Suatu malam, saya merasa letih dan kehabisan napas, serasa sedang berenang menuju pulau sepuluh kilometer di depan, tanpa pelampung, tanpa perahu di sekitar untuk saya tumpangi dan rehat. Bukan, ini bukan gejala fisik yang terjadi karena ada gangguan di organ tubuh saya, tetapi karena emosi yang sudah lama ditahan dan hampir luber ke permukaan.
Saya duduk di teras rumah sendirian, meneteskan air mata yang sudah beberapa menit saya bendung. Baru saja saya bertengkar dengan pasangan, ketika anak kami yang berusia 11 bulan rewel karena sakit dan butuh hampir sejam kami menenangkannya. Semenit lebih lama berada di dalam rumah yang hanya terdiri dari satu ruangan tiga kali lima meter—tempat saya dan pasangan bekerja, beristirahat, makan, tidur—saya merasa saya akan kehilangan akal sehat.
Hal ini bukan sekali saja saya alami. Beberapa kejadian serupa saya hadapi, lantas situasi berjalan seperti biasa lagi, dan siklus kembali berulang setiap ada masalah kecil yang datang ketika keletihan hebat melanda.
Selama pandemi ini, memang saya tidak perlu buang tenaga ke kantor yang jaraknya puluhan kilo dari rumah. Tetapi seperti halnya disampaikan dalam beberapa cerita orang lainnya, bekerja dari rumah membikin saya jauh lebih capek. Sejak pagi berkutat dengan mengurus bayi bareng pasangan saya, mengantarnya ke daycare (yang untungnya masih buka sampai sekarang, jadi saya bisa bekerja lebih tenang), membenahi rumah dan cuci ini itu, memasak, laptopan sampai sekitar jam 5 sore, lalu kembali pasang wajah happy buat menghibur si kecil sekembalinya dia dari daycare. Begitu terus selama lima bulan belakangan. Ingin sering-sering pergi menyegarkan diri di luar rumah jadi makin sulit dilakukan sekarang-sekarang ini karena khawatir saya membawa pulang penyakit ke rumah.
Perasaan saya tidak jauh beda dengan Kim Ji-young yang kewalahan menjalani hidup sebagai ibu, bedanya saya punya pekerjaan lain di luar rumah tangga.
Memasang wajah senang waktu berinteraksi dengan anak barangkali yang paling susah saya lakukan. Saya tahu di luar sana hampir semua ibu juga menghadapinya, dan sebagian fine-fine saja dengan itu karena keletihan mereka terbayar oleh tawa dan keriaan sang bayi. Di beberapa waktu pun saya begitu. Tetapi akhir-akhir ini saya sering kehabisan energi buat sekadar bercanda dengan anak saya dan mengantarnya tidur dengan setengah jam puk-puk dan nyanyian.
Baca juga: Pilihan atau Tuntutan: Refleksi 2 Ibu Rumah Tangga
Keletihan secara emosional diperparah dengan pertengkaran-pertengkaran dengan pasangan. Bukannya bekerja sama supaya pekerjaan rumah terasa lebih ringan, kami malah sering saling mengkritik, berdebat, yang akhirnya malah menguras tenaga. Bangun pagi hampir tidak pernah saya lewati dengan badan segar dan pikiran plong. Di akhir hari saja masih berseliweran di pikiran soal pekerjaan-pekerjaan belum terselesaikan, yang menumpuk keesokan harinya dan memicu kecemasan saya.
Malam itu pikiran saya berlari ke belakang, ketika saya masih bisa bersantai menjalani hari meskipun pekerjaan juga banyak. Kontras dengan sekarang saat pace terasa begitu cepat, mengejar semua hal untuk terselesaikan dalam satu hari.
Saya tidak menyesali apa yang sudah saya pilih, tetapi tidak dimungkiri bahwa kenyataan yang saya hadapi masih sering membuat saya breakdown. Barangkali saya hanya merasa asing dengan diri saya sendiri sekarang dan butuh waktu sendiri untuk kembali mengenali dan menyayanginya.
Me time adalah kebutuhan, bukan hanya kemauan
Bicara tentang mengambil waktu sendiri, salah satu teman saya melakukannya secara rutin. Setiap akhir pekan, ia meminta waktu untuk tidak mengurus anaknya sesaat dan membiarkan suaminya untuk mengurus anak mereka.
Saya sebenarnya sepakat dengan apa yang ia lakukan. Tetapi, tidak jarang ada perasaan bersalah muncul ketika melakukan ini. Saya seharusnya menghabiskan sebanyak mungkin waktu dengan anak saya, saya semestinya tidak membebani pasangan saya di akhir pekan karena saya tahu, kami sama-sama capek dengan beban kerja luar dan dalam rumah yang sepadan dan tidak ada asisten rumah tangga (karena tidak sanggup menyewanya) atau anggota keluarga lain yang menolong.
Lantas, tebersit di benak saya bahwa me time adalah mitos buat orang tua baru macam situasi saya. Ditambah dengan ucapan-ucapan macam “Ya memang begini hidup seorang ibu baru” atau “Kamu harusnya bersyukur”, saya makin merasa bahwa saya tidak bisa lari dan hanya bisa menelan keletihan saya bulat-bulat.
