Ayah tidak lulus sekolah. Ia tidak mau masuk kelas lantaran takut mendengar suara kapur di papan tulis. Ayah berhenti sekolah saat baru menginjak kelas tiga sekolah dasar. Ia lebih memilih membantu seorang tuan tanah memanen padi dengan upah sekadarnya. Bersama buruh-buruh tani lain, setiap siang Ayah berangkat ke sawah, lalu pulang menjelang malam untuk bersiap pergi mengaji ke surau tua di kampung kami. Di sanalah Ayah bertemu Zaskia, yang kelak menjadi ibuku.
Ayah jatuh cinta pada Zaskia sejak melihatnya pentas dalam pergelaran menyambut sebuah hari besar. Zaskia tampil paripurna dalam pertunjukannya dengan regu kasidah dari surau kampung tetangga. Mereka pun menjalin hubungan laiknya pasangan remaja yang sedang mekar-mekarnya, meski rasa cinta mereka sering pula mengalami pasang surut. Rindu Zaskia pada Ayah kerap kadaluarsa saking lamanya tidak dikunjungi ke rumah.
Setelah dewasa, Ayah semakin sibuk di sawah, karena posisinya menanjak dari yang semula cuma memanen padi menjadi kordinator tani. Ayahlah yang bertugas memberi para petani upah serta mengawasi pekerjaan mereka. Dari gaji yang didapat, Ayah sering membelikan Zaskia gelang, kalung, cincin, dan baju dari bahan terbaik.
Pada masa-masa itu, tidak semua keluarga mendapat listrik untuk menyalakan lampu di rumah mereka. Hanya tempat-tempat tertentu saja. Seperti tempat penggilingan padi, surau, dan kantor kepala desa. Sisanya gelap, termasuk jalan-jalan di seantero kampung.
Kebanyakan orang mengandalkan petromaks. Jika spiritus habis, mereka akan menebang bambu untuk kemudian dijadikan obor. “Dulu kami sering berlomba untuk membuktikan obor siapa yang paling besar nyala apinya,” kata Ayah padaku suatu ketika. Setiap anak di kampung masing-masing memiliki satu obor hanya untuk pergi mengaji. Terkadang seorang anak akan menangis dan tidak mau pulang dari surau lantaran obornya dicuri atau disembunyikan oleh teman-temannya.
Namun keseruan itu segera berakhir. Beberapa tahun kemudian listrik menjalar ke kampung kami. Sudah sedikit orang yang menggunakan petromaks. Mereka mulai membayar listrik. Ayah kemudian menikah dengan Zaskia saat ia berusia tiga puluh tahun. Ayah menikah menggunakan hasil tabungannya selama bekerja pada tuan tanah itu. Beberapa lama setelahnya, Ayah tidak lagi bekerja padanya karena tuan tanah itu bangkrut. Pabrik penggilingannya terbakar, tanah di sawahnya mengalami kerusakan. Padi yang ditanam tidak sesubur dulu. Banyak orang menduga jika musibah yang menimpanya adalah akibat dari jarang berzakat, tidak pernah berbagi pada anak yatim, atau memberi upah lebih pada janda yang terpaksa bekerja karena ditinggal suaminya entah ke mana.
Ayah dikenal memiliki kepribadian yang baik, jujur, ulet, ringan tangan kalau dimintai tolong oleh siapa pun. Walau tak jarang Ayah sendiri mengalami kesusahan saat menghidupi keluarganya. Sempat Ayah berpikir untuk menjual ginjal ke rumah sakit ketika menjelang kelahiranku. Cara ini diketahui Ayah dari cerita teman-temannya yang pernah mengadu nasib ke ibu kota. Persalinan Zaskia – ibuku – butuh biaya besar, sedangkan puskesmas belum usai dibangun kala itu. Untung saja ada Pak Weli, seorang pegawai negeri yang mengurus persoalan listrik. Ia ditugaskan di kampung kami semenjak listrik butuh diperluas keberadaannya. Pak Weli digaji cukup tinggi oleh negara, tentu ia tidak keberatan meminjamkan uang pada Ayah dan boleh diganti kapan saja. Bahkan Pak Weli menawarkannya sebuah pekerjaan, yakni penjaga gardu lampu. Di kampung kami, gardu lampu dipasang di beberapa wilayah secara terpisah. Dan petugas harus berkeliling untuk menyalakannya setiap menjelang malam.
Pak Weli sempat heran dengan orang-orang sekitar, mereka takut dengan pekerjaan itu. Takut kesetrum katanya. Tidak ada yang menginginkannya. Barangkali ini akibat terlalu terlambat mengenal listrik, atau hanya mengetahui listrik melalui cerita-cerita: orang mati tersengat listrik. “Lalu Ayah menerimanya?” tanyaku. Tentu saja Ayah menerimanya. Di samping keadaan sedang mendesak, Ayah memang sejak lama memimpikan pekerjaan yang tidak terlalu terikat peraturan. Seperti yang terjadi di kota-kota, banyak orang mencoba bunuh diri karena waktu yang mereka habiskan bekerja tidak sebanding dengan gaji yang mereka terima. Mereka terus menerus di dalam ruang dingin, atau pabrik sesak, tidak ada yang bekerja sambil melihat hamparan sawah. Lebih-lebih dapat bersantai di rumah sembari mencicil pekerjaan lain.
Setiap petang, Ayah akan pergi menyalakan lampu. Begitu pun ketika pagi menjelang: ia harus memadamkannya. Sebab jika Ayah terlambat sebentar saja, maka sepanjang jalan kampung akan gulita. Aku bersekolah dengan gaji yang diterima Ayah dari pekerjaannya itu. Kadang aku membiayai sendiri uang jajanku dengan menipu murid laki-laki yang senang menampilkan kehebatannya di hadapan murid perempuan. Bermodal hidung mancung dari ibu, dan kulit putih dari Ayah, serta bibir tipis yang kemungkinan kuwarisi dari Nenek, cukup membantuku memalak dengan cara manis.
Ibu paling senang mendengar cerita para laki-laki yang kutipu itu, mereka terlalu bebal. Atau terlalu tak berdaya menolak permintaanku. Kami becerita setiap Ayah pergi, sebab ia kurang senang mendengar perilaku itu. Kupikir Ayah tidak banyak dikhianati oleh perempuan. Sebab sepanjang hidupnya, perempuan yang menemani Ayah selain Nenek hanyalah Ibu. Jadi semestinya ia tak punya alasan untuk memarahiku. Sejujurnya, gelagat Ayah ini tak jarang membuatku merasa dibatasi. Moralitasnya terlalu sempit untuk diisi dunia.
Ayah mendidikku secara ketat. Ia mengarahkanku menemukan karakter diri, bahkan mengharuskan sejumlah pilihan untuk menjadi perempuan yang seperti ini-itu. Ayah juga rajin menanyakan pergaulanku di sekolah, lalu memberi nasihat kalau ada yang dianggapnya keliru. Terkait laki-laki, Ayah begitu waspada. Beberapa teman laki-laki yang berkunjung ke rumah diajak berbincang serius oleh Ayah, sebelum akhirnya aku menemui mereka dan berkata, “Maaf, ayahku memang begitu”. Ayah menjadi lebih posesif saat aku dekat dengan laki-laki. Mereka selalu diingatkan berkali-kali bahwa aku perempuan kesayangannya. Satu-satunya. Sehingga siapa pun yang mencoba mempermainkanku, apalagi menjalin hubungan karena berniat buruk, Ayah boleh jadi akan turun tangan. Meski sejauh ini hal itu belum pernah kualami.
***
Sekarang aku tinggal di kota bersama suamiku. Suamiku mengajar di sebuah perguruan tinggi negeri tidak jauh dari rumah, aku sibuk di perusahaan kopi yang mengedarkan produk dengan kemasan plastik bertemakan muda-mudi masa kini. Besok aku harus pulang ke kampung karena Ibu meninggal tanpa sebab. Ia tidak sakit atau mendadak diam seharian di kursi goyang seperti orang uzur pada umumnya. Tidak juga menitipkan pesan-pesan terakhir. bahkan beberapa hari lalu ketika aku meneleponnya, ia sanggup mendengar ceritaku yang masih tentang para laki-laki bebal. Ibu juga tertawa seperti biasanya. Aku sangat sedih mendengar kabar ini, berbeda ketika aku mendengar kabar ayahku yang meninggal enam tahun sebelumnya.
Ketika itu hujan deras, Ayah bersikeras menyalakan lampu. Kata orang-orang yang membawa mayatnya pulang, Ayah tersengat listrik bertegangan tinggi. Tapi Ibu tidak pernah memercayai kabar itu. Sebab saat melihat mayatnya langsung, punggung Ayah sobek seperti habis dipecut dengan benda tajam.
Namun, entah karena sesuatu yang tersembunyi dalam diriku, kabar Ayah meninggal tidak membuatku sedih. Malam sesudah Ayah dikuburkan, kampung menjadi gulita seperti ketika anak-anak kecil masih berlomba untuk membuktikan nyala obor siapa yang terbaik. Ibu memilih berduka sendirian di kamarnya. Sementara aku diam-diam menyambutnya dengan sukacita.
Comments