Sampai saat ini, kebanyakan iklan masih mendomestikasi perempuan, terutama bahan masakan dan pembersih rumah tangga. Sebut saja iklan pembersih kloset, menampilkan seorang perempuan membersihkan kondisi toilet yang kotor. Contoh lainnya, ibu memasak sup ayam dengan penyedap, sedangkan anak dan suaminya menunggu di meja makan.
Kedua contoh tersebut menitikberatkan peran perempuan sebatas urusan rumah tangga atau domestik, seakan-akan itu memang kewajiban mereka. Jika menarik iklan pembersih kloset dan mengaitkannya dengan realitas, kebersihan rumah merupakan tanggung jawab bersama. Semestinya, peran suami dan anak dapat dilibatkan, bukannya berpangku tangan “menyaksikan” ibu yang sibuk membereskan rumah.
Ini tidak hanya pada iklan masakan dan produk pembersih rumah tangga. Premis yang ditampilkan dalam iklan kecantikan, kebanyakan mengangkat perempuan berkulit gelap dan kusam yang kemudian berubah jadi putih dan cerah. Hal ini seolah merepresentasikan perempuan Indonesia tidak percaya diri dan selalu membutuhkan produk pemutih atau pencerah tubuh dan wajah, agar dirinya cantik.
Pada dasarnya, iklan merefleksikan situasi di masyarakat dan berbagai merek menawarkan solusi lewat produknya. Pernyataan ini disetujui oleh Camelia Pasandaran, akademisi Komunikasi di Universitas Multimedia Nusantara, saat diwawancara Magdalene pada (3/11).
“Sebetulnya ini berkaitan dengan penempatan perempuan dalam suatu budaya, dan iklan itu banyak merepresentasikan yang tampil di masyarakat saja. Akan tetapi, bukan berarti itu bisa dibenarkan,” ujarnya.
Dalam konteks budaya Indonesia, menurut Camelia, perempuan identik dengan 4P; pinggan atau urusan dapur, pilar atau pekerjaan domestik, peraduan atau tempat tidur, dan pigura sebagai urusan kecantikan. Keempat hal tersebut masih melekat dalam kehidupan masyarakat.
Kekuatan Iklan Memengaruhi Audiens
Sayangnya, kesamaan premis dalam iklan justru “memaksa” audiens menerima stereotip perempuan begitu saja. Dalam hal ini, seperti sudah seharusnya perempuan mengurus rumah tangga, sedangkan laki-laki mencari nafkah. Padahal, kenyataannya peran tersebut dapat dilakukan keduanya.
“Tanpa disadari, audiens itu menginternalisasi nilai-nilai diskriminatif gender yang ditampilkan dalam iklan. Perempuan jadi terjebak pada pemikiran ‘cantik harus berkulit putih’ dan kodratnya itu masak,” jelas Camelia.
Alhasil, audiens perempuan yang merasa dirinya tidak sesuai dengan definisi cantik dalam iklan, terdorong untuk mengubah penampilannya seperti standar kecantikan. Sementara laki-laki merasa wajar bila kurang memahami bahan masakan, atau barang-barang keperluan rumah tangga.
Menurut akademisi asal Inggris, Denis McQuail, dalam Teori Komunikasi Massa (1983), hal tersebut merupakan logika dasar televisi, yakni menggiring audiens untuk “tunduk” terhadap merek dan menggunakan produk yang ditawarkan.
Hal tersebut menunjukkan kekuasaan dimiliki oleh merek. Mereka menampilkannya lewat produksi iklan secara terus menerus, sebagai strategi supaya audiens menormalisasi peran berdasarkan gender, dan menyeragamkan pola pikir tentang kecantikan hasil kolonialisme.
Hal serupa dipaparkan oleh Michel Foucault, seorang filsuf asal Perancis, dalam Power: The Essential Works of Michel Foucault 1954-1984 (2001). Menurutnya, penguasa bukan tampil pada sosok pemerintah atau pejabat negara, tetapi individu maupun kolektif yang memiliki strategi, dan disampaikan melalui media atau teks sebagai bentuk produksinya.
Maka itu, sebetulnya merek memiliki kekuatan untuk memperbaiki persepsi audiens terkait stereotip perempuan. Dalam hal ini, disebutkan dalam poin kelima Women’s Empowerment Principles (WEPs), penghapusan stereotip berbasis gender dalam iklan mampu mencerminkan laki-laki dan perempuan berkepribadian progresif, cerdas, dan multidimensi. Salah satu perusahaan yang telah menerapkannya ialah PT Martina Berto, dengan menunjukkan keberagaman perempuan Indonesia.
General Manager Marketing PT Martina Berto, Jos Irwin Hartanto, mengungkapkan bagaimana masing-masing brand memiliki perbedaan karakter dalam mengurangi stereotip perempuan lewat iklan produknya.
“Kami memahami perempuan Indonesia memiliki kecantikan dari suku dan rasnya masing-masing. Sementara brand kami juga memiliki karakternya masing-masing, yang dipersonifikasi sesuai representatif perempuan Indonesia,” ucapnya pada Magdalene (5/11). Oleh karena itu, baik Sariayu, Biokos, maupun Mirabella memiliki ciri khasnya.
Secara konsisten, mereka mengangkat kearifan budaya lokal sebagai identitas bangsa, dalam memenuhi kebutuhan perempuan Indonesia. Jos menambahkan, inovasi yang ditampilkan bukan sekadar menjawab keinginan pasar, tetapi menyampaikan pesan akan pentingnya menghargai keberagaman.
Pentingnya Femvertising dalam Iklan Produk
Untuk menghapus stereotip perempuan dalam iklan produk, baik domestikasi ataupun standar kecantikan, brand perlu menerapkan femvertising. Istilah yang digagaskan oleh SheKnows pada 2014 itu memiliki definisi iklan yang menampilkan pesan dan citra pemberdayaan perempuan.
Berdasarkan penelitian “The Rise of Femvertising: Authentically Reaching Female Consumers” (2016) oleh Elisa Becker-Herby, akademisi dari University of Minnesota, AS, femvertising mampu meningkatkan prevalensi perempuan dalam periklanan. Hal ini bukan sebuah gerakan sosial, melainkan strategi iklan untuk mendorong penjualan produk, yang sadar akan nilai pemberdayaan perempuan.
Menghadapi hal ini, secara global UN Women menciptakan Unstereotype Alliance, yaitu inisiatif menyatukan para pemimpin industri periklanan, pembuat keputusan, dan kreatif untuk mengakhiri stereotip yang muncul dalam iklan. Meskipun belum diterapkan di Indonesia, para anggota UN Women berkolaborasi untuk memberdayakan keragaman, baik gender, ras, kelas, usia, kemampuan, etnis, agama, seksualitas, bahasa, maupun pendidikan.
Sebagai pimpinan perusahaan yang telah menerapkan femvertising, Jos menuturkan dampak positifnya, yakni mendorong audiens untuk membeli produk, sekaligus menciptakan citra positif pada brand.
Menurutnya, penerapan femvertising pun mampu mengedukasi audiens tentang perawatan diri ataupun produk itu sendiri. Melalui iklan, audiens akan memahami kecantikannya masing-masing dan mengutamakan kulit sehat yang terawat. Dari situ kepercayaan diri perempuan meningkat, sehingga lebih mengapresiasi fisik dan profesinya.
Namun, tidak mudah bagi sebuah brand untuk mengusung femvertising, terlebih dapat memengaruhi representasinya, meskipun saat ini masyarakat lebih melek terhadap isu kesetaraan gender.
Menanggapi hal ini, Camelia menjelaskan penyebabnya, yaitu kekhawatiran apabila kontennya dianggap terlalu liberal, dan menabrak nilai budaya yang ada. Oleh karena itu, pendidikan berbasis gender perlu diperkuat dalam industri media dan kreatif.
“Pendidikan itu harus dilakukan di periklanan secara menyeluruh. Sulit jika hanya salah satu dari brand atau agensi, yang menyadari adanya diskriminasi terhadap perempuan,” terangnya.
Akan tetapi, mengingat kuatnya pengaruh yang dapat diciptakan brand lewat iklan, semestinya mereka bisa mulai menggiring audiens untuk menyadari adanya stereotip perempuan, sekaligus menggerakan pemberdayaan.
“Pertanyaannya, mereka mau melakukan atau tidak? Menurut saya, itu permasalahannya di industri periklanan Indonesia,” tutup Camelia.
Comments