Serupa Magdalene, sejumlah majalah daring (webmagazine) feminis juga tumbuh di mancanegara. Seiring meningkatnya aktivitas daring sejak awal dekade 2000-an, banyak feminis mengisi dan memanfaatkan ruang di dunia maya untuk menyuarakan kepentingan dan hak perempuan yang selama ini kerap terabaikan di dunia majalah arus utama.
Majalah daring feminis yang lahir pada awal abad ke-21 ini berbeda dari majalah perempuan yang terbit sebelumnya. Sama seperti di Indonesia, di mancanegara, majalah perempuan cetak umumnya menyasar pembaca perempuan sebagai pasar komersial. Beberapa majalah cetak bahkan tidak ragu menggiring pembacanya untuk mendukung konsep patriarki.
Berbeda dengan majalah cetak tersebut, majalah daring feminis tidak hanya independen dan non-komersial, tapi juga dengan tegas mendukung kesetaraan dan keadilan gender. Selain itu, mereka menyadari keberagaman suara, latar belakang, dan orientasi seksual di kalangan perempuan. Karenanya, mereka tidak ragu mendukung perjuangan gerakan LGBTQ+ di dalam majalah mereka.
Untuk lebih mengenal gerakan perempuan mancanegara yang independen, progresif, dan beragam, berikut ini adalah enam majalah daring dari Perancis dan dua dari Belgia. Lewat konten mereka, kita juga bisa meneropong bagaimana kampanye feminisme Eropa digulirkan.
Roseaux (arti harfiah: ilalang) dibentuk pada 2018 oleh enam perempuan yang tinggal di berbagai kota: Berlin, Marseille, dan Lisbon. Mereka hanya menyebut nama depan mereka dan tidak menggunakan nama keluarga karena dianggap sebagai simbol patriarki.
Majalah berbahasa Perancis ini menyatakan bahwa mereka hadir untuk menyuarakan feminisme yang inklusif dengan dua tujuan. Pertama, sebagai media yang menyediakan forum refleksi bagi para feminis, dan kedua, membuka pintu selebar-lebarnya bagi para pemula yang belum pernah benar-benar tertarik dengan feminisme.
Majalah ini mengangkat masalah-masalah sosial, kesehatan, budaya, dan kesaksian. Artikel-artikel mereka menyuarakan perlawanan atas seksisme, rasisme, konservatisme, dan fobia terhadap LGBTQ+.
Meski relatif baru terbentuk, gaung majalah ini di dunia maya lumayan terdengar. Mereka bisa diikuti di Twitter, Instagram, dan Facebook.
Nama Les Ourses à plumes, yang berarti beruang perempuan dengan pena-bulu, memiliki filosofi tersendiri. Pena-bulu adalah alat tulis masa lampau yang menjadi simbol penulis. Selain itu, mereka memberi arti khusus terhadap pena-bulu yaitu sebagai bentuk imajinasi bahwa feminisme dapat terbang tinggi. Sementara, beruang dipilih sebagai lambang kekuatan.
Dibentuk pada Maret 2015, majalah ini bermarkas di Paris dan diprakarsai oleh 12 perempuan. Majalah ini menggaungkan emansipasi bagi para perempuan dan mereka yang tertindas dalam sistem patriarki. Karena itu, majalah ini mengutamakan tulisan dari para perempuan (baik cis maupun trans), mereka yang non-biner, serta transpria, perihal pengalaman mereka dalam sistem patriarki. Menyadari sempitnya ruang bagi para perempuan disabilitas, majalah ini juga menyediakan ruang kolom khusus “Handicap”.
Ikuti mereka di Twitter dan Facebook.
Baca juga: Riset: Hanya 11% Perempuan Jadi Narasumber Media di Indonesia
Deuxième page (halaman kedua) memiliki makna untuk melihat buku atau sesuatu lebih dari sampulnya (halaman pertama) dan mencoba untuk memahami segala sesuatu dan menggunakan pikiran kritis.
Berdiri pada 2016, majalah ini menyatakan bahwa filosofi mereka adalah saling percaya. Majalah ini mengampanyekan feminisme yang terlibat langsung (engage). Tulisan-tulisan di majalah ini mengutamakan prinsip kontra terhadap kekuasaan, kekerasan, hierarki, kompetisi, dan individualisme. Editor majalah ini bersifat kolektif dengan melibatkan sekitar 40 perempuan yang bekerja secara sukarela.
Secara umum, majalah ini menampilkan enam rubrik utama: Sosial, wawancara, film, serial televisi, buku dan sastra, serta “memorandum” (usulan mingguan bagi para pembaca).
Sub-kolom khusus missfits menampilkan profil pegiat isu perempuan di berbagai bidang dari mancanegara seperti Lola Alvarez Bravo, Sarah Vaughan, Leonor Fini, Jane Evelyn Atwood, Pocahontas, Ching Shih, Yuri Kochiyama, dan Claudette Colvin.
Deuxième page dapat diikuti di Twitter, Instagram, dan Facebook.
Dibentuk pada 2017, majalah ini bermarkas di Paris dan dikelola oleh 10 orang (berbagai gender) yang bekerja sukarela. Friction secara khusus membahas masalah-masalah seni, musik, dan budaya. Ada pula rubrik ulasan buku dan wawancara dengan para seniman. Kebanyakan tulisan dalam majalah ini mengangkat tema LGBTQ+ dengan sudut pandang alternatif.
Majalah ini dapat diikuti di Twitter, Instagram, dan Facebook, dengan mayoritas pengikut media sosial adalah anak muda.
Majalah ini dibentuk oleh organisasi feminis Perancis Osez le féminisme! yang didirikan di Lyon pada April 2009. Organisasi tersebut memiliki 25 cabang seantero Perancis, satu cabang di Swiss, dan satu cabang di Belgia. Osez le féminisme! mendorong penghapusan prostitusi dan pornografi sebagai bagian dari agenda feminisme mereka.
Féministo Clic awalnya merilis edisi cetak perdana pada Juni 2009 dan terbit setiap dua bulan sekali. Sejak Oktober 2016, media tersebut menjadi majalah daring. Majalah disokong penuh oleh dana dari organisasi yang berasal dari uang bulanan keanggotaan.
Ada banyak rubrik di dalamnya, mulai dari politik, sosial, budaya, kesehatan seksual, ekonomi, olahraga, internasional, sains dan teknologi, sampai wawancara. Karena banyaknya rubrik mereka, pembaca majalah ini pun lebih beragam.
Féministo Clic tidak aktif di media sosial, hanya ada di halaman Osez le féminisme! di Facebook yang diikuti lebih dari 121.000 orang. Meski demikian, majalah ini cukup dikenal dalam gerakan perempuan Perancis.
Nama cheek diambil dari permainan kata bahasa Inggris chick (perempuan atau anak ayam) dan bahasa Perancis chic (rapi atau elegan). Dalam bahasa Inggris, cheek juga berarti berani atau menantang.
Baca juga: Mari ‘Install’ Feminisme untuk ‘Uninstall’ Ketidaksetaraan
Dibentuk Oktober 2013, majalah ini bermarkas di Paris, dan dikelola oleh tiga perempuan generasi Y yaitu Myriam Levain, Julia Tissier, dan Faustine Kopiejwski. Media ini mengangkat masalah-masalah budaya, sosial, mode, dan teknologi internet. Menariknya, majalah ini juga menanggapi isu-isu terkini dengan tagar #webthefuck.
Tampilan cerah majalah ini sangat mengesankan dan kehadiran mereka langsung disambut hangat oleh warganet. Akun majalah ini memiliki 35 ribu pengikut di Facebook, sekitar 18 ribu pengikut di Twitter, dan 17 ribu pengikut di Instagram—angka yang lumayan besar untuk ukuran audiens Perancis.
Pada awal 2017, majalah ini diakusisi oleh perusahaan media budaya, Inrockuptibles, milik bankir cum politisi kiri-tengah Matthieu Pigasse. Beberapa orang menyayangkan akusisi tersebut. Namun, ada pula yang berpendapat bahwa majalah ini berhasil membuktikan bahwa feminisme dapat diterima masyarakat luas.
Bermarkas di Brussel, majalah ini disokong Femmes Prévoyantes Socialistes (FPO)—organisasi Perempuan Sosialis yang didirikan pada 1922. Edisi cetak perdana mereka dirilis pada Maret 2015, terbit sebanyak empat kali dalam setahun, dan bersifat tematik pada tiap edisinya. Sampai saat ini sudah ada 20 edisi cetak yang diterbitkan (edisi terkini Juni 2020). Untuk mereka yang tinggal di Belgia, majalah cetak Femmes Plurielles bisa diperoleh secara gratis.
Majalah daring muncul sejak 2017. Isinya cukup sederhana dengan empat rubrik: Sosial, politik, budaya, dan kampanye. Pemimpin redaksi majalah ini adalah Eléna Diouf dan Pascaline Nuncic yang bekerja bersama 17 anggota redaksi lainnya (semuanya perempuan).
Akun media sosial Femmes Plurielles cukup aktif, mereka ada di Twitter, Instagram, dan Facebook.
Majalah yang juga berbasis di Brussels ini disokong Vie Féminine, salah satu organisasi feminis di Belgia. Axelle berpegang pada prinsip solidaritas demokratik dan keadilan gender.
Edisi cetak Axelle dirilis pertama kali pada Januari 1998 dan terbit 10 kali dalam setahun. Harga berlangganan setahun adalah 24 euro (tergolong murah). Beberapa artikel dari edisi cetak tampil gratis di majalah daring.
Pemimpin redaksi majalah ini adalah Sabine Panet yang bekerja dengan enam orang anggota redaksi. Karena sebenarnya berfokus pada majalah cetak (dan untuk generasi di atas usia 40-an), majalah ini kurang menonjol di dunia digital. Media ini hanya punya akun Facebook.
Comments