Women Lead Pendidikan Seks
November 03, 2022

Apa itu COP27: 5 Istilah Penting yang Harus Kamu Tahu

Istilah penting yang harus kamu tahu biar enggak ketinggalan update soal isu krisis iklim di COP 27.

by Robby Irfany Maqoma
Issues
Share:

Para pemimpin dari berbagai negara bakal berkumpul pada 6-18 November 2022 di acara Konferensi Anggota (Conference of Parties/COP) Badan PBB. Mereka bersama-sama menghadiri Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim (UNFCCC) ke 27 di kawasan wisata Sharm el Sheikh, Mesir.

Konferensi ini menyedot perhatian pembesar-pembesar dunia dari beragam sektor, termasuk Indonesia. Di forum inilah para pemimpin berkumpul dan membicarakan masa depan Bumi.

Namun, tak sedikit orang-orang – terutama anak muda – yang mencemooh COP lantaran perbincangan para pejabat justru tidak menghasilkan aksi signifikan untuk mencegah perubahan iklim. Banyak pula yang cuek lantaran acara ini, berikut publikasinya di media, justru memakai istilah-istilah rumit yang menambah kebingungan publik.

Lantas, apa itu COP dan seberapa penting acara ini bagi kelangsungan Bumi? Berbekal uraian para ahli yang terbit di The Conversation, saya merangkum penjelasan beberapa istilah rumit yang kerap berseliweran di media kala hajatan tahunan ini berlangsung.

1) Buat Apa Ada COP?

Peserta di salah satu booth COP26 di Glasgow. (Jaspreet Kindra/OCHA)

Bagian awal tulisan ini sudah bilang, COP adalah hajatannya UNFCCC.

UNFCCC adalah badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membikin aturan dasar dan kerangka supaya negara-negara dunia bisa bergotong royong melawan perubahan iklim. Lembaga ini dibuat sejak 1992 agar negara-negara punya arah jelas untuk mengontrol emisi gas rumah kaca yang merusak kehidupan di muka Bumi.

Tahun tersebut juga secara langsung menjadi COP pertama yang dihadiri oleh 154 negara peserta UNFCCC. Sekarang, lembaga ini sudah punya 196 negara peserta. COP digelar setiap tahun, dengan negara tuan rumah yang berbeda.

Direktur Eksekutif University of Dayton Human Rights Center, Shelley Inglis, dalam artikelnya menyebutkan kalau COP sudah menghasilkan beberapa perjanjian internasional. Misalnya Protokol Kyoto dan Perjanjian Paris.

Dalam COP26 pada 2021 di Skotlandia, negara-negara juga menyepakati Pakta Iklim Glasgow untuk mengakhiri penggunaan batu bara –- salah satu biang keladi terlepasnya karbon dioksida maupun gas-gas lainnya ke atmosfer.

Pakta ini juga yang akhirnya mendorong Indonesia untuk melarang pembangunan PLTU baru.

Baca juga: Perundingan Iklim COP27 Dimulai November: Penting atau Pertemuan Omong Kosong?

2) Perjanjian Paris, Apa itu?

Matthew Hoffmann, Profesor Ilmu Politik dan Co-Director Environmental Governance Lab, University of Toronto, Kanada, dalam artikelnya mengatakan bahwa substansi utama Perjanjian Paris adalah adanya target bersama negara-negara untuk menahan laju suhu Bumi agar tak melebihi 1,5°C pada 2030. Sejauh ini, menurut kesepakatan para ilmuwan, Bumi sudah lebih hangat 1,1°C sejak 1850-an.

Peserta COP21 bergembira bersama usai mengumumkan kesuksesan Perjanjian Paris 2015 silam. Arnaud Bouissou - MEDDE/Wikimedia

Perjanjian yang diteken dalam COP21 ini juga mewajibkan para peserta untuk membuat rencana pengendalian emisi gas rumah kaca di negara masing-masing.

Perjanjian Paris juga punya aturan supaya laporan pengendalian emisi negara-negara bisa seragam. Perjanjian ini pun dibuat supaya memastikan pengendalian emisi negara-negara bisa sejalan dengan target suhu 1,5°C.

Hal lainnya yang diatur misalnya, kewajiban negara-negara maju untuk mengucurkan duit ke negara-negara belahan Bumi selatan yang notabene belum maju. Ini salah satu pasal yang paling alot, bahkan sempat ditolak oleh negara-negara kaya. Padahal merekalah yang bertanggung jawab pada sebagian besar polusi di muka Bumi .

Sementara, dosen senior bidang Physical Geography Loughborough University Inggris Richard Hodgkins dalam argumennya meyakini Perjanjian Paris penting karena suhu 1,5°C adalah batas paling ‘aman’ buat Bumi.

Kalau suhu Bumi sudah naik 2°C, misalnya, studi memprediksi hasil pangan bakal terpangkas besar-besaran – terutama di daerah tropis semacam Indonesia – dan sebagian besar terumbu karang akan musnah.

Andaipun COP gagal, kata Richard, bukan berarti dunia langsung kiamat. Namun, pemanasan berlebih bakal membuat kita kewalahan menghadapi berbagai macam bencana terburuk yang makin sering terjadi seperti kekeringan, gelombang panas, banjir besar, dan kenaikan muka air laut.

Baca juga: Konferensi Iklim Didominasi Laki-laki, Saatnya Tingkatkan Keterlibatan Perempuan

3) Apa itu Mitigasi?

Menurut Profesor Kebijakan Publik, Psikologi, dan Sains Perilaku di USC Sol Price School of Public Policy di Amerika Serikat, Wändi Bruine de Bruin, mitigasi (perubahan iklim) adalah tindakan manusia mengurangi emisi gas rumah kaca ke atmosfer.

Kebakaran hutan sebagai salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca dunia. USFWS/Pixnio

Mitigasi juga bisa dilakukan dengan menambah penyerapan emisi karbon di Bumi, misalnya dengan menanam pohon ataupun pemulihan mangrove.

Artinya, Wändi mengatakan, mitigasi bertujuan untuk mencegah perubahan iklim semakin buruk. Soalnya, emisi yang ‘menempel’ di atmosfer membuat panas tidak bisa keluar dari muka Bumi sehingga bikin planet ini semakin panas.

Emisi bisa kita kurangi dengan cara memangkas pembakaran batu bara, minyak Bumi, lalu menggantinya dengan energi terbarukan seperti sinar matahari dan angin. Kendati begitu, bisa juga lewat cara-cara tidak langsung seperti membuat bangunan yang hemat energi dan hemat material.

4. Apa itu Adaptasi?

Menurut Wändi, adaptasi adalah proses manusia untuk menyesuaikan diri dengan dampak perubahan iklim. Misalnya: lebih banyak menanam pohon di sekitar rumah agar suhu di tengah perubahan iklim bisa sedikit lebih adem.

Pembangunan tembok besar di sekitar Teluk Jakarta yang ramai dibicarakan sejak Joko Widodo menjadi Gubernur DKI juga disebut-sebut sebagai langkah adaptasi pemerintah buat menghadang kenaikan muka air laut.

Adaptasi penting supaya orang-orang semakin paham untuk hidup ‘berdampingan’ dengan bencana. Saat ini, bencana-bencana besar terkait perubahan iklim sudah terjadi di berbagai belahan di dunia.

Sayangnya, menurut dosen Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan, Stanislaus Risadi Apresian, anggaran dan program untuk adaptasi iklim Indonesia kurang mendapat perhatian. 

Baca juga: Tentukan Masa Depan Bumi, COP26 Jangan Dipolitisasi

4. Apa itu NDC?

NDC adalah kepanjangan dari Nationally Determined Contribution alias Komitmen Kontribusi Nasional. NDC, menurut Dosen Physical Geography Richard Hodgkins,, adalah komitmen “tugas kelompok” masing-masing negara untuk menahan pemanasan Bumi hingga 1,5°C pada 2030. Pembuatan NDC disepakati dalam Perjanjian Paris pada 2015 silam.

Dokumen ini diperbarui setiap lima tahun.. Perjanjian Paris juga mengatur mekanisme evaluasi kemajuan NDC yang bernama “global stocktake”. Tapi proses ini baru dimulai pada 2023 (dua tahun sebelum pembaruan NDC pada 2025) dan 2028 (sebelum pembaruan NDC pada 2030).

Indonesia juga menyetor dokumen NDC terbaru pada akhir September 2022. Dalam dokumen ini, pemerintah berkomitmen mengurangi emisi dengan skenario kemampuan sendiri (unconditional) sebesar 31,8 persen dan dengan bantuan internasional (conditional) sebesar 43,2 persen pada 2030. Angka tersebut lebih besar dibandingkan target dalam dokumen updated NDC yang terbit pada 2021, yakni sebesar 29 persen dan 41 persen untuk unconditional dan conditional.

Sementara, menurut Profesor Hubungan Internasional Universitas Queensland Australia Matt McDonald NDC negara-negara saat ini justru ditaksir akan meningkatkan suhu global hingga 2,4°C pada akhir 2100.

Itu pun dengan asumsi negara-negara mampu memenuhi target.

Karena itulah, Co-Director Environmental Governance Lab dari University of Toronto, Matthew Hoffmann, berpendapat kalau negara-negara membutuhkan undang-undang yang bisa langsung mengevaluasi pelaksanaan NDC di tingkat nasional – misalnya oleh parlemen. Sejauh ini baru ada Kanada, yang punya Net Zero Accountability Act untuk memastikan target iklimnya enggak berakhir di atas kertas saja.The Conversation

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Robby Irfany Maqoma, Editor Lingkungan, The Conversation.