Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) telah menjadi fenomena global dengan perempuan dan remaja jadi kelompok rentan. Terlebih, pandemi COVID-19 makin memperparah kekerasan ini.
Di Indonesia, berdasarkan laporan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), hingga Oktober 2020 ada sebanyak 659 laporan kasus KBGO. Demikian pula, laporan tentang penyebaran konten intim non-konsensual meningkat signifikan sebesar 375% (169 kasus) dibandingkan dengan 2019 (45 kasus).
Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan (CATAHU) 2021 yang dirilis oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) juga mencatat, angka kasus KBGO yang dilaporkan langsung ke mereka meroket dari 241 kasus pada 2019 jadi 940 kasus tahun lalu.
Baca Juga: RUU PKS Perlu Disahkan untuk Tangani Kekerasan Seksual Berbasis Online
Kampanye Digital #UNPARstopKBGO
Data di atas menunjukkan bagaimana KBGO jadi masalah serius yang dapat merebut paksa ruang aman perempuan di dunia digital. Dosen Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR), Elisabeth Adyiningtyas Satya Dewi yang akrab disapa Nophie mengungkapkan, KBGO merupakan fenomena gunung es yang sebenarnya berkelindan dengan kekerasan berbasis gender lain dan berakar pada ketidaksetaraan.
Untuk menyikapi situasi ini sekaligus dalam rangka menyambut 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16HAKTP), ia dan rekan dosen, Yulia Indrawati Sari alias Indri untuk melakukan sebuah inisiasi penting. Bekerja sama dengan Magdalene, mereka menyelenggarakan kampanye digital #UNPARstopKBGO.
Dalam melangsungkan kampanye digital #UNPARstopKBGO, mereka melibatkan secara aktif para mahasiswa dalam kelas Gender dan Hubungan Internasional di Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Sosial Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UNPAR. Setelah mendapatkan pembekalan materi di kelas dan dari Magdalene, para mahasiswa secara individu ataupun kelompok diminta untuk membuat konten di Instagram yang berisi tentang ragam isu KBGO yang nanti akan di-repost akun resmi @hi.unpar.
Baik Nophie dan Indri memberikan kesempatan bagi para mahasiswa untuk mengeksplorasi sendiri isu-isu seputar KBGO yang dekat dengan keseharian mereka. Tujuannya demi membangun kesadaran mahasiswa tentang kekerasan berbasis gender di lingkaran mahasiswa UNPAR sendiri.
“Output yang paling sederhana dan paling cepat adalah (agar) teman-teman mahasiswa memiliki kesadaran mengenai kekerasan berbasis gender, khususnya KBGO. Mereka jadi mengerti bentuk-bentuk seperti apa yang bisa diklasifikasikan sebagai KBGO, kira-kira potensi pelaku-pelakunya siapa saja, dan jika mengalami atau melihat orang lain mengalami KBGO, apa yang harus mereka lakukan. Dengan demikian, hal ini dapat membantu membangun kesadaran bersama.”
Ia melanjutkan, ketika kesadaran kolektif sudah dicapai, mahasiswa bisa memulai melakukan pencegahan dan memitigasi penanganan terbaik. “Jangan sampai korban hidup dalam lingkungan yang traumatis,” tutur Nophie kepada Magdalene, (8/11).
Baca Juga: Kiriman 'Dick Pic' dan Video Porno Tak Konsensual Naik Selama Pandemi
Karya Kampanye Digital Mahasiswa HI UNPAR
Dari beragam unggahan Instagram yang diunggah oleh para mahasiswa UNPAR, Magdalene berkesempatan untuk memilih lima karya terbaik dengan variatif turunan tema KBGO yang menarik, pun engaging bagi para pembaca muda. Kelima karya terbaik ini antara lain Patriarchy vs Men’s Vulnerability, Gambaran Perempuan dalam Media Massa, Kekerasan Berbasis Gender di Video Game!!??, Cewek Serba Salah, dan Body-Shaming Ternyata Serius!
Magdalene pun berkesempatan untuk mewawancarai sejumlah mahasiswa, Sammy, Angga, dan Zahra.
Sammy dengan kampanye digitalnya Kekerasan Berbasis Gender di Video Game!!?? mengungkapkan alasan utamanya mengangkat tema ini adalah karena ia dan teman-teman satu kelompoknya adalah gamer.
“Common fact aja lah ya yang banyak main gim kan laki-laki ya. Nah, treatment mereka kepada perempuan itu berbeda. Banyak kalimat-kalimat tidak pantas dilontarkan para gamer laki-laki kepada gamer perempuan. Bahkan ketika saya pernah berdiskusi dengan orang lain soal ini terus responsnya, ‘Ya kan perempuan yang main game online itu bodoh, jadi digituin gak apa-apa’ atau ‘Ya mereka mah mau digoda-godain,’” tuturnya.
