Ovy Sabrina dan Novita Tan sudah kenal lama. Keduanya bertemu pertama kali saat jadi mahasiswa psikologi di Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta.
Setelah lulus kuliah, mereka sempat punya bisnis kuliner bersama. Namun, kini bersama-sama mendirikan Rebricks, sebuah perusahaan rintisan yang memproduksi bahan bangunan ramah lingkungan dari sampah plastik.
Latar belakang pendirian Rebricks tak lepas dari kepedulian keduanya terhadap isu lingkungan hidup, terutama pencemaran akibat sampah plastik. Ide itu muncul pada 2018, ketika Novi sedang hamil.
“Kami berpikir, sejak anak ini lahir sampai dia tumbuh besar, sampah yang kita hasilkan sekarang masih tetap ada,” kata Ovy. “Kami harus ngapain nih?” tambahnya.
Baca juga: Zarifa Ghafari, Wali Kota Perempuan Termuda Afghanistan yang Diancam Taliban
Dari pemikiran tersebut, perempuan berusia 36 tahun ini berinovasi untuk membuat paving block dari sampah plastik. Ovy terinspirasi orang tuanya yang punya usaha produksi paving block konvensional.
“Kami punya akses ke produksi bahan bangunan. Jadi kami bisa mendaur ulang sampah ini menjadi bahan bangunan,” ujar Ovy. Ia berharap bahan yang mereka produksi bisa tahan lama dan sustain.
Pada 2018, Ovy dan Novita mulai meneliti untuk mencari cara mengolah sampah plastik kemasan menjadi bahan bangunan. Keduanya tak memiliki latar belakang pendidikan di bidang teknik sehingga mereka merekrut seorang dosen teknik sipil untuk membantu dalam riset dan pengembangan produk-produk Rebricks.
Rebricks meluncurkan produk pertamanya berupa paving block setahun kemudian, pada November 2019. Proses paling lama, kata Ovy, adalah menggenapi kualitas produk mereka sesuai dengan standar nasional Indonesia (SNI). Paving block Rebricks dikategorikan dalam kriteria SNI kelas B, yang cocok digunakan dalam pembuatan, antara lain pelataran area parkir dan fasilitas pejalan kaki.
“Kami ingin agar kuat tekannya bisa bersaing dengan produk konvensional. Jadi, kami mencoba-coba berbagai formula,” tambahnya. Paving block buatan mereka kuat ditekan massa sebesar 250 kilogram per sentimeter persegi baru mereka dapatkan setelah 1,5 tahun melakukan riset.
Baca juga: bell hooks Will Never Leave Us, She Lives On Through The Truth of Her Words
Rumitnya Persoalan Sampah Plastik
Limbah plastik masih menjadi masalah global yang sulit dipecahkan. Menurut Plastic Waste Discharges from Rivers and Coastlines in Indonesia, laporan yang dikeluarkan Bank Dunia pada 2021, Indonesia menghasilkan 7,8 juta ton sampah plastik setiap tahunnya. Sebanyak 4,9 juta ton sampah tersebut tidak terkelola dengan baik.
Ovi menyadari peliknya persoalan tersebut, terlebih ada masalah tempat pembuangan akhir (TPA) yang sudah kelebihan beban untuk menampung sampah.
“Kalau kita sudah terbiasa memilah sampah di rumah, kita jadi tau bahwa kita belum punya solusi untuk pengolahan sampah kemasan seperti sachet minuman kopi, kemasan plastik mie instan, plastik gula. Sampah-sampah ini pasti berakhir di TPA,” tuturnya.
Ovy menegaskan, dengan adanya paving block buatan Rebricks, perusahaannya dapat membantu mengurangi tumpukan sampah.
“Kalau sampahnya enggak dijadikan paving block, maka akan memenuhi TPA dan sebagian besar akan berakhir di laut kita,” katanya.
“Kalau bisa kami mengolahnya dan (produk ini) dipakai, setidak-tidaknya setiap meter persegi paving block itu menghentikan sekian banyak plastik agar tidak berakhir di TPA,” tambahnya.
Selain digunakan dalam produksi paving block, sampah plastik juga bermanfaat dalam pembuatan batako dan roster. Jenis-jenis sampah yang diterima oleh Rebricks adalah sampah rumah tangga berupa kemasam, plastik kemasan isi ulang, bubble wrap, dan label plastik pada botol minuman.
Untuk memperoleh bahan baku pembuatan bahan bangunan, Rebricks dibantu oleh orang-orang yang bersedia mengirimkan sampah rumah tangganya. Seiring dengan berjalannya waktu, Rebricks juga mendapatkan perhatian dari perusahaan-perusahaan besar.
“Kami melihat bahwa perusahaan punya tanggung jawab untuk mengolah sampahnya. Kalau mereka ingin mengirimkan sampahnya kepada kami, kami berkolaborasi membuat sebuah projek. Mereka biasanya membeli kembali sampahnya (yang telah dijadikan produk bahan bangunan) untuk kegiatan CSR atau pribadi,” ujar Ovy.
Di sisi lain, pengurangan sampah dapat memitigasi dampak pemanasan global. Bank Dunia memperkirakan bahwa pada tahun 2050, jumlah sampah di bumi akan mencapai 3,4 miliar ton. Akumulasi sampah akan menghasilkan gas rumah kaca yang berkontribusi pada perubahan iklim.
Baca juga: Amar Alfikar Bicara Hak Beragama Transgender: ‘Islam Tak Lihat Fisikmu’
Kendati demikian, Ovy berpendapat bahwa efek pemanasan global tidak cukup jika hanya dimitigasi melalui pengurangan sampah.
“Dampak pemanasan global tidak hanya disebabkan oleh sampah. Pemanasan global itu menjadi faktor (pendorong) bahwa kita harus memanfaatkan energi terbarukan. Yang pasti adalah, pada saat kita mengolah sampah, kita mengurangi tumpukan sampah di TPA,” tuturnya.
Aktivitas yang dilakukan Ovy dan Novita telah menarik berbagai pihak yang semakin menyadari pentingnya menjaga lingkungan hidup. Keduanya telah diundang untuk membagikan pengalamannya pada berbagai diskusi daring yang diadakan universitas dan organisasi non-pemerintah.
Inovasi Rebricks dalam menciptakan bahan bangunan ramah lingkungan juga berbuah penghargaan. Bersama Fortuna Cools (sebuah perusahaan dari Filipina yang memproduksi styrofoam coolers yang ramah lingkungan dari sampah industri perkebunan kelapa). Rebricks dianugerahi ICLIF Leadership Energy Award, sebuah apresiasi bagi para pemimpin dan agen pembuat perubahan di Asia dari Asia School of Business Malaysia.
Sebagai perusahaan yang masih cenderung baru, Rebricks masih memiliki mimpi yang ingin diwujudkan di masa depan.
“Kami ingin agar Rebricks bisa hadir di pulau-pulau lain, sehingga kami bisa meng-address permasalahan sampah plastik tertolak di tempat lainnya. Mudah-mudahan kami bisa mendaur ulang lebih banyak lagi,” kata Ovy.
Comments