Siang itu, Fianda Nurul mengenakan jilbab berwarna merah muda polos, baju tunik hitam, dan celana jin biru dongker. Sangat kontras dengan suara bariton yang keluar dari balik masker yang ia kenakan.
“Ini pertama kalinya saya crossdressing di tempat umum,” ujar laki-laki berusia 27 tahun itu perlahan dengan tawa gugup.
Sedikit-sedikit ia melihat sekeliling kami secara waswas. Ia memilih bertemu di Kebun Binatang Ragunan, Jakarta Selatan, dengan alasan lebih aman dan tidak ramai.
“Aku takut, nanti ada yang kaget dan malah salah paham, padahal aku juga enggak melakukan apa-apa,” kata Fianda kepada Magdalene.
“Kemarin malam aku perlu mengumpulkan mood dulu buat jadi ‘Fianda’, karena persona Fianda dan aku sebagai laki-laki itu berbeda. Fianda itu ibaratnya cewek yang ingin mengekspresikan dirinya di tempat umum,” tambahnya.
Crossdressing atau berlintas busana merupakan sebuah tindakan memakai busana atau aksesori dari gender yang berbeda. Crossdressing sudah dipraktikkan sejak lama oleh berbagai tradisi masyarakat di seluruh dunia, mulai dari Yunani, Norwegia, dan kelompok agama Hindu. Di Asia, tepatnya di Jepang, praktik berlintas busana ini ditemukan dalam teater cerita rakyat, seperti teater Kabuki.
Masyarakat Indonesia juga tidak asing dengan praktik ini, terutama dalam seni pertunjukan. Sampai sekarang pun masih dapat ditemui aktor atau pelawak laki-laki yang menggunakan baju atau aksesori perempuan saat pentas. Beberapa tahun terakhir, di tengah kepopuleran budaya pop Jepang, lintas busana ini menjadi tren di kalangan anak muda, disebut costume play atau cosplay.
Awal tahun ini, tim Magdalene tak sengaja menemukan di media sosial ada komunitas laki-laki yang senang memakai pakaian muslimah atau hijab, dan akhirnya berkenalan dengan Fianda. Lelaki yang sehari-hari menjalan bisnis toko daring alat-alat komputer ini sudah melakukan crossdressing sejak 2011. Secara sembunyi-sembunyi, ia sering membeli baju dan aksesori perempuan.
“Kemudian tahun 2011 juga, saya mulai memakai hijab dan baju muslimah. Saya beli dari toko online. Walaupun enggak membeli secara langsung, tetap saja kalang kabut jika ditelepon kurir barangnya, takut ketahuan ibu di rumah,” ujar Fianda sembari tertawa.
Baca juga: Bagaimana Rias Wajah Mengubah Hidup Saya Sebagai Laki-laki
Fianda, yang lulus S1 dari Fakultas Ekonomi itu, mengatakan dia sendiri tidak paham kenapa dia suka memakai baju perempuan. Khusus untuk hijab, dia mengatakan ia senang mengenakannya “karena bisa menutupi ciri kelelakian saya,” meski lagi-lagi dia tidak mengetahui apa yang menyebabkan hal itu.
Awalnya tidak ada yang mengetahui kebiasaan Fianda menggunakan aksesori dan pakaian perempuan. Setiap kali berbelanja, ia meletakkan barang-barang itu di atas langit-langit kamarnya, di bawah genteng rumah.
“Biar enggak ketahuan sama orang rumah, satu-satunya tempat yang sulit dijangkau sama orang rumah cuma loteng itu. Kalau mau dipakai, saya harus ambil menggunakan galah,” ujar Fianda.
Namun, sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya kebiasaan Fianda berlintas busana itu ketahuan oleh sang ibu setahun kemudian. Ayahnya sudah meninggal saat itu.
“Ibu sangat terkejut tapi dia tidak marah. Dia memaklumi dengan syarat, biarlah ini jadi kegiatan bersenang-senang saja, jangan sampai orientasi seksualnya berubah,” kata Fianda.