Jika Sammy mengangkat tema dari identitasnya sebagai gamer, Angga memilih tema Gambaran Perempuan dalam Media Massa karena ia sadar bagaimana perempuan kerap di objektifikasi dan diseksualisasi.
“Saya bawa objek perempuan dalam media massa karena masyarakat dan media massa masih memaknai eksistensi perempuan dalam batasan fisik dan tubuhnya saja. Saya juga melihat ada kecenderungan di media massa jika sebuah konten atau produk itu akan terasa ‘hambar’ bagi mereka kalau enggak menyisipkan perempuan sebagai objek. Misalnya banyak perempuan yang punya suaranya bagus tapi media massa selalu memberitakan mereka lewat penampilan mereka saja.”
“Kenapa gitu? Karena ada kebutuhan komersialisme dan pengejaran rating, sehingga perempuan dijadikan objek pelengkap. Media massa itu masih patriarkal ya, jadi perempuan masih dianggap rendah, dilihat (sebagai) objek,” ucap Angga.
Baca Juga: Bukan ‘Revenge Porn’ Tapi Kekerasan Seksual Berbasis Gambar
Sedangkan, Zahra sebagai mahasiswa yang membawakan kampanye Patriarchy vs Men’s Vulnerability bersama teman-temannya mengungkapkan selama ini kekerasan berbasis gender nampaknya sangat lekat dengan perempuan. Padahal pada kenyataannya, laki-laki juga rentan mengalami kekerasan berbasis gender apalagi ada konstruksi toxic masculinity yang ada dalam masyarakat.
“Kita mengangkat tentang laki-laki sebagai korban kekerasan seksual dan hubungannya dengan budaya patriarki, termasuk toxic masculinity. Ini mungkin tema yang paling menarik karena jarang tulisan-tulisan gender angkat dari sisi laki-lakinya dan menarik juga untuk tahu budaya patriarki enggak cuma menekan perempuan tetapi laki-laki juga. Hal ini karena isu-isu gender itu kadang enggak seeksplisit yang kita kira dan kadang-kadang kita enggak ngeh kalau yang kita lihat itu sebenarnya termasuk ke bentuk KBGO,” ungkap Zahra pada Magdalene.
Manfaat dan Harapan
Dari 25 November hingga 10 Desember 2021, para mahasiswa yang terlibat kampanye digital ini mengaku dapat ilmu baru sekaligus kesadaran tentang kekerasan berbasis gender.
Shafira, salah satu mahasiswa bilang, lewat kampanye ini ia merasa terbantu mempelajari kekerasan berbasis gender yang terjadi dalam keseharian mereka. Ia bahkan mengatakan berbagai isu yang diangkat teman-temannya menyadarkan ia bahwa ada jenis KBGO yang terjadi di tempat yang tak ia duga sebelumnya.
“Isu yang sudah dijabarkan dengan teman-teman membuat aku lebih peduli terhadap lingkungan sekitar. Aku pun menyadari seberapa mudahnya masyarakat melontarkan kalimat negatif tanpa berpikir panjang. Kalimat-kalimat berbahaya yang dapat membahayakan kondisi mental seseorang. Hal ini membuat aku sadar untuk lebih berhati-hati dengan apa yang kita publish di media sosial,” ungkap Shafira.
Tidak hanya Shafira, Sammy, mahasiswa yang dahulu hanya mengetahui KBGO sepintas lalu, merasa kampanye ini penting bagi laki-laki sepertinya, untuk tidak terjerumus ke pemikiran victim-blaming yang sudah ternormalisasi.
“Dulu aku menganggap kebanyakan kasus kekerasaan berbasis gender itu sebagai salah dari korban kekerasan sendiri (victim-blaming). Namun, setelah kampanye ini, aku jadi lebih tahu isu-isu gender yang penting.”
Dari manfaat yang diterima mahasiswa selama kampanye, Nophie berharap ini bisa jadi hal baik yang dilakukan secara berkelanjutan demi membangun kesadaran bersama. Mengamini Nophie, Indri berharap, kampanye ini bisa menjadi wadah agar semakin banyak mahasiswa punya perspektif gender.
“Dalam memahami berbagai persoalan yang ada dalam perspektif gender ini, mereka menjadi lebih happy dengan diri sendiri. Mereka tidak menjadi pihak yang melanggengkan ketidakadilan gender dan punya lebih banyak kesadaran. Kesadaran ini tidak hanya untuk pada diri mereka tetapi bisa menularkan kepada kelompok yang deket sama mereka dulu dan lain-lain,” pungkasnya.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments