Sejak menggunakan biogas, Kusniati bisa menghemat kebutuhan rumah tangganya. Biaya yang tadinya untuk membeli gas elpiji saban dua minggu sekali, kini bisa dimanfaatkan untuk keperluan lainnya. Misalnya biaya sekolah anak bungsunya yang duduk di kelas tiga Sekolah Menengah Atas (SMA), dan membeli garam untuk air minum sapi.
Setiap harinya, tiga ekor sapi ternak milik Kusniati membuang kotoran sebanyak 10 kilogram. Kotoran itu kemudian diolah menjadi pupuk dan biogas—yang bermanfaat sebagai bahan bakar energi, tanpa melibatkan proses pembakaran sumber energi lain. Uniknya, dalam seminggu, ia hanya perlu mengisi kotoran sebanyak lima kilogram. Itu pun belum tentu habis, sehingga perlu diisi.
“Dulu (kotoran sapinya) cuma untuk pupuk di sawah. Sekarang prioritasnya ya buat biogas, yang kedua baru buat pupuk,” katanya kepada Magdalene.
Perempuan yang bekerja sebagai petani itu mulai mengolah kotoran sapi menjadi biogas sejak 2020, setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh Yayasan Trukajaya. Waktu itu, yayasan yang bergerak di bidang pangan dan energi tersebut sedang mengadakan program pelatihan biogas, di Desa Kaliwungu, Kabupaten Semarang, tempat Kusniati berdomisili.
“Saya orang yang pertama kali mendaftar program itu. Lalu ada sekitar 10-11 orang lainnya yang bergabung,” tuturnya.
Kusniati mengatakan, peserta pelatihan yang berasal dari tiga desa itu beragam. Mulai dari ibu-ibu Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK), bapak-bapak, tokoh masyarakat, hingga kader.
Dari situlah niatnya menggunakan biogas makin bulat. Untuk pembuatan mesinnya, Kusniati menghabiskan biaya Rp10 juta. Biaya itu digunakan untuk penggalian, pemasangan alat, dan pembuatan tempat menampung kotoran sapi.
“Memang, sih modalnya lumayan banyak, tapi puaslah (karena menghemat),” tutur Kusniati.
Ibu tiga anak itu kini tidak membutuhkan gas elpiji lagi. Namun, sesekali Kusniati masih memanfaatkan kayu bakar untuk memasak air minum sapi. Alasannya, volume air yang dimasak cukup banyak dan perlu matang dalam waktu lebih cepat.
“Selak kelamaan, sapinya keburu haus,” ceritanya.
Selain Kusniati, pengadopsian energi terbarukan juga sudah dilakukan oleh Denia Isetianti, founder platform media sosial Cleanomic yang membahas topik seputar bisnis ramah lingkungan.
Sebagai aksi nyata atas kepeduliannya terhadap lingkungan, Denia mengusung konsep minisponsible house ketika merenovasi rumahnya pada 2020. Ia melibatkan arsitek yang memiliki portofolio membangun rumah berkepedulian lingkungan. Pasalnya, minisponsible house milik Denia rendah karbon, dan memerhatikan pengelolaan energi.
Konsep itu diusungnya lantaran porsi jejak karbon terbesar salah satunya dihasilkan di rumah yang berasal dari energi. Contohnya lewat penggunaan listrik dan air, makanan yang dikonsumsi, serta gas atau pembakaran minyak untuk pemanas di rumah. Karena itu, Denia mewujudkannya lewat penggunaan panel surya on grid, yakni hanya memaksimalkan daya pada siang hari, dan tetap memanfaatkan listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) di malam hari.
“Dari awal kami meniatkan rumah ini harus pakai panel surya, karena, kan energi di Indonesia kebanyakan masih bergantung pada fossil fuel,” ujarnya.
“Kalau pakai panel surya, which is (mengadopsi) teknologi renewable energy, jejak karbon di rumahku bisa banyak berkurang.”
Berdasarkan Analisis Tingkat Efisiensi Energi dalam Penerapan Solar Panel Pada Atap Rumah Tinggal (2019), periset Eka Sulistiawati dan Bambang Yuwono menyatakan, dalam 25 tahun ke depan, panel surya dapat mengurangi emisi karbondioksida sebesar 79,69 persen apabila digunakan pada tipe rumah 86 meter persegi.
Dengan demikian, penggunaannya efektif untuk memangkas jejak karbon dari aspek energi. Sebab, panel surya bekerja dengan mengonversi energi matahari menjadi listrik, untuk mengalirkan daya pada peralatan listrik.
