Pernahkah ketika kamu menyanyi lalu dikomentari begini, “Suaramu bagus tapi lebih bagus lagi diam”? Atau, “Suaramu merdu sekali, merusak dunia”? Kalau pernah, berarti kita senasib. Jujur saja, suara saya memang jelek, tapi apa karena itu seseorang dilarang menyanyi?
Menyanyi adalah hak setiap insan yang dianugerahi suara oleh Tuhan. Namun, berapa banyak dari kita yang terintimidasi ketika menyalurkan haknya dalam bernyanyi? Barangkali pada situasi tertentu, nyanyian kita malah mengganggu, misalnya pada saat orang-orang hening membaca buku di perpustakaan. Tapi hey, dalam kondisi begitu, tentu tidak hanya orang dengan suara buruk saja kan yang dilarang bernyanyi? Mereka yang bersuara indah pun, kalau berada di tempat yang tidak boleh diganggu, tentu juga akan dilarang.
Jadi, definisi mengganggu seperti apa sampai orang tidak boleh bernyanyi karena suaranya enggak bagus?
Alasan mengganggu memang subjektif. Bagi seseorang mungkin dia tidak mengganggu, tetapi bagi orang lain itu bisa jadi mengganggu. Tetapi soal mengganggu atau tidak belum tentu dipahami oleh orang yang sedang bernyanyi. Dengan begitu, tinggal bagaimana seseorang tersebut menghormati kepentingan orang lain untuk tidak diganggu dengan nyanyiannya. Tetap saja, lagi-lagi, ini bukan masalah bagus tidak suaranya.
Baca juga: ‘Fleabag’ dan Narasi Perempuan yang Tak Sempurna
Saya cukup sebal sebenarnya mendengar komentar tidak enak, meskipun dengan nada bercanda, mengenai suara seseorang yang tidak bagus tapi tetap percaya diri untuk bernyanyi. Komentar itu memang jujur dan itu tidak apa-apa, tetapi masalahnya, hal tersebut kemudian menindas kepercayaan diri seseorang untuk kembali tampil atau bernyanyi di muka umum sebagaimana sebelumnya. Ia akan merasa diremehkan karena olok-olok yang ia dapatkan setelah menyanyikan sebuah lagu dengan nada atau suara sumbang.
Saya memiliki banyak pengalaman mengenai itu dan untungnya olok-olok itu kini tak lagi mempan untuk membunuh kepercayaan diri saya dalam menyanyi. Sebenarnya suara saya enggak jelek-jelek amat karena dulu waktu SD pernah mewakili sekolah untuk lomba siswa teladan, yang salah satu kriterianya adalah menyanyikan lagu kebangsaan. Tapi sayangnya masih kalah dengan anak-anak dari SD lain.
Saya berani maju ke muka umum untuk bernyanyi pertama kali dengan kemauan sendiri ketika duduk di kelas satu SMA. Ketika itu pelajaran Seni Musik dan kami diminta menampilkan kemampuan yang kami miliki di depan. Saya? Jelas bernyanyi. Sejak SD saya sering menulis lirik lagu dan menyanyikannya bersama teman-teman. Mudah saja bagi saja untuk menyanyikan satu buah lagu di depan kelas tanpa persiapan. Ketika itu lagu yang saya nyanyikan adalah nomor dari Rosa berjudul Aku Bukanlah Untukmu. Saya tak begitu ingat apakah waktu itu mendapatkan perisakan atau tepuk tangan.
Tidak perlu lagi ada ejekan kepada seseorang yang suka bernyanyi hanya karena suaranya jelek. Selain akan membuatnya malu, itu juga akan membunuh kepercayaan dirinya.
Waktu mondok di pesantren, setiap Kamis malam, saya juga suka melantunkan berbagai selawat bersama teman dan diiringi musik rebana. Saya sendiri kadang heran, suara tidak bagus tapi berani-beraninya pegang mikrofon.
Penampilan saya yang paling nekat mungkin ketika semester awal di bangku kuliah. Saya iseng mengikuti lomba menyanyi yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Bahasa Inggris. Ketika itu lagu yang kubawakan ada dua, At Once miliknya Lenka dan A Thousand Years dari Christina Perri. Hasilnya? Jelas kalah.
Setelah itu, apa saya berhenti? Saya justru semakin pede. Di masa perkuliahan, saya sering ikut demo, dan jika ada kesempatan orasi, beberapa kali saya tampil menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Ketika ada mimbar bebas di Fakultas Syariah, saya satu-satunya perempuan yang menyanyi. Waktu itu saya membawakan lagunya Merah Bunga dan Tembok, salah satu lagu indie favorit saya.
Saya juga menyanyi ketika perpisahan kuliah kerja nyata (KKN). Waktu itu memang acara perpisahan dengan warga dan pemuda desa kita mengadakan pentas akustik. Sebenarnya ada satu teman saya yang punya suara lumayan, namun karena alot dan geregetan tidak kunjung mau naik panggung, akhirnya saya beranikan diri untuk sekedar menemaninya bernyanyi di depan mewakili kelompok KKN kami. Kita membawakan dua buah lagu, salah satunya dari Bondan Prakoso dan Fade2black, Ya Sudahlah.
Baca juga: Stop Nilai Diri dan Perempuan Lain dari Penampilan Fisik
Terakhir, tapi bukan paling akhir, adalah baru-baru ini waktu ada acara perpisahan di sebuah kafe. Ketika itu penyanyi di kafe tersebut mendorong hadirin untuk meminta lagu. Salah satu teman mengirim satu judul lagu ke depan. Namun karena lagu itu aslinya dinyanyikan berdua, maka si Mas penyanyi itu meminta salah satu perwakilan dari kami. Ada memang salah satu teman saya yang suaranya bagus, tapi lagi-lagi susah sekali untuk disuruh maju ke depan. Akhirnya sayalah yang maju.
Gila, pede banget! Saya jadi pengunjung pertama malam itu yang berani maju ke depan buat menyanyi. Lagunya adalah Waktu yang Salah dari Fiersa Besari. Awalnya sih biasa aja, tetapi pas sudah masuk lagunya jadi grogi. Niatnya buat seru-seruan aja sih, ingin bikin momen berkesan di malam perpisahan. Masnya yang harusnya menemani duet ternyata tidak jadi karena mikrofonnya cuma satu. Saya membatin, tahu begini jangan panggil teman duet, dong, Mas!
Setelah itu, beberapa teman menertawakan dan mengejek suara saya. Saya sambut ejekan mereka dengan cengar-cengir seperti biasanya. Malah saya tambah volume dalam bernyanyi jika seseorang sedang mengejek saya.
Saya pikir, tidak perlu lagi ada ejekan kepada seseorang yang suka bernyanyi hanya karena suaranya jelek. Selain akan membuatnya malu, itu juga akan membunuh kepercayaan dirinya sehingga membuatnya tidak menyukai suaranya sendiri. Padahal menyanyi itu kan hak. Bukan hanya milik mereka yang bersuara emas, tapi milik siapa pun yang suka.
Comments