Komika Bintang Emon menjadi trending topic baru-baru ini. Pada 12 Juni lalu, ia mengunggah sebuah video di Instragram berisi dirinya yang tengah mengomentari kasus penyiraman air keras terhadap penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan. Komentar tersebut menyusul dikeluarkannya tuntutan jaksa penuntut umum terhadap dua pelaku penyiraman selama satu tahun penjara. Ia memberikan lelucon sarkastis mengenai tuntutan tersebut, ditutup dengan pernyataan “loh kok ada tukang bakso di depan?”, sebuah sindiran mengenai petugas intel yang suka menyamar menjadi pedagang.
Dua hari setelah mengunggah video tersebut, Bintang menyatakan di Twitter bahwa mulai ada “gangguan” ke surel kerja serta akun kakak dan manajernya. Tidak hanya itu, ia pun dituduh menggunakan narkotika oleh tiga pengguna Twitter. Bersikap proaktif, Bintang pada Senin (15/6) mengunggah di Instagram hasil tes narkotika dari rumah sakit yang menyatakan dirinya bersih dari zat-zat terlarang tersebut.
Serangan yang dialami Bintang adalah satu dari deretan serangan digital yang menimpa sejumlah individu dan organisasi yang kerap vokal menyuarakan isu sensitif atau minoritas belakangan ini. Sebelumnya, terjadi intimidasi via WhatsApp, doxing atau penyebaran informasi pribadi, serta akses ilegal terhadap akun Grab Tantowi Anwari—yang tergabung dalam Serikat Jurnalisme untuk Keberagaman (SEJUK)—yang akan menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk “Diskriminasi Rasial terhadap Papua”. Istri Tantowi juga sempat mengalami pengurasan saldo GoPay secara misterius.
Sementara itu, dua jurnalis Teknokra Unila, yang menjadi penyelenggara diskusi tersebut, juga mengalami teror dan peretasan akun media sosial. Akun media sosial Teknokra pun sempat sulit diakses secara tiba-tiba.
Serangan digital terhadap individu juga pernah dirasakan oleh para aktivis lain, mulai dari Usman Hamid sampai Veronika Koman, serta dua anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM UI). Sementara aktivis dan peneliti kebijakan publik Ravio Patra bahkan sempat ditangkap dengan tuduhan menyiarkan berita onar setelah sempat mengalami peretasan WhatsApp.
Baca juga: Ferdian Paleka, Mira, dan Kebebasan Berpendapat dalam HAM
Kami pun di Magdalene merasakan serangan berulang pada laman kami yang menyebabkan laman tidak bisa diakses dalam waktu lama. Pada 12 Juni lalu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) kemudian mengeluarkan pernyataan mengecam penyerangan terhadap dua media yang gencar menyuarakan hak-hak perempuan dan kelompok minoritas, Magdalene.co dan Konde.co. Sejak 15 Mei 2020, situs Magdalene.co mengalami serangan DDoS (serangan dengan cara membanjiri lalu lintas jaringan internet pada server, sistem, atau jaringan) yang mengakibatkan situs Magdalene kerap tak bisa diakses. Kolega saya di Magdalene pernah mengalami doxing, morphing, serta menerima hinaan dan ujaran melecehkan di media sosialnya. Pada saat yang sama, Konde.co mengalami peretasan akun Twitter dari berbagai tempat berbeda hingga sempat tidak bisa mengakses lagi akun tersebut.
Selain media, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pun sempat mengalami peretasan akun Instagram pada 15 Juni lalu. Peretas mengubah alamat surel verifikasi akun Instagram mereka sehingga akun tersebut tidak bisa diakses selama beberapa jam.
Negara demokrasi, tapi antikritik?
Ketua Advokasi YLBHI Muhammad Isnur menilai, serangan digital menunjukkan adanya praktik pembungkaman terhadap pihak tertentu. Menurutnya, ada persamaan pola antara hal tersebut dengan yang terjadi semasa Orde Baru dan penjajahan Belanda: Pihak yang dibungkam adalah orang-orang yang kritis terhadap kekuasaan. Hanya saja, sekarang cara menyerang pihak yang punya kuasa atau akses lebih canggih dan cepat karena melibatkan teknologi internet.