Uang yang harus dikeluarkan Denia untuk pemasangan panel surya memang tidak sedikit—Rp70 juta untuk jenis panel surya on grid, yakni masih menyambung ke daya listrik dari PLN. Namun, di tahun kedua menggunakan panel surya, Denia mengaku sudah merasakan perubahannya dari segi penghematan biaya listrik.
“Biaya yang harus dikeluarkan untuk bayar listrik bulanan jadi berkurang banget. Hampir 50 persen kalau dibandingkan dengan menggunakan listrik PLN,” ceritanya.
Perempuan yang bekerja sebagai pengacara itu menuturkan, untuk rumah dengan tiga kamar ia hanya perlu membayar listrik sebesar Rp300-400 ribu per bulannya. Padahal, sebelum memanfaatkan panel surya, tagihannya mencapai satu juta rupiah.
“Memang, sih kita bayar 70 juta rupiah di depan. Tapi kalau dihitung secara matematis, break even point dari pengeluaran itu ada di tahun ketujuh,” jelasnya. “Jadi akan lebih murah dibandingkan menggunakan listrik dari PLN.”
Berkaca pada Denia dan Kusniati, kita dapat melihat bagaimana perempuan mampu menunjukkan kepeduliannya terhadap lingkungan melalui pemberdayaan diri. Tepatnya dengan mengadopsi energi terbarukan, yang dimulai dari lingkungan tempat tinggal. Lantas, seberapa signifikan kontribusi perempuan dalam hal ini?
Baca Juga: ‘Kiamat’ Energi Fosil di Depan Mata, Energi Terbarukan adalah Kunci
Peran Perempuan dalam Energi Terbarukan
Mengadopsi energi terbarukan adalah perihal memanfaatkan sumber energi alami yang ada di sekitar kita, yang diisi ulang pada tingkat yang lebih tinggi daripada yang dikonsumsi. Misalnya biomassa, tenaga surya, tenaga angin, tenaga air, panas laut, panas bumi, ombak, dan pasang surut air laut—seperti dijelaskan pada laman United Nations (UN).
Lewat pemanfaatan sumber energi alami, diharapkan dapat menghasilkan energi yang tidak menimbulkan emisi gas rumah kaca dari bahan bakar fosil, dan mengurangi polusi udara. Jika dibicarakan secara umum, dampak yang diharapkan dari energi terbarukan tampaknya menjadi kebutuhan seluruh masyarakat. Namun, sebenarnya pemanfaatan energi terbarukan secara khusus menjawab kebutuhan perempuan.
Dalam laporan berjudul The Role of Women in Sustainable Energy Development (2000), peneliti Elizabeth Cecelski menyebutkan beberapa kebutuhan tersebut. Di antaranya adalah krisis memasak biomassa yang mencakup kelangkaan bahan bakar, kesehatan, dan keselamatan. Kemudian krisis energi manusia yang meliputi waktu dan usaha perempuan yang tidak terlihat.
Berikutnya adalah energi untuk usaha mikro yang merangkum mata pencaharian dan pendapatan. Yang terakhir, energi untuk sektor modern yang melingkupi substitusi bahan bakar, efisiensi, dan transportasi.
Dari keempat hal di atas, dapat terlihat bagaimana peran perempuan dalam kesehariannya sangat dekat dengan energi terbarukan. Contohnya terkait krisis memasak dan kelangkaan bahan bakar. Tak dimungkiri, perempuan masih menjadi sosok yang bertanggung jawab untuk memasak.
Karena itu, perempuan memahami energi yang dibutuhkan untuk menghemat tenaga, tapi tidak mengurangi keamanan dan kenyamanan dalam proses memasak. Menurut Cecelski, cara mencapainya bukan hanya dengan memperbarui kompor sebagai alat memasak. Dalam hal ini, desain dapur, cara mempersiapkan dan memproses makanan, serta peningkatan teknologi untuk pengumpulan dan pengangkutan kayu bakar yang ergonomis pun diperlukan.
Lebih dari itu, perempuan juga mengerti konsumsi energi dalam penggunaan alat elektronik. Sehingga dapat dikatakan, mereka memainkan peran kunci dalam penggunaan energi, setidaknya di lingkup rumah tangga.
Dari sini kita dapat melihat bagaimana energi terbarukan membutuhkan keterlibatan perempuan. Sependapat dengan pernyataan ini, Atiek Puspa Fadilah, Advisor for Business Innovation di Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) mengatakan, perubahan perilaku itulah yang tidak kalah penting dalam mengadopsi energi terbarukan.
Sebab, menurutnya ketika membicarakan energi terbarukan kebanyakan yang menjadi fokus perhatian adalah pasokan sumber dayanya. Padahal, tanpa mengubah perilaku akan sulit menyelesaikan perkara energi ini.
Baca Juga: Inisiasi Energi Terbarukan Untuk Masyarakat Sumba
“Aku melihat perempuan punya perspektif yang lebih lebar dan mikirin beberapa aspek,” terangnya.
“Mereka paham pola konsumsi keluarga. Contohnya milih AC yang energinya lebih kecil biar bisa pake televisi di rumah, atau nentuin banyak sedikitnya makanan yang dimasak.”
Maka itu, menurut Atiek, perempuan mampu mengadopsi energi terbarukan lebih cepat karena mereka memiliki kendali yang sama—atau bahkan lebih, dibandingkan laki-laki. Terutama karena sifat merawat dan empati yang dimiliki sebagai fungsi pentingnya perempuan.
“Dari situ, perempuan bisa memperluas sifat yang ada dalam dirinya,” tambah Atiek.
“Jadi secara tidak sadar, langkah untuk merawat bumi lewat energi terbarukan itu lebih beresonansi dengan hampir kebanyakan perempuan.”
Dengan demikian, perempuan yang selama ini dipandang sebagai pihak yang terdampak dari kerusakan lingkungan, sebenarnya adalah sosok yang mampu memberdayakan diri dan lingkungan dengan melibatkan diri dalam mengadopsi energi terbarukan.
Lewat pengamatannya di GIZ, Atiek melihat pemberdayaan itu selama 10 tahun terakhir. Memang skalanya bukan pada level pengambil keputusan di tingkat yang lebih besar, tetapi di lingkungan tempat tinggal—termasuk di desa. Upaya itu dilakukan dengan pemanfaatan biomassa, biogas, dan listrik lewat Pembangkit Listrik Tenaga Hibrid (PLTH).
Pun, menampung minyak jelantah untuk digunakan sebagai biodiesel. Melansir DW, Ashri Rahmatia, perempuan asal Bengkulu, mendaur ulang minyak goreng bekas pakai. Ia membuat wadah penampungan menyerupai botol, untuk mengumpulkan jelantah dari keluarga dan tetangganya.
Sampai pada akhir 2021, Ashri menceritakan jumlah minyak jelantahnya masih sedikit lantaran dalam seminggu, minyak jelantah yang dihasilkan dari setiap rumah tangga hanya 500 milimeter. Namun, ia enggak keberatan karena tujuannya mengusung program tersebut adalah mengedukasi masyarakat.
Pengalaman Ashri serupa dengan Kusniati yang mulai mengadopsi energi terbarukan lewat cara sederhana. Mereka membuktikan, pentingnya keterlibatan perempuan dalam hal ini, yang juga disepakati oleh Atiek.
“Kalau enggak ada perempuan, energ terbarukan cuma jadi jargon pemerintah aja, tanpa dijalankan. Atau hanya dilakukan di level transmisi besar, tapi pemanfaatan energi tetap dalam level paling tinggi,” jawab Atiek, menjelaskan akibatnya kalau perempuan tidak dilibatkan.
Realitasnya, ada berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk berkontribusi terhadap lingkungan yang bisa dimulai dari rumah, termasuk efisiensi energi. Pun para perempuan Indonesia telah mengetahui awareness tentang energi terbarukan.
Sayangnya, masih banyak yang menganggap energi terbarukan hanya bisa dilakukan oleh mereka yang berkecimpung dalam industri Science, Technology, Engineering, and Math (STEM). Kata Atiek, pemahaman itu yang menghambat perempuan dalam mengadopsi energi terbarukan. Padahal, setiap bidang bisa berkontribusi dengan caranya masing-masing.
“Misalnya finance, mereka bisa bantu dengan gimana caranya ruangan (kantor) yang sekarang punya fasilitas energi terbarukan, dengan biaya investasi serendah-rendahnya,” tutur Atiek, mencontohkan salah satu permasalahan yang selama ini dihadapi.
Dari situ terlihat segelintir orang masih menganggap energi terbarukan bisa dilakukan dengan mengadopsi dari hal-hal yang ada di lingkungan. Untuk menemukan solusinya, Atiek menyebutkan yang perlu dilakukan adalah memberitahu secara langsung tentang langkah-langkah yang bisa dilakukan.
“Dengan mencontohkan what can we do untuk membantu mengadopsi energi terbarukan, (aksinya) akan lebih cepat diadaptasi,” katanya. “Yang penting ditekankan dulu kalau transisi energi nggak akan terjadi tanpa efisiensi energi.”
Baca Juga: 5 Perempuan Inspiratif di Bidang Energi dan Pertambangan
Manfaat Menciptakan Energi Terbarukan dari Rumah
Membicarakan tentang efisiensi energi, sebenarnya tidak lepas dari kebiasaan kecil seperti mematikan lampu atau charger ponsel yang tidak terpakai, untuk membangun kebiasaan hemat listrik. Sebab, dalam Studi Jejak Karbon dari Aktivitas Permukiman di Kecamatan Pademangan Kotamadya Jakarta (2012) mencatat, total emisi karbon yang dihasilkan oleh kecamatan tersebut berjumlah 11.336,16 ton CO2 per bulan.
Menurut peneliti Ratih Gita Astari, angka tersebut terbagi menjadi 2910,12 ton CO2 karbon sekunder dari konsumsi energi listrik rumah tangga. Sisanya, sebesar 221,76 ton CO2, merupakan karbon primer yang berasal dari penggunaan bahan bakar fosil di rumah tangga.
Walaupun tidak dapat digeneralisasi di semua pemukiman, data tersebut membuktikan besarnya gas rumah kaca yang dihasilkan dari aktivitas manusia di rumah. Karena itu, energi terbarukan menjadi solusi untuk mengurangi jejak karbon pribadi terhadap energi yang digunakan.
Upaya itu yang berusaha dilakukan Denia setelah ia menyadari, banyak jejak karbon yang ditinggalkan dari kebiasaannya berbelanja online. Sebagai ibu pekerja, ia perlu melakukannya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Lama-kelamaan, Denia melihat banyaknya sampah plastik kemasan, daripada barang yang dibeli.
“Dari situ aku mulai merasa keganggu banget,” aku Denia. “Ditambah ada berita yang viral banget di 2018, soal diver di Inggris yang lagi berenang di Bali terus nemuin banyak sampah di lautnya.”
Selain menggunakan panel surya sebagai bentuk pemanfaatan energi terbarukan, minisponsible house milik Denia juga menampung air hujan dan memanfaatkan grey water recycle system. Sistem itu digunakan untuk menghemat air di rumah, yaitu dengan menampung air bekas mandi dan cucian piring untuk disaring kembali sebagai air penyiram toilet.
“Grey water recycle system ini bisa menghemat 2.400 liter air bersih yang dipakai untuk flushing toilet. Di luar juga kita punya alat penampung air hujan, bisa dipakai untuk siram tanaman atau bersih-bersih area (rumah) luar,” ucapnya.
Kesadaran yang mulai dibangun dari lingkungan rumah dan dibangun oleh perempuan, juga merupakan bentuk mengajarkan anggota keluarga tentang kebiasaan mengonsumsi energi. Bahkan, termasuk membentuk konservasinya. Seperti yang memotivasi Denia untuk lebih peduli terhadap lingkungan; menciptakan tempat tinggal yang layak dihuni bagi anak-anaknya.
Lalu, apa saja yang bisa dilakukan untuk mengadopsi energi terbarukan di lingkungan sekitar?
Atiek menyebutkan beberapa di antaranya. Pertama, tidak sembarangan dalam penggunaan listrik. Pasalnya, energi terbarukan belum sampai di tahap yang dapat menggantikan bahan bakar fosil secara penuh. Alhasil, pemakaian listrik yang tidak dikontrol akan tetap menyumbang emisi karbon.
Kedua, pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di rumah. Mungkin nominal pembayaran yang perlu dilakukan di muka terlalu ekstrem jika dibayangkan. Namun, kini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memiliki program dana hibah untuk memperoleh panel surya. Program itu diusung untuk menarik minat masyarakat dalam menggunakan panel surya.
Mengutip CNBC, hibah tersebut ditargetkan untuk memasang PLTS Atap di golongan rumah tangga, sosial, bisnis, dan industri dengan fokus Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Tujuannya adalah meningkatkan kapasitas PLTS Atap hingga lima megawatt untuk 1.300 pelanggan.
Ketiga, di lingkup tempat tinggal. Menurut Atiek, Rukun Warga (RW) bisa mengadvokasi dengan mencontohkan aktivitas yang mencerminkan pengadopsian energi terbarukan lewat pengalaman sendiri.
Keempat, di sektor pekerjaan yang bersinggungan dengan energi terbarukan. Perusahaan dapat mempromosikan gedung kantor untuk melakukan efisiensi energi dan secara aktif mendukung praktiknya. Hal ini akan menjadi contoh bagi perusahaan lainnya untuk mengikuti jejak tersebut.
“Kalau di level manajemen ya ajak (perusahaannya) untuk mempertimbangkan energi terbarukan, strateginya seperti apa. Kalau punya wewenang untuk ambil keputusan, cari jalan untuk memfasilitasinya di lingkungan perusahaan,” jelas Atiek.
Dengan demikian, perempuan dapat berperan secara signifikan dalam mengadopsi energi terbarukan dari berbagai aspek.
Tulisan ini didukung oleh Institute for Essential Services Reform (IESR).
Comments