Saat sedang membaca-baca mengenai kekerasan seksual di India, saya menemukan referensi buku-buku mengenai Phoolan Devi si ratu bandit. Karena tidak berhasil mendapatkan buku-buku tersebut, saya kemudian menonton film Bandit Queen (1994) yang didasarkan pada buku India's Bandit Queen: The True Story of Phoolan Devi dari penulis India, Mala Sen.
Film tersebut membuka mata saya mengenai kelindan kekerasan seksual terhadap perempuan dengan tradisi kasta dan politik tribalisme. Dan bagaimana seorang perempuan memiliki semangat yang selalu berkobar untuk menyuarakan haknya sebagai manusia.
Lewat Bandit Queen, sutradara Shekhar Kapur mengisahkan kehidupan nyata Phoolan Devi, perempuan India yang menjadi korban ketidakadilan dari lingkungan sosial tempatnya tinggal. Phoolan berasal dari keluarga miskin berkasta rendah di permukiman kumuh di Uttar Pradesh, bagian utara India.
Sejak kecil, ia telah mengalami serangkaian peristiwa pahit: Kelaparan akibat kemiskinan, pernikahan dini (Phoolan dinikahkan di usia 11 tahun), kekerasan domestik (fisik dan seksual) oleh suaminya, pemerkosaan, sampai proses hukum tebang pilih.
Ayah Phoolan menyebut anak perempuan sebagai beban keluarga, dan karenanya mereka harus secepat mungkin dinikahkan. Sementara itu, anak laki-laki dianggap sebagai anugerah karena nanti merekalah yang akan bekerja dan menghasilkan uang untuk menghidupi keluarga.
Pandangan patriarkal itu juga diperparah dengan sistem kasta. Sebagian masyarakat yang berasal dari kasta tinggi dalam kisah ini cenderung menjadikan statusnya sebagai alasan untuk menindas orang-orang yang berasal dari kasta yang rendah, termasuk Phoolan dan keluarganya.
Baca juga: Film Sebagai Katarsis Bagi Penyintas Kekerasan Seksual
Hal ini terlihat ketika Phoolan dilecehkan secara seksual oleh seorang pemuda desa. Alih-alih mendapat pertolongan, Phoolan malah balik disudutkan dan dinyatakan bersalah oleh sidang desa yang dipimpin oleh orang-orang berkasta tinggi.
Di tengah sidang, pemuda yang melecehkan Phoolan mengatakan bahwa Phoolan-lah yang “mengundang” untuk dilecehkan. Pembelaannya sama sekali tidak digubris dan ia diusir dari desanya.
Phoolan menghabiskan waktu remaja dan dewasanya dari satu tempat ke tempat lainnya. Di mana pun ia tinggal, ia sering kali dilecehkan dan direndahkan, dan berkali-kali diperkosa. Berkali-kali pula pembelaan dirinya tidak diperhitungkan.
Penderitaan Phoolan berlanjut saat suaminya yang berasal dari kasta yang sama memperlakukannya dengan kasar dan semena-mena. Tak sekali dua kali ia memukuli Phoolan, memaksanya untuk berhubungan seksual, dan membuatnya mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga. Ibu mertua Phoolan juga tidak lebih baik.
Phoolan lantas kembali ke rumah orang tuanya, namun dicap sebagai perempuan gagal oleh masyarakat. Beruntung ia bertemu Vikram, anggota geng yang berkali-kali menyelamatkannya dan mengajarkannya pertahanan diri. Bersama Vikram, Phoolan berhasil membalaskan dendamnya pada orang-orang yang pernah menyakitinya.
Baca juga: Tak Ada HAM Tanpa Hak-hak Perempuan
Bandit Queen membuka mata saya akan efek domino dari diskriminasi. Meski semula hanya diterapkan kepada satu kelompok, diskriminasi tersebut lama-lama akan dianggap sebagai sesuatu yang wajar karena dilakukan terus menerus termasuk kepada kelompok-kelompok lainnya.
Film ini juga membeberkan sisi lain diskriminasi dari sudut pandang mereka yang ditindas. Dirugikan secara moral, seksual, sampai finansial, ternyata bisa membuat seseorang yang naif berubah drastis dan sangat idealis dalam memaknai dendamnya. Siapa pula yang punya mimpi buat jadi bandit ketika dewasa? Bukan Phoolan, bukan juga kita semua.
Bandit Queen mengingatkan kita bahwa semua orang berhak dihargai, apa pun latar belakangnya. Ketika masyarakat merenggut hak itu, tidak sepatutnya kita langsung menyalahkan saat mereka menuntut hak-hak yang selama ini tak pernah terpenuhi.
Film ini akan menggeser definisi kita tentang film yang sedih atau mengharu biru. Bukan cinta bertepuk sebelah tangan, melainkan nasib mengenaskan seseorang akibat ketidakadilan yang jauh lebih mengundang kesedihan, simpati, dan air mata.
Berkali-kali Phoolan harus menderita menanggung efek sanksi sosial dan konsekuensi hukum. Namun saat Phoolan benar-benar membutuhkan penegakan hukum untuk mencapai keadilan baginya, ia malah seolah menyublim. Hukum tidak menyelamatkan Phoolan ketika ia diperkosa. Hukum juga tidak menyelamatkan dirinya ketika ia diusir dari desa hanya karena kesaksian palsu orang yang berkuasa.
Comments