Sering kali kita mendengar para perempuan saling menyalahkan, saling menyerang, saling bersaing untuk menjadi lebih cantik, lebih baik, lebih pintar, lebih progresif, dan lebih berdaya. Ada istilah-istilah yang menyudutkan perempuan, seperti “pelakor” (perebut laki orang), kemudian ada mompetition antara melahirkan secara “normal” atau lewat operasi Caesar, atau menjadi perempuan karier atau ibu rumah tangga. Selain itu, Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, sempat mengatakan bahwa jika ingin setara, perempuan harus berhenti mempermasalahkan keperempuanannya dan lakukan saja apa yang ingin dilakukan. Tapi betulkah sesederhana itu? Ketika budaya patriarki dan ketidaksetaraan gender telah mengungkung perempuan dari sejak mereka dilahirkan? Dan ketika perempuan-perempuan yang beruntung bisa melepaskan diri dari kungkungan itu malah menyalahkan perempuan-perempuan lain yang belum seberdaya mereka?
Lima belas tahun yang lalu, ketika masih aktif di organisasi gerakan mahasiswa tingkat nasional, saya adalah satu dari dua perempuan di antara belasan anggota Dewan Pimpinan Pusat (DPP) organisasi saya. Pada waktu itu saya juga meyakini bahwa dengan membuat persoalan perempuan menjadi isu tersendiri, itu akan semakin mengukuhkan perbedaan dan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan seharusnya berjuang saja mendapatkan apa yang diinginkannya dan meraih mimpi-mimpinya, dengan begitu ia akan setara dengan laki-laki. Ketika teman saya anggota DPP perempuan yang satu lagi mengusulkan untuk membuat divisi khusus yang mengurusi masalah perempuan, saya bersama dengan anggota DPP lain yang laki-laki menolak. Jika saya ingat lagi peristiwa itu, saya merasa malu.
Namun apakah kesadaran itu serta merta datang setelah itu? Tentu tidak! Dibutuhkan proses selama belasan tahun dan bahkan masih berlangsung sampai sekarang. Semakin banyak saya bersinggungan dan berproses bersama perempuan-perempuan lain dan pengalaman mendampingi kelompok-kelompok perempuan di komunitas, saya semakin melihat ketidaksetaraan gender sebagai permasalahan yang sangat nyata dalam kehidupan kita sehari-hari. Untuk bisa mencapai satu titik yang sama dengan laki-laki, perempuan memerlukan langkah lebih banyak dan lebih berbatu-batu. Tidak hanya datang dari nilai, norma, dan asumsi yang ada di masyarakat dan budaya di mana ia berada saja, namun juga dari dirinya sendiri, dan itu bukan salahnya.
Suatu kali, ketika memfasilitasi diskusi rutin yang dilakukan oleh kelompok perempuan dampingan kami, ada tiga perempuan yang bahkan tidak berani mengangkat pandangan dan berbicara. Mereka hanya menunduk selama diskusi berlangsung dan setiap kali ditanya hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum malu. Butuh tiga pertemuan lagi sampai mereka berani menyebutkan siapa namanya dan menjawab pertanyaan yang saya lontarkan, itu pun hanya dengan jawaban “ya” atau “tidak”.
Terkait Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes), perangkat desa sering mengatakan, “Kami sudah melakukan kesetaraan gender, kok. Para perempuan itu sudah kami undang, salah sendiri mereka tidak datang”, atau “Mereka sudah kami undang dan datang ke Musrenbangdes, tapi mereka diam saja selama acara, ditanya pendapatnya juga diam saja”. Dari cerita pengalaman saya di atas, mungkinkah perempuan akan tiba-tiba bisa begitu saja datang ke Musrenbangdes dan berdebat habis-habisan dengan laki-laki mempertahankan pendapatnya? Atau berani tidak setuju dengan usulan yang dikemukakan oleh para laki-laki yang adalah suami-suami atau ayah-ayah mereka?
Apakah salah perempuan karena mereka diam saja, tidak berani bicara, dan tidak berani berdebat dan berkonflik demi mempertahankan pendapatnya? Bukan, karena sejak bayi dia tidak pernah ditanya, didengarkan, dan dihargai pendapatnya. Dalam titik yang paling ekstrem mungkin dia tidak pernah tahu bahwa dia boleh punya keinginan atau pendapat.
Belum lagi masalah diskriminasi gender dan seksisme yang harus dipikul oleh perempuan, seperti dinomorduakan dalam kesempatan mendapatkan pendidikan atau kenaikan jabatan; pelabelan-pelabelan negatif ketika dia bersekolah tinggi, pulang malam, atau ketika dia tidak cantik dan lemah lembut; tanggung jawab pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak yang hanya dibebankan padanya; hingga berbagai jenis kekerasan dari mulai kekerasan psikis, kekerasan fisik, kekerasan ekonomi, kekerasan sosial, dan kekerasan seksual yang sulit dia lawan karena dia terkungkung dalam konstruksi yang membuatnya tidak bisa atau tidak tahu harus berbuat apa.
Memang ada beberapa perempuan yang berhasil melepaskan diri dari konstruksi sosial budaya dan ketidakadilan itu. Tetapi apakah itu dapat menjadi alasan untuk menghakimi perempuan-perempuan lain yang belum bisa? Sering kali ketika mendampingi kelompok perempuan di komunitas, beberapa perempuan yang merasa sudah “berdaya” menghakimi dan menyalahkan perempuan-perempuan lain tetangga mereka sendiri yang belum “berdaya”. Celetukan semacam, “Salahnya sendiri, dipukulin suami kok diam aja, kalau aku ya sudah aku lawan balik”, atau “Mau-maunya enggak dibolehin keluar sama suami untuk berkegiatan kayak gini, kalau aku sih mau ikut pelatihan menginap selama seminggu juga suamiku enggak apa-apa”. Ketika dia merasa sudah sedikit berdaya, bukannya mendukung dan mendorong perempuan lain yang belum seberuntung mereka, mereka malah menyalahkan dan menghakiminya.
Ketika saya menjadi narasumber di sebuah diskusi di perguruan tinggi ternama, salah satu mahasiswi mengatakan, “Supaya tidak direndahkan perempuan harus sekolah setinggi-tingginya sampai S3, dan kita perempuan bisa, kok, sekolah sampai S3”. Itu ‘kan bagimu, dek yang beruntung punya akses dan kesempatan untuk bisa sekolah sampai S3. Tapi apakah perempuan-perempuan yang sudah dinikahkan ketika masih berusia 15 tahun dan memiliki anak setiap tahun karena tidak diperbolehkan menggunakan alat kontrasepsi itu tahu apa itu S3, apalagi S3 di luar negeri? Bahkan satu jam perjalanan dari kampus ternama itu, di salah satu kelompok perempuan dampingan saya, pendidikan paling tinggi dari para perempuan itu adalah lulusan SD.
Kesulitan meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi juga dialami perempuan-perempuan di perkotaan yang sudah lebih berpendidikan karena beban ganda mereka dalam keluarga. Situasinya kurang lebih seperti ini: ketika suaminya mendapat beasiswa S2 atau S3 di luar negeri, sang suami akan langsung bilang, “Yes, horeee, aku akan segera berangkat!” tanpa berpikir dua kali. Namun ketika si perempuan yang mendapatkan tawaran itu, maka “Yes, tapi bagaimana ya, kan anakku masih kecil,” atau “Horeee, tapi enggak deh, aku tidak bisa meninggalkan keluargaku". Hal-hal ini jarang dihadapi oleh dan dituntut dari laki-laki.
Menyedihkan sekali ketika sebagai perempuan kita sudah bisa keluar dari konstruksi sosial dan budaya serta berbagai macam ketidakadilan gender yang melingkupi kita tapi kita kehilangan empati pada sebagian besar perempuan lain yang masih belum bisa, padahal itu bukan salah mereka. Banyak perempuan yang masih berjuang bahkan hanya untuk bisa menjadi dirinya sendiri.
Dengan perempuan saling mendukung, saling membantu, dan saling berempati saja, perjalanan menuju kesetaraan gender itu masih panjang dan berliku. Apalagi kalau perempuan saling menjatuhkan, saling menghakimi, saling menyalahkan, dan saling bersaing. Tantangan terbesar kita adalah budaya patriarki yang membuat bahkan perempuan pun memandang perempuan lain dan dirinya sendiri sebagaimana patriarki memandang mereka.
Comments