Ada juga pendapat yang membuat saya makin kecil hati ingin mengambil me time dari teman saya yang lain, seorang bapak dua anak yang kebanyakan bekerja dari rumah sementara istrinya yang bekerja kantoran. Ia merasa me time itu omong kosong dan tidak perlu. “Me time gue ya bareng sama anak-anak gue,” kata dia.
Semakin lama pikiran itu terpelihara, semakin saya merasa tertekan dan tidak bisa berfungsi dengan optimal dalam mengerjakan macam-macam hal. Setelahnya, malam itu saya sadar, personal space atau me time bukan lagi suatu kemauan saja, tetapi kebutuhan yang pemenuhannya mendukung penyelesaian tugas-tugas yang ada. Tidak boleh lagi saya mengabaikannya walaupun sempat ada perasaan bersalah tadi.
Baca juga: Bapak Rumah Tangga Adalah Solusi, Jadi Tak Perlu Risi
Satu artikel menarik di situs Motherly menyatakan bahwa berdasarkan studi dari University of Michigan, kurangnya me time lebih besar pengaruhnya dalam menciptakan pernikahan tidak bahagia dibandingkan kurangnya hubungan seks yang memuaskan. Di sana juga disebutkan bahwa kata psikolog, me time mendatangkan banyak keuntungan seperti menjernihkan pikiran, meningkatkan konsentrasi, memperbaiki relasi, serta memberi ruang untuk menemukan diri.
Dua poin terakhir saya garisbawahi. Hampir 24/7 bertemu dengan pasangan ditambah mengurus anak yang masih sangat demanding tentu jadi resep mujarab untuk membuat kita gampang jenuh, stres, dan akhirnya berkonflik. Saya sempat merasa tidak lagi mengenali pasangan saya sebagai teman yang menyenangkan dan menganggap masing-masing hanya menjalani peran sebagai orang tua di satu rumah saja. Itu menyedihkan. Dan cara untuk mengubah situasi macam itu adalah dengan mengambil waktu sendiri sebentar, memuaskan hal-hal yang saya rindukan sejak lama, menjadi senang dulu baru saya bisa berbagi keriaan dengan yang orang sekitar saya. Saya percaya bahwa orang tua yang bahagia dan content adalah kunci menumbuhkan anak yang juga bahagia.
Anggapan bahwa orang tua sepatutnya selalu berkorban demi anak atau untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang ada itu usang dan perlu digeser dengan pikiran untuk rutin menyediakan waktu sendiri, mengembangkan hal-hal yang disenangi. Tidak hanya buat diri sendiri manfaatnya saya rasa, tetapi juga buat anak yang sering mencontoh dari orang tua.
Memikirkan kepentingan orang lain memang baik ditanamkan kepada anak, tetapi bila itu artinya dengan terus-terusan berkorban, bukankah kita malah menjauhkan anak dari praktik menyayangi diri sendiri? Bagaimana caranya anak belajar menyayangi orang lain dan kelak merasakan relasi yang sehat bila ia belum paham menyayangi diri sendiri? Salah-salah, nanti anak berpikir tuntutan untuk selalu berkorban dari masyarakat, teman, atau pasangannya adalah sesuatu yang wajar dan lebih mulia dibanding membahagiakan diri.
Baca juga: Ibu Hamil dan Melahirkan Rentan Depresi
Strategi melakukan me time
Memang benar kita menyandang identitas baru setelah menjadi orang tua, tetapi itu bukanlah identitas satu-satunya yang kita punya. Selama kita ingin, kita bisa terus menghidupi identitas dan kesenangan lain, sebagai seorang teman, profesional, penyayang hewan, pecinta alam, pelajar atau apa pun itu. Berumah tangga dan anak tidak selalu berarti kita harus menumbangkan mimpi dan kesenangan sewaktu lebih muda. Kita hanya butuh strategi untuk mendapatkannya, mengakses me time.
Support system pasti jadi nomor wahid. Tanpa pasangan, keluarga, teman, asisten rumah tangga, atau siapa pun yang bisa kita titipi tugas mengurus anak, kita makin susah mewujudkan me time.
Kemudian, enyahkan sebentar kecenderungan melakukan banyak hal dalam satu waktu dengan hasil maksimal. Saya menyadari bahwa kekurangan me time saya disokong oleh pemikiran macam ini, yang tidak betah kalau melihat masih ada yang belum terselesaikan atau berantakan. Alhasil, saya burn out sendiri. Saya tertekan, keluarga ikut terkena imbasnya.
Di situasi serba terbatas, kita dituntut untuk lebih kreatif memikirkan cara kabur dari kepenatan. Definisi me time juga perlu dilihat lagi. Apa artinya harus pelesiran lama di tempat jauh atau reuni di luar dengan teman-teman seharian? Ini bisa saja berarti menghabiskan waktu menonton serial beberapa jam, membaca, main game, merawat tubuh, atau apa pun yang bisa dilakukan di rumah (apalagi masih masa pandemi) tanpa interupsi pekerjaan harian. Saya sendiri sesekali kembali menggambar atau mengajak jalan anjing-anjing saya sewaktu bosan sedang hebat-hebatnya. Emosi buruk sedikit berