakai behel, tetapi ibunya mendesak demi rupa yang lebih cantik menurutnya.
“Dulu, gue sampe sebel kalo ada yang bilang, ‘Bagi semua ibu, anaknya yang paling cakep’. Itu enggak kejadian di gue. Tapi waktu sudah besar, kalau ada yang bilang gue cakep, guenya yang geli sendiri dan menampik,” ujar Ulfa.
Kesedihan dan kemarahan Ulfa tidak membuatnya ingin membalas sang Ibu, tapi ia mulai menyakiti dirinya. Waktu SD, ia datang ke sekolah dengan wajah lebam, bukan karena dihajar ibunya, melainkan karena ia menonjoki dirinya sendiri. Sikap destruktif ini terus bertumbuh hingga ketika Ulfa memutuskan menjalani terapi.
Seiring pertambahan usianya, sikap-sikap beracun ibunya terus ia hadapi. Konseling keluarga sudah Ulfa jalani, tetapi di hadapan psikiater dan hipnoterapis, sang Ibu masih saja menganggap Ulfa berlebihan. Ia juga menafikan kontribusinya yang besar atas sakit psikis yang diderita putrinya itu. Pada suatu titik, Ulfa tahu ibunya akan sulit sekali—jika tidak mustahil—untuk berubah saat keluar dari mulut ibunya, “Di sini enggak mungkin bahagia dua-duanya. Kalau enggak kamu, saya yang bahagia.” Ulfa sampai pada kesimpulan, memang itulah pilihan ibunya sejak lama, mengejar bahagianya sendiri dan tidak memikirkan kesejahteraan anaknya.
Belum lama setelah mengobrol dengan Ulfa, saya mendapati Instastory kawan saya yang lain, Angel. Sulung dari enam bersaudara ini sudah belasan tahun menanggung keuangan keluarganya setelah ayahnya dipecat dan tidak lanjut bertanggung jawab atas keluarganya. Alih-alih berusaha memperbaiki kondisi ekonomi rumah tangga, ayah Angel malah berulah: jadi caleg lah, utang sana-sini lah, membawa kabur surat rumah kerabat lah, hingga yang terakhir, berurusan dengan polisi.
Barangkali orang tua juga butuh diingatkan, “Betapa berat beban yang diemban anakmu setelah kamu bersikap keras kepadanya, betapa besar trauma dan dampak merusak lain yang ia rasakan dan baru sadari ketika dewasa. Minta maaflah kepada mereka.”
Angel ibarat dihantam dari berbagai sisi: finansial, mental, dan emosional. Ketika saya mencoba memberinya alternatif solusi, Angel membalas dengan realitas yang membuatnya terantuk sana-sini. Keadaan tidak menguntungkan yang rasanya tidak sudah-sudah menghampiri Angel memang bukan salah dia, tetapi tetap saja tanggung jawab besar menggantung di pundaknya.
Malam itu saya tercenung. Rasa sakit yang teman-teman dan saya bawa itu muncul sudah sejak lama. Kami diam. Kami selalu mengamini bahwa orang tua adalah sosok yang harus dihormati dan dipatuhi. Lagu “Kasih Ibu” menjadi salah satu hafalan kami dan anak-anak segenerasi.
Kasih orang tua sepanjang galah
Saban retret semasa SD, saya ingat guru agama selalu mengatakan, “Ingat, betapa besar perjuangan orang tua membesarkan kalian, betapa sering mereka berkorban, betapa banyak kenakalan yang kalian buat dan merepotkannya. Sayangi orang tua kalian, minta maaflah kepada mereka.” Kemudian, dalam hening dan redup, saya melirik kanan kiri saya, teman-teman bercucuran air mata. Bersikap konformis, saya pun susah payah menangis. Sepulang retret, saya menyesali kenakalan saya dan berupaya menjadi “anak manis”, berharap relasi saya dan orang tua lebih hangat dan komunikatif.
Tapi harapan tinggal harapan. Siklus konflik kami berulang dan membesar hingga kini. Saya kerap merasa tidak didengar, tidak menemukan sosok teman dalam diri orang tua ketika saya kesepian di rumah. Waktu yang dihabiskan orang tua saya di rumah lumayan banyak, tapi kami tidak mengobrol. Setinggi apa pun capaian saya, tidak ada ekspresi apresiasi. Dan bila sesekali saya mengonfrontasi dan berargumen, balasannya hanya “Kalau dibilangin orang tua nurut, durhaka kamu nanti,” atau “Saya hanya melakukan apa yang orang-orang lakukan. Wajarnya begitu.” Buat ekspresi yang terakhir, saya mendapatinya ketika mengungkapkan keluhan kepada orang tua saya yang overprotektif sejak saya kecil dan mengabaikan kebutuhan privasi saya semasa remaja.
Dulu, mantan pacar saya sempat terheran-heran melihat saya menjawab ketus telepon dari ibu saya. “Kok kamu ngomongnya begitu sih? Aku enggak akan pernah ngomong sama orang tuaku kayak gitu,” kata dia. Kemudian, saat Ibu meninggal, lingkungan sekitar seolah memberi obligasi buat saya untuk tampil berduka (baca: menangis berderai-derai) dan mengenang dia dengan memori-memori bagus. Yang terjadi, saya terlihat biasa saja. Efeknya, omongan di belakang saya yang menyebut saya anak yang tidak hormat dan sayang orang tua dan sejenisnya.
Baca juga: Perisakan Anak Betul-betul Merusak
Bila mengulas kembali pengalaman saat retret itu, atau bagaimana agama serta budaya mengajarkan kita untuk menghormati orang tua dalam keadaan apa pun, saya merasa sedih. Saya sedih karena anak masih tetap dianggap minor. Kalau kata Jason Mraz dalam lagu “Love For a Child”, “It's probably because when you're young, it's OK to be easily ignored”. Saya sedih karena pemuliaan orang tua, adanya konsep durhaka, tabu membicarakan kesalahan orang tua, membuat luka-luka kami tidak diakui. Ketika anak-anak yang tinggal bersama toxic parents bersuara, mereka dianggap tidak bersyukur atas pemberian orang tua, tidak menghargai orang yang melahirkannya. Saya sedih karena ada orang-orang yang memakai pengalaman berelasi baik dengan orang tuanya dalam menghakimi pendapat anak-anak toxic parents.
Orang tua juga bisa salah. Barangkali orang tua juga butuh semacam retret di mana mereka diingatkan, “Betapa berat beban yang diemban anakmu setelah kamu bersikap keras kepadanya, betapa besar trauma dan dampak merusak lain yang ia rasakan dan baru sadari ketika dewasa. Minta maaflah kepada mereka.” Tetapi mungkin hanya sebagian kecil orang tua generasi terdahulu di sini yang pernah meminta maaf duluan kepada anaknya.
Seandainya pemuliaan orang tua tidak sebesar yang ada sekarang di sini, mungkin luka-luka anak bisa lebih cepat didapati dan disembuhkan sebelum menjadi makin parah. Seandainya orang tua mau berkomunikasi dan membuka diri terhadap kritik dan keluhan anak, menyetop mental plonco, barangkali imaji menjadi orang tua di kemudian hari akan lebih baik di benak si anak. Tak ada ketakutan menjadi bapak atau ibu karena takut mengulang sikap destruktif yang pernah diterima si anak dulu.
Seandainya sesekali hierarki orang tua-anak dikesampingkan dan diganti posisi sebagai teman, masalah kepercayaan yang memuncak saat anak dewasa bisa dihindari. Seandainya-seandainya ini masih mungkin terwujud, jika anak seangkatan dengan kami serta di bawah-bawah kami sadar, menjadi orang tua tidak melulu benar dan besar.
Comments