Setelah sebelas hari saling serang, pemerintah Israel dan kelompok militan Hamas di Jalur Gaza setuju untuk melakukan gencatan senjata Jumat pekan lalu (21/5). Pemicu konflik yang berlangsung sejak Ramadan itu selalu sama dengan serangan-serangan lain yang terjadi sebelumnya, yaitu perebutan wilayah, perampasan sumber daya, dan tempat tinggal dari masyarakat sipil Palestina.
Konflik yang terjadi bulan ini dimulai saat puluhan warga Palestina yang sudah lama bermukim di Sheikh Jarrah, Yerusalem Timur—sebuah wilayah yang diduduki Israel—diusir dari rumahnya, yang kemudian ditempati warga Israel.
Menolak pengusiran itu, warga Palestina berdemonstrasi di sekitar Mesjid Al-Aqsa, 7 Mei lalu. Aparat kepolisian Israel lalu menutup jalan menuju mesjid dan melakukan pemeriksaan bagi warga yang ingin melakukan ibadah. Namun, situasi semakin memanas dan pihak kepolisian melemparkan gas air mata dan peluru karet. Organisasi kemanusiaan Palestinian Red Crescent mengabarkan 228 orang dilarikan ke rumah sakit dan tujuh di antaranya sedang dalam kondisi kritis.
Israel juga kemudian menghancurkan gedung Al-Awqaf, yang di dalamnya ada kantor beberapa media, termasuk kantor berita AS, Associated Press. BBC menyebutkan ada 243 korban jiwa di Gaza,100 orang perempuan dan anak-anak, serta 12 korban jiwa di Israel.
Baca juga: Peran Penting Perempuan dalam Penyelesaian Konflik dan Terorisme
Berdirinya Israel dan Sejarah yang Kompleks
Secara historis konflik itu bisa dilacak sejak akhir abad ke-19. Sebelum Perang Dunia I pecah pada 1914, wilayah Palestina ada di bawah pemerintahan Kerajaan Ottoman, Turki. Saat Ottoman kalah perang pada 1918, wilayah Palestina diambil alih oleh Inggris.
Sebelumnya, pada 1917, Perdana Menteri Inggris saat itu, A.J. Balfour, menjanjikan wilayah Palestina ini untuk diaspora Yahudi agar mendapatkan dukungan dalam perang. Perjanjian tersebut kemudian dikenal dengan Deklarasi Balfour.
Menurut Sefriani, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta, deklarasi tersebut menumbuhkan zionisme, atau gerakan nasionalis orang-orang Yahudi untuk kembali ke “Tanah Suci” dan membangun negara di sana. Pilihan tersebut didasari atas alasan bahwa wilayah tersebut merupakan tempat nenek moyang orang Yahudi sebelum diusir oleh Kerajaan Romawi.
Gagasan zionisme sendiri diusung oleh Theodor Herzl, seorang jurnalis Yahudi keturunan Austria pada 1896. Keinginan untuk membentuk negara Yahudi semakin kuat dengan menjamurnya sentimen anti-semit di Eropa.
“Deklarasi Balfour menumbuhkan zionisme agar diaspora orang Yahudi datang ke Yerusalem untuk membangun negara. Faktor lainnya adalah holocaust (genosida orang-orang Yahudi di Eropa oleh Nazi),” ujarnya dalam sesi diskusi daring Legal Talk Society di Universitas Islam Indonesia (21/4).
Populasi Yahudi di wilayah tersebut kemudian semakin besar menyusul okupasi dan pengusiran warga Palestina. Pada 1947, Inggris meninggalkan Palestina dan menyerahkan isu Palestina-Israel ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membagi dua wilayah tersebut. Pembagian wilayah ini dikenal sebagai Resolusi 181 pada tahun yang sama, yang menjanjikan 56 persen wilayah Palestina yang diduduki Inggris untuk Israel. Sementara itu, Yerusalem menjadi wilayah internasional karena memiliki berbagai tempat ibadah yang sakral untuk Islam, Kristen, dan Yudaisme.
Resolusi tersebut disetujui Israel, tetapi ditolak oleh Palestina, juga Yordania, Mesir, Irak, dan Suriah, yang kemudian mendeklarasikan perang yang berlangsung 1948-1949.
Israel memenangkan perang tersebut, yang membuat sekitar 700.000 warga sipil Palestina menjadi pengungsi. Zionis menghancurkan 530 desa dan kota di Palestina dan menewaskan lebih dari 15 ribu orang di sana. Pada Mei 1948, negara Israel didirikan, sementara Palestina menandai peristiwa ini sebagai nakba (malapetaka).
Pada 1964, pecah perang antara Mesir, Suriah, dan Yordania dengan Israel, yang kemudian dikenal dengan Perang 6 Hari. Pada perang tersebut, Israel berhasil menguasai Tepi Barat dan Yerusalem Timur dari Yordania, sementara Mesir menguasai Gaza sejak 1967. Gaza lalu diambil alih oleh Hamas pada 1987 yang mendeklarasikan diri sebagai grup militer yang melawan Israel.
Kemarahan masyarakat Palestina karena korban yang terus berjatuhan membuat mereka membentuk gerakan perlawanan yang dikenal dengan Intifada pada 1987-1993. Pada 1993, Amerika Serikat memfasilitasi Deklarasi Oslo pada 1993 sebagai upaya perdamaian Palestina-Israel, yang menjadi tanda berakhirnya Intifada pertama. Namun masih banyak warga Palestina yang menolak hal ini, sehingga muncul Intifada kedua pada tahun 2000-2005.
“Isu ini tidak hanya perluasan wilayah, tapi ada campur tangan Inggris dan negara-negara sekitar terhadap perkembangan wilayah Israel,” ujar Aisha R. Kusumasomantri, akademisi hubungan internasional dari Universitas Indonesia.
Baca juga: Feminisme Islam dan Permainan Waktu
Palestina-Israel Bukan Konflik Agama
Banyak yang melihat isu Palestina dan Israel ini sebagai konflik agama, termasuk di Indonesia. Menurut Aisha, sangat berbahaya jika isu perebutan wilayah tersebut dilihat sebagai konflik antara Islam dan Yahudi, karena mampu menghambat perspektif hukum dan politik sebagai penyelesaian konflik.
“Anggapan konflik agama memperparah perpecahan di masyarakat, khususnya komunitas Yahudi di Indonesia yang mengalami persekusi,” ujarnya kepada Magdalene (24/5).
“Masyarakat Palestina beragam, ada orang Kristen dan Yahudi. Begitu pula di Israel, ada penduduk Kristen dan Islam di dalamnya. Ini murni isu politik,” Aisha menambahkan.
Menurut Aisha, klaim yang sering digunakan masyarakat Israel bahwa wilayah itu milik nenek moyang bukan landasan yang sah dan merupakan bentuk kolonialisme.
“Klaim seperti itu digunakan banyak negara untuk melakukan ekspansi wilayah. Misalnya Laut Cina Selatan, pemerintah Cina melakukan perluasan dengan alasan laut tersebut adalah tempat melaut masyarakat Cina Tradisional,” ujarnya.
Sementara itu, tidak semua masyarakat Yahudi mendukung zionisme. Ada beberapa kelompok Yahudi yang menolaknya, termasuk komunitas Yahudi Ortodoks. Rabbi Dovid Feldman dari Orthodox Jews Against Zionism mengatakan aparat Israel butuh menerima serangan untuk menjustifikasi serangan ke Palestina. Gerakan zionis memerlukan peperangan agar masyarakat Yahudi lainnya dapat bersimpati, ujarnya dilansir dari Anadolu Agency, sebuah media di Ankara, Turki.
“Kita harus objektif dalam melihat ini. Menurut saya kita seharusnya berpihak pada masyarakat sipil yang menjadi korban dan mayoritas di Gaza. Bukan kepada Zionis atau Hamas,” Aisha menambahkan.
Baca juga: Ahli: Ketaatan Mutlak pada Suami Salah Satu Faktor Perempuan Terlibat Terorisme
Pelanggaran Kemanusiaan dan Korban Perempuan
PBB mencatat bahwa sepanjang 2008-2021, korban tewas mencapai 5.739 orang Palestina dan 251 orang Israel. Perempuan dan anak-anak menjadi pihak yang paling rentan mendapatkan kekerasan.
Aktivis perempuan Palestina, Ahed Tamimi, mengatakan bahwa perempuan Palestina di penjara Israel tidak menerima hak medis dan perempuan Palestina secara umum menjadi korban pemukulan oleh tentara Israel, ujarnya seperti dikutip dari Anadolu Agency. Tamimi sendiri berusia 16 tahun saat dipenjara karena menampar tentara Israel yang menembak kepala sepupunya dengan peluru karet, saat melakukan demo di Tepi Barat pada 2017.
Selain itu, Israel juga melakukan kejahatan perang karena menyerang anak-anak, jurnalis, dan tenaga medis, termasuk kepada Rouzan al-Najjar, seorang perawat perempuan berusia 20 tahun yang mati ditembak saat membantu demonstran terluka di Gaza pada 2018.
Amnesty International menyebut pelanggaran lain yang dilakukan Israel berupa pendirian pemukiman ilegal di wilayah Palestina, pembunuhan warga sipil di daerah yang diokupasi Israel, blokade Ilegal di jalur Gaza, pengekangan kebebasan orang Palestina, penyerangan terhadap aktivis, dan kesulitan dalam proses suaka serta penentuan status pengungsi yang adil.
PBB juga menyebutkan Israel melanggar Perjanjian Jenewa Keempat tentang perlindungan warga sipil, dan meluncurkan berbagai resolusi sebagai teguran pada pelanggaran Israel. Mahkamah Internasional juga mengatakan pembangunan tembok di atas pemukiman Palestina di Tepi Barat adalah ilegal.
Sefriani dari UII Yogyakarta mengatakan meskipun telah dinyatakan melanggar hukum internasional dan menerima teguran dari PBB, Israel terus mendapatkan imunitas karena menerima dukungan dari AS, yang merupakan anggota Dewan Keamanan PBB.
“Peran hukum internasional sangat primitif dan Dewan Keamanan mandul, tidak bisa melaksanakan fungsi. Ketika ada resolusi tidak dipatuhi dan tidak diberi sanksi. Jadinya percuma,” ujarnya.
Gencatan Senjata Bukan Solusi, Tapi Berdiri Dua Negara
Aisha mengatakan bahwa masyarakat Indonesia memang tidak bisa secara langsung berkontribusi pada konflik Palestina-Israel, tetapi bisa ikut membantu ketika ada penggalangan dana dan donasi yang dilakukan masyarakat sipil. Ia menambahkan bahwa meningkatkan kesadaran tentang apa yang terjadi menunjukkan solidaritas kepada Palestina.
Sefriani mengatakan, Palestina membutuhkan solidaritas dari negara lain, namun, untuk solusi damai masih sulit dilakukan jika hanya berhenti pada gencatan senjata.
Menurut akademisi John Strawson dari University of East London, perdamaian bergantung pada situasi politik di Israel. Dalam artikel yang dimuat The Conversation, Strawson menulis bahwa Perdana Menteri Benjamin Netanyahu tidak menganggap aspirasi politik warga Palestina dan menilainya sebagai isu administratif saja. Netanyahu berhasil mengajak sesama politikus untuk mengabaikannya, sehingga solusi diartikan sebagai tidak adanya konflik bersenjata, tanpa penyelesaian isu yang mampu mengantar ke arah perdamaian.
Sefriani mengatakan jawaban yang paling tepat untuk konflik tersebut adalah menyetujui berdirinya dua negara. Pembagian wilayah juga harus mengikuti Resolusi 181.
Selain itu, harus ada penegakan Resolusi PBB dan memberikan sanksi yang adil bagi pihak yang melakukan pelanggaran, ujarnya.
“Dari sisi politik diperlukan mediasi dari negara yang berperan kuat dan tidak memihak. Sedangkan secara teoretis kedua pihak harus menahan diri tidak menggunakan kekerasan dan sistem peradilan tidak memandang bulu,” kata Sefriani.
Comments