Rumah lama kami di area pesisir ujung utara Sumatra adalah rumah semi permanen. Dindingnya dibangun dengan papan tripleks di satu sisi dan kaca di sisi lainnya. Pada dinding tripleks tersebut, digantung satu-satunya dekorasi dalam rumah kami: Sebuah kaligrafi ayat-ayat suci (QS. Al-Baqarah 255).
Setelah kehilangan rumah karena gempa di Samudra Hindia pada tahun 2004, kami harus tinggal di sebuah ruko tiga lantai. Ibu dan kakak laki-lakiku pindah pada bulan Desember 2005. Aku bergabung dengan mereka di “rumah baru kami’ pada bulan Juni 2006, setelah aku menyelesaikan studi S1 di sebuah universitas swasta di Yogyakarta, dan kemudian memutuskan untuk bekerja di Banda Aceh.
Ibu menghias lantai dasar, menempatkan sebanyak mungkin dekorasi pada dinding bata ruko tersebut untuk membuat ruang tamu kami terlihat lebih menarik. Ibu menutup dinding tersebut dengan banyak foto-foto: Foto pernikahan kedua kakakku dan foto pertunangan kakak perempuanku, juga foto dia bersama ayah. Momen-momen tersebut baginya adalah suatu kebanggaan keluarga.
Di atas lemari, ibu menaruh foto-foto keempat cucunya yang dibingkai dengan indah. Dia juga ada dalam beberapa foto lain bersama cucunya, dengan ekspresi sangat bangga menjadi seorang nenek.
Pada Mei 2009, aku menerima beasiswa S2 di luar negeri. Sewaktu aku mengucapkan selamat tinggal pada kampung halamanku pada Januari 2012, tetap saja tidak ada satu pun fotoku di ruang tamu.
Beberapa tahun kemudian, setelah hampir pulih dari trauma gempa pada 2004 silam, aku memutuskan untuk membuat foto-foto wisuda. Untuk melakukannya, aku membuat janji dengan seorang teman baikku, seorang fotografer profesional.
Baca juga: Benarkah Perempuan Berpendidikan Lebih Tinggi Selalu Susah Menikah?
Aku sengaja melakukan sesi foto tersebut pada hari ulang tahunku, lagi-lagi karena setelah bertahun-tahun aku tidak pernah merayakan apa-apa karena trauma tsunami dulu. Aku merasa melakukan foto ini adalah sebuah langkah kecil untuk mengatasi hal traumaku.
Aku benar-benar menikmati sesi foto tersebut dan kami akhirnya memilih 15 foto. Satu di antaranya kupilih untuk dicetak dan diberi bingkai berukuran 30x40 inci. Aku memandangi foto wisuda tersebut dan menyadari bahwa aku telah mencapai banyak hal!
Aku sedang duduk di semester lima ketika bencana maut itu terjadi. Aku memiliki tendensi untuk bunuh diri selama 1,5 tahun. Setiap hari kala itu, aku harus berjuang melawan diriku yang enggan untuk bangun dari tempat tidur. Aku memohon kepada Tuhan agar memberiku kekuatan untuk dapat bertahan hidup hari itu saja. Permohonan yang kuulangi setiap pagi hingga aku lulus di bulan Maret 2006.
Di atas semua kepelikan yang kuhadapi, kesulitan keuangan adalah hal paling berat yang harus aku lewati: Aku bertahan hidup hanya dari donasi orang-orang baik hati dan sebuah beasiswa dari universitas, karena tidak ada kerabat atau keluarga yang mengulurkan tangan dan membantu.
Pada hari wisuda, namaku dipanggil sebagai salah satu dari lulusan terbaik—aku lulus dengan gelar cum laude dan meraih IPK 3,82. Aku juga merupakan lulusan tercepat di Departemen Ilmu Politik dengan menyelesaikan studiku dalam tiga tahun lima bulan.
Bagi ibuku, keberadaanku akan selalu dihilangkan dari memorabilia di ruang tamu kami selama aku belum datang dengan sebuah foto pernikahan.
Aku menduduki peringkat pertama dari 18 kandidat dan dari total 134 pemohon Fulbright Tsunami Relief Initiative Program batch keempat. Begitulah caraku mengejar gelar master Ilmu Politik di Universitas Arkansas, Fayetteville dari 2009 hingga 2011. Aku menuliskan sebuah tesis mengenai Pengadilan Pidana Internasional, yang kuajukan sebagai pemenuhan sebagian persyaratan untuk gelar MA, walaupun program tersebut hanya membutuhkan ujian komprehensif saja selain telah mengambil kredit yang disyaratkan.
Hingga bulan Maret 2020, tesis tersebut telah diunduh sebanyak 180 kali. Dulu, sewaktu aku menerima ijazah pada wisuda S2, aku menerima medali penghargaan sebagai Pemimpin Wisudawan oleh The Centre for Leadership and Community Engagement. Penerima penghargaan diperbolehkan untuk mengenakan medali tersebut di atas jubah wisuda kebanggaan, menjadikan kami wisudawan yang istimewa.
Untukku, pencapaian tersebut adalah sebuah kebebasan yang pantas dirayakan karena membutuhkan tiga generasi dari keluargaku untuk menghentikan perkawinan anak.
Nenekku lahir pada tahun 1930. Dia berumur 15 ketika menikah dan hanya lulusan SMP. Setelah itu, Nenek melahirkan 13 anak dan mengalami empat kali keguguran. Ibuku lahir pada tahun 1958, dan dia menikah pada umur 17 tahun, ketika ia baru saja lulus SMA. Ibuku melahirkan enam orang anak, dan aku sendiri lahir pada tahun 1983. Jauh berbeda dengan nenek dan ibuku, aku memiliki gelar pendidikan lebih tinggi sampai magister, dan aku masih lajang tanpa anak.
Baca juga: Terima Kasih, Ibu, Karena Tak Wajibkan Saya Nikah
Aku yang berkesempatan melanjutkan pendidikan tinggi lebih dulu sebelum menikah tidak lepas dari kontribusi ayahku. Dia mengatakan, “Setiap anak di keluarga kita hanya boleh menikah setelah ia menyelesaikan sarjana”. Mengikuti peraturan wajib belajar 12 tahun di Indonesia, kami akan berumur kira-kira 22 tahun ketika kami lulus dari universitas.
Lebih lanjut, aku adalah satu-satunya perempuan dari 16 cucu perempuan nenekku yang memiliki gelar master (nenekku memiliki 29 cucu dan dari 13 cucu laki-laki, hanya satu yang memiliki gelar master). Pencapaianku tidak dapat dibandingkan dengan sepupu laki-lakiku karena ia kuliah S2 dengan biaya orang tua, kemewahan yang tidak semua dari kami mampu dapatkan karena aku sendiri harus berusaha lebih untuk menyabet beasiswa.
Kini, aku menggantung foto wisuda magisterku di rumahku sendiri, sebuah kamar kos kecil di bilangan Jakarta Pusat. Bagi ibuku, keberadaanku akan selalu dihilangkan dari memorabilia di ruang tamu kami selama aku belum datang dengan sebuah foto pernikahan.
Artikel ini diterjemahkan oleh Bini Fitriani dari versi aslinya dalam bahasa Inggris.
Comments