Fenty Widya lahir dengan celebral palsy, atau gangguan pada otak yang memengaruhi syaraf motorik untuk pergerakan tubuh. Kondisi ini mengharuskannya melakukan kontrol rutin ke rumah sakit untuk melakukan fisioterapi, kontrol khusus dengan dokter spesialis fisik dan rehabilitasi medis, tulang, mata, syaraf, serta psikolog. Jarak rumah yang terbilang jauh membuat Fenty harus menggunakan transportasi umum untuk mencapai rumah sakit. Namun hal itu menjadi kendala sebab kota Pekanbaru, Riau, belum ramah terhadap penyandang disabilitas.
Halte bus Transmetro Pekanbaru (TMP), misalnya, tidak dilengkapi dengan bidang miring untuk pengguna kursi roda, tanda isyarat untuk tuna rungu, serta pegangan jalur khusus untuk tuna netra. Bahkan di sebagian tempat terdapat halte yang hanya sebatas anak tangga saja, tanpa adanya tempat duduk serta peneduh.
Fenty mengatakan ia merasa kesulitan dengan minimnya fasilitas yang tersedia.
“Saya berharap adanya fasilitas khusus bagi penyandang disabilitas, seperti yang sudah ada di Jakarta, Surabaya, Solo dan Yogyakarta. Pada dasarnya itu kendala bagi kami untuk beraktivitas, apalagi setiap disabilitas mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda,” ujarnya baru-baru ini.
Aturan yang ada mengharuskan fasilitas umum yang dibangun untuk sesuai dengan standar kenyamanan, keamanan, dan keselamatan bagi penyandang disabilitas. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, UU No. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas, dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 14/2017 tentang Persyaratan Kemudahan Bangunan.
Namun fasilitas umum ramah disabilitas di Pekanbaru, Riau, sejauh ini belum memadai, termasuk halte TMP, puskesmas, dan kantor pelayanan publik seperti Kantor Catatan Sipil, Kantor Camat, dan Kantor Lurah.
Akibatnya, orang dengan disabilitas hanya dapat mengandalkan transportasi daring, yang biayanya relatif mahal dibandingkan dengan transportasi umum
“Menggunakan bus TMP hanya Rp4 ribu sekali naik. Jika menggunakan ojek online saya harus membayar sampai Rp50 ribu per hari. Sementara penyandang disabilitas seperti saya rata-rata hidup di bawah garis kemiskinan karena keterbatasan beraktivitas,” ujar Fenty.
Baca juga: Gelap, Rawan Kejahatan, Ringkih: Mengapa Perempuan Takut Berjalan di JPO Jakarta
Data dari Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) menunjukkan ada seribu orang penyandang disabilitas di Pekanbaru. Dari jumlah tersebut, 60 orang tercatat sebagai anggota Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Riau yang didominasi oleh tuna daksa. Salah satunya adalah Rita Romauly Simanjuntak, 43.
Rita menggunakan kursi roda sejak operasi menyusul kecelakaan sepeda motor yang ia alami pada 2011. Rita memiliki kelainan otot sejak lahir, yang mengharuskannya menggunakan sebatang kayu untuk menopang kekuatan berdiri. Ia kemudian menggunakan tongkat kruk ketiak, beralih pada kruk yang digelangkan di lengan atas karena merasa tidak nyaman lagi menggunakan kruk ketiak. Kemudian saat SMA menggunakan walker.
Alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Riau itu sempat menggunakan jasa angkutan umum sebelum ia memiliki sepeda motor roda tiga. Sampai kemudian terjadi kecelakaan yang membuatnya tidak mampu mengendarai sepeda motor sendiri.
“Saat ini, pengguna kursi roda tidak ada yang dapat mengakses transportasi umum, jadi saya setiap harinya harus diantar oleh keluarga,” ujar Rita, yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil pada Pelayanan Sosial Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemberdayaan Penyandang Disabilitas Daksa, Dinas Sosial Provinsi Riau.
Bekerja dari Senin sampai Jumat pukul 7.30 hingga 16.00, Rita memfokuskan diri pada pemberdayaan orang dengan disabilitas pada hari Sabtu. Saat ini Rita sedang mengadvokasi penyediaan kaki palsu untuk peserta didik binaan mereka yang tergabung dalam Forum Komunikasi Keluarga Anak dengan Kecacatan (FKKADK) Riau. Ia bernegosiasi dengan pihak yang mau membiayai, karena biaya yang ada dari pemerintah tidak mencukupi untuk penyediaan kaki palsu. Padahal banyak orang dengan disabilitas berasal dari kalangan ekonomi lemah.
Baca juga: Infrastruktur Kurang Memadai Dorong Tingginya Kekerasan terhadap Perempuan
Gencarnya aktivisme yang Rita lakukan saat ini merupakan penolakan atas pengalamannya semasa bersekolah. Ia tidak pernah mendapatkan lingkungan fisik yang akses baginya, dan toleransi pada mata pelajaran pun juga tidak diterima kecuali olahraga. Saat di perkuliahan Rita merasa lebih nyaman karena lebih diterima. Namun stigma-stigma negatif terhadap disabilitas masih mengakar sehingga memerlukan advokasi dan regulasi yang kuat, ujar Rita.
Untuk bisa secara fundamental mendobrak minimnya aksesibilitas fisik, transportasi dan bangunan publik di Pekanbaru, Rita mencoba mengadvokasi pemangku kepentingan.
“Saya tertarik dengan semua regulasi yang ada di negeri ini, khususnya Perda 18 tahun 2003, yang telah dikeluarkan Pergubnya yakni Nomor 106 Tahun 2015. Namun pemerintah setengah hati mengesahkan regulasi ini. Pasal yang mengaturnya sangat banyak, tapi selama ini belum pernah ada evaluasi pelaksanaannya,” kata Rita.
Yang mampu mewujudkan keinginan penyandang disabilitas untuk bebas menikmati pembangunan hanyalah kesadaraan pemangku kepentingan untuk dapat merealisasikannya, ujarnya.
Artikel ini ditulis oleh peraih program fellowship liputan yang diselenggarakan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerja sama dengan Magdalene.
Ilustrasi oleh Sarah Arifin
Comments