“Belanda bahkan membuat undang-undang untuk mengkriminalisasi tindakan-tindakan tertentu yang dianggap mengancam pemerintahan. Banyak banget aktivis yang ditangkap Belanda, salah satunya Soekarno dengan tuduhan melawan pemerintah,” ujar Isnur.
Pengamat media Ignatius Haryanto mengatakan, ketika ada kritik terhadap situasi negara sekarang, tak jarang hal itu dianggap sebagai kebencian atau serangan terhadap pemerintah.
Baca juga: Tertarik Aktivisme, Tapi Mulai Dari Mana?
“Saya kira warga negara sah-sah saja memberi penilaian atau kritik terhadap apa yang sudah dilakukan [pemerintah]. Hal semacam ini jangan dilihat sebagai suatu serangan atau agenda dari oposisi. Kritik adalah kritik. Silakan dilihat kritik itu punya dasar atau tidak. Dan saya kira banyak teman sekarang ini punya dasar kuat dalam menyampaikan kritik yang ada,” ujar Ignatius.
Ia menambahkan, pembungkaman kritik yang terjadi sekarang sudah pada level berbahaya karena bisa membuat warga lain perlahan takut bersuara. Padahal kini sudah ada banyak saluran yang dapat digunakan untuk menyampaikan pandangan kritis dan kita tinggal di negara demokratis, ujarnya.
“Kalau kita menganggap diri sebagai negara demokratis, jangan set back ke masa otoriter. Kalau mau konsisten, mari kita melakukan diskursus. Kalau ada perbedaan pandangan, dihadapi dengan matang, dengan respons dalam bentuk misalnya perbaikan policy, dan lain-lain. Itu yang saya rasa jauh lebih elegan dibanding melakukan tindakan-tindakan represif tadi,” kata Ignatius.
Ia memandang serangan-serangan digital yang terjadi tidak terlepas dari kontestasi pemilihan umum lalu di saat masyarakat terbelah menjadi dua kubu. Kini, kritik terhadap pemerintah seolah dilihat sebagai kebencian dari satu pihak ke yang lainnya, padahal kritik-kritik yang ada masuk akal dan ada poin yang memang harus dibenahi oleh pemerintah, ujarnya.
“Semakin banyak tindakan represif atau peretasan terhadap kelompok yang kritis hanya menutupi apa yang menjadi kekurangan pemerintah,” kata Ignatius, penulis buku Jurnalisme Era Digital: Tantangan Industri Media Abad 21 ini.
Ketua Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marginal AJI, Endah Lismartini mengatakan, serangan digital terhadap individu dan media yang menggaungkan suara minoritas didasari oleh masih banyaknya orang yang belum memahami dan bisa menerima keberagaman.
“Saat ini serangan itu menguat karena tidak adanya tindakan tegas dan makin menguatnya politik identitas yang membawa sentimen agama dan moralitas semu,” ujar Endah.
Serangan digital menunjukkan adanya praktik pembungkaman terhadap pihak tertentu, mirip pola yang terjadi semasa rezim Orde Baru dan penjajahan Belanda.
Penegakan hukum yang lemah
Kendati kebebasan berpendapat telah dijamin dalam beragam undang-undang, pada praktiknya masih banyak orang atau kelompok yang diserang karena menyuarakan isu sensitif atau tidak sesuai dengan narasi utama dari pemerintah. Kalaupun pihak yang diserang hendak melaporkan kasusnya ke pihak berwajib, belum tentu proses penanganannya akan mulus, ujar Isnur.
Terkait tindak lanjut peretasan akun Instagram YLBHI, ia mengatakan pihaknya masih berdiskusi apakah akan membawa kasus ini ke jalur hukum atau tidak.
“Saat mendampingi Ravio yang mengadukan ke kepolisian atas peretasan yang dialaminya, responsnya [kepolisian] tidak secepat waktu Ravio ditangkap. Itu menunjukkan ada ketidakadilan. Harusnya dipercepat,” ujarnya.
“Ketika hal ini enggak dibongkar oleh kepolisian, timbul kecurigaan kalau ini menyentuh aktor-aktor yang memang secara struktur adalah petinggi. Kita bisa lihat juga contoh kasus penyiraman Novel Baswedan, butuh sampai tiga tahun prosesnya,” kata Isnur.
Mengenai serangan digital kepada media, Endah menilai bahwa UU Pers yang sejatinya diberlakukan untuk melindungi para jurnalis dan menghukum pihak yang menghalangi kerja jurnalistik, masih dianggap sebatas pemanis. Ia mengatakan penegak hukum masih lebih sering menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dan UU lain yang semangatnya jauh dari kebebasan dan kemerdekaan pers.
“Ini ditambah dengan banyaknya orang atau pejabat yang lebih suka lapor polisi dan menggunakan KUHP atau UU ITE untuk menjerat jurnalis dan produk jurnalistik dibanding mengadu ke Dewan Pers,” tambah Endah.
Strategi menghadapi serangan digital
Menurut Ignatius, serangan digital yang ditujukan ke sejumlah individu, media, dan kelompok perlu diberitahukan kepada publik agar masyarakat lebih tahu dan pemerintah sadar bahwa cara menangani kritik semacam ini salah.
“Harus ada pendekatan yang lebih terbuka dan dialogis. Ini juga menjadi masukan untuk membereskan birokrasi pemerintahan. Itu yang harusnya dilakukan, bukan melakukan peretasan terhadap media-media yang ada,” kata Ignatius.
Untuk mencegah seseorang atau kelompok terkena serangan digital di kemudian hari, Isnur menyarankan agar masyarakat, terlebih mereka yang kritis, untuk benar-benar mempelajari tentang keamanan digital.
Baca juga: Hati-hati Di Internet dan Hal-hal yang Perlu Diketahui Soal KBGO
“Kalau ada indikasi serangan, harus segera menghubungi jaringan seperti ke SAFEnet, ke teman-teman yang punya kemampuan agar selamat HP, akun, dan bisa mendapatkan perlindungan hukum. Pas kasus Ravio Patra kenapa cepat [proses pelaporan peretasannya]? Karena pas kejadian dia langsung melaporkan ke kami, ke SAFEnet. Akhirnya status Ravio berubah dari tersangka menjadi saksi,” jelas Isnur.
Belajar dari kasus penyerangan terhadap akun-akun keluarga korban serangan digital, proses pelaporan kasus serangan atau teror digital yang disegerakan juga menjadi penting karena dapat membantu melindungi keluarga korban tersebut.
“Kita harus mencari perlindungan menyeluruh. Kita punya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Kalau ada seperti ini, dengan berbekal laporan ke polisi, korban serangan digital bisa mengajukan perlindungan ke LPSK. Dari situ, bisa mendapat bantuan, misalnya berupa rumah aman, dievakuasi, dan lain-lain,” kata Isnur.
Ia menambahkan, jika seseorang telah mengalami serangan digital, ia perlu segera memulihkan akun atau alat komunikasi yang diserang atau diretas. Caranya bisa dengan mengeset ulang gawai dan meningkatkan keamanan aksesnya. Akan sangat berbahaya bila peretasan terjadi di gawai yang juga terhubung dengan akun e-banking atau fintech seseorang ,seperti yang dialami Tantowi.
Sementara untuk media-media alternatif yang mendapat serangan karena vokal, Endah menyarankan untuk membuat pemberitaan isu sensitif menggunakan byline akromnim atau menyebut “tim redaksi” alih-alih menyebut nama reporter atau editor.
“Cukup redaksi yang tahu siapa penulis dan editornya. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari doxing jika identitas reporter dan editor terpublikasi,” kata Endah.
Comments