Menyusul Emily in Paris, mini seri produksi Netflix yang tayang awal Oktober ini, jagat media sosial langsung ramai dengan berbagai kicauan dan tagar tentang kota Paris. Bagi banyak orang Amerika dan Inggris, Paris dianggap sebagai kota ideal yang hanya mereka kunjungi saat liburan musim panas. Mini seri Emily in Paris memberi semacam afirmasi atas persepsi umum akan romantisme, gastronomi, dan kebudayaan Eropa.
Menyaksikan serial ini memang mengasyikkan seperti layaknya menikmati kota Paris di layar kaca (atau monitor komputer) kita, tanpa perlu repot-repot mengurus perjalanan kita sendiri. Pula, bukankah impian banyak gadis muda untuk bisa menetap di Paris, menemukan cinta dan sekaligus membangun karier cemerlang di salah satu kota utama dunia?
Namun bagi banyak penduduk kota Paris (dan orang Perancis umumnya) mini seri tersebut hanya menampilkan Paris yang dipoles demi kepuasan mata penonton, bukan Paris apa-adanya. Emily in Paris hanya menampilkan keindahan kota Paris bak kartu pos dengan menjual mimpi romantisme. Ia juga hanya menampilkan tokoh perempuan yang berpusat pada konsumsi ala kapitalisme global.
Di dalam sejarahnya, kota Paris telah memunculkan tokoh-tokoh perempuan yang membawa perubahan sosial dan politik secara radikal. Émilie du Châtelet adalah ahli matematika dan fisika abad ke-18, bidang yang saat itu masih didominasi pria. Émilie Busquant adalah kisah perempuan yang sadar politik dalam gerakan anti-kolonialisme pada pertengahan abad ke-20. Sementara itu, Émilie Hache adalah kisah perjuangan perempuan dalam gerakan ekofeminisme awal abad ke-21.
Baca juga: ‘Emily In Paris’ Mungkin Absurd, Tapi Dia Tontonan Sempurna di Kala Pandemi
Dan di kota ini pula, perjuangan kaum perempuan tidak pernah berhenti. Sepanjang 2019-2020, sejumlah aktivis perempuan yang tergabung dalam gerakan Les colleuses (para perekat) menempeli banyak sudut dan tembok di seantero kota Paris dengan berbagai pesan protes atas misogini dan diskriminasi yang dialami perempuan. Gerakan ini menyebar ke banyak kota lain di Perancis.
Daripada berkhayal menjalani kehidupan ala tokoh fiksi Emily in Paris, lebih baik kita melihat kisah tiga Émilie, tokoh nyata yang memberi fondasi bagi gerakan perempuan.
Émilie du Châtelet
Hidup pada abad ke-18 (1706-1749), Émilie du Châtelet melampaui zamannya. Tidak hanya menguasai lima bahasa Eropa, ia juga menekuni ilmu filsafat, matematika dan fisika. Dijodohkan dan menikah muda pada usia 18 tahun, ia memiliki empat orang anak tetapi dua di antaranya meninggal saat bayi.
Kehidupan pernikahan tidak menghentikan gairah belajarnya. Ia malah semakin memperdalam ilmu matematika dan berguru dari para matematikawan ternama, yang semuanya tentu laki-laki. Di kemudian hari, ia menerbitkan buku Institutions de Physique (Pedoman-pedoman Fisika) dan menerjemahkan karya Newton ke dalam bahasa Prancis.
Baca juga: 8 Majalah Daring Feminis Eropa yang Perlu Disimak
Bagi banyak orang zaman sekarang, namanya sering diasosiasikan dengan Voltaire, filsuf Perancis ternama. Majalah populer Cosmos (edisi 15 Desember 2016) bahkan menyebutnya sebagai kekasih gelap Voltaire. Tidak ada yang tahu pasti hubungan antara mereka berdua. Tapi, du Châtelet sudah mengukir namanya sendiri dan tidak bergantung pada Voltaire, yang mengakui peran penting du Châtelet di bidang fisika.
Di Perancis, namanya dikenang secara akademis: menjadi nama sekolah, nama lembaga penelitian, dan nama penghargaan fisika.
Émilie Busquant
Lahir pada 1901, Émilie Busquant adalah anak keluarga kelas pekerja. Seperti banyak perempuan muda pada zamannya, ia pindah ke Paris untuk mencari kerja. Meski tanpa latar pendidikan yang memadai, ia berhasil mendapatkan pekerjaan di sebuah toko serba ada. Pada 1923, tetangganya memperkenalkannya pada Messali Hadj, aktivis pemuda berusia 25 tahun dari Aljazair, yang saat itu masih menjadi daerah jajahan Perancis. Mereka tinggal bersama meski tidak menikah, sesuatu yang lazim di kalangan kelas pekerja pada masa itu, dan memiliki dua orang anak.
Baca juga: 5 Penulis Perempuan Perancis dengan Novel Bertema Perempuan Queer
Tidak seperti Emily in Paris, Busquant bukanlah gadis naif dan apolitis. Ia telah mengenal politik sejak kecil lewat ayahnya yang adalah aktivis serikat buruh. Ia pula yang memperkenalkan Messali pada gerakan anarko-sindikalisme di Prancis. Komitmennya akan perubahan politik semakin ditegas dalam perjuangan anti-kolonialisme.
Di koran Le Monde (edisi 23 Januari 2015), Mustapha Kessous menulis bahwa selama Messali ditahan, Busquant tak ragu sedikit pun untuk berbicara atas namanya dan memikul tanggung jawab atas pergerakan melawan penjajahan Prancis. Bahkan, ia pula yang pertama kali menjahit bendera kebangsaan Aljazair.
Émilie Hache
Sebagai dosen filsafat pada Universitas Paris Nanterre, Émilie Hache mendukung ekofeminisme. Istilah eko-feminisme pertama kali diperkenalkan oleh Françoise d’Eaubonne, seorang penulis feminis Prancis, yang menekankan pentingnya hubungan perempuan dengan alam dan mendorong keterlibatan perempuan dalam gerakan lingkungan hidup.
Menurut Hache, perusakan lingkungan hidup tak bisa dilepaskan dari penindasan terhadap perempuan. Ekofeminisme adalah kunci memahami perubahan kondisi bumi pada masa antroposen, yaitu masa kegiatan manusia memiliki dampak yang utama terhadap ekosistem bumi, terutama perihal perubahan iklim.
Hache menyuarakan pentingnya bagi perempuan untuk merebut kembali segala atributnya sebagai perempuan (tubuh, keterampilan, emosi, dan intelektualitasnya) guna mendapatkan kembali harga diri dan kepercayaan dirinya sendiri. Di dalam konteks demikian, perempuan juga perlu menjadi aktor utama dalam perlindungan lingkungan hidup.
Comments