Kompleksitas gender dan seksualitas
Komunitas laki-laki Indonesia seperti Fianda yang suka memakai hijab ini dapat ditemukan di grup-grup chat pribadi seperti Telegram. Di Facebook, ada halaman “Crosshijaber & Crossdresser” yang telah di-like oleh lebih dari 1.300 orang. Di Instagram ada akun @cross.hijaber yang memiliki 1.109 pengikut.
Fianda sendiri mengatakan dirinya adalah heteroseksual, demikian juga dengan banyak crosshijaber lainnya. Ada juga yang mengeksplorasi seksualitas mereka dan berhubungan dengan laki-laki, katanya.
“Sebagian besar crosshijaber adalah laki-laki yang masih menyukai perempuan. Malahan, menjadi sebuah prestasi tertinggi bagi kami jika partner kami tahu bahwa kami crosshijaber,” ujarnya.
Secara umum, ada anggapan bahwa crossdressing ini adalah sebuah fetish atau fiksasi seksual terhadap suatu objek atau organ tubuh. Psikolog klinis dari klinik AngsaMerah, Inez Kristanti mengatakan bahwa crossdressing memang dapat menjadi sebuah fetish, namun crossdressing juga bisa menjadi awal dari eksplorasi identitas gender si individu.
Baca juga: Bebaskan Diri dari Jebakan Kelamin
“Identitas gender dengan ketertarikan seksual itu berbeda. Kalau dia berkeinginan menjadi perempuan, itu sudah masuk dalam ranah identitas gender. Sedangkan kalau fetish itu definisinya ketertarikan seksual pada benda-benda atau pun objek,” ujar Inez.
Psikolog klinis dan salah satu pendiri Yayasan Pulih, Kristi Poerwandari mengatakan, keberadaan crossdresser baik perempuan dan laki-laki merupakan sebuah ilustrasi bahwa gender dan seksualitas adalah hal yang unik dan kompleks.
“Ada aspek yang memang bawaan, ada juga konstruksi masyarakat. Masih banyak sekali hal-hal yang belum diketahui dari gender dan seksualitas, dan kita perlu banyak belajar tentang hal ini daripada cepat membuat label dan kategori,” ujar Kristi kepada Magdalene bulan lalu.
Stigma dan kriminalitas
Stigma sebagai crossdresser sempat membuat Fianda vakum dari media sosial selama dua tahun sampai 2016. Akun media sosialnya sempat diketahui oleh teman-teman lamanya dan foto-fotonya yang memakai hijab tersebar.
“Wah itu heboh banget satu angkatan sekolah. Saya langsung blokir akun-akun itu. Saya juga bilang kalau foto-foto yang di media sosial itu foto adik perempuan saya. Untungnya adik saya kebetulan mirip banget sama saya,” kata Fianda tertawa.
Stigma lainnya yang sering diterima oleh crossdresser hijab adalah bahwa laki-laki yang menggunakan hijab suka melakukan perbuatan kriminal dan cabul.
“Saya kesal banget sama laki-laki yang menggunakan hijab atau pakaian perempuan untuk berbuat jahat. Itu membuat komunitas ini makin serba salah. Kita ini ‘kan hanya ingin mengekspresikan diri saja, enggak ingin berbuat jahat atau aneh-aneh,” ujar Fianda.
Meski masih waswas, ia semakin nyaman dengan kebiasaannya ini. Ia juga beberapa kali menjalin hubungan romantis dengan perempuan dan mendapat sambutan positif dari pasangannya, walaupun keluarga masih banyak yang belum mengetahui kebiasaannya menggunakan hijab ini.
“Saya dibesarkan di keluarga yang agamanya kuat, Bapak dan Ibu juga haji. Memang saat ini ada perasaan yang berkecamuk, ini benar atau tidak ya? Tapi sekarang saya bawa santai saja, kalau memang ini cara saya mengenal identitas gender, ya saya jalani saja,” ujar Fianda.
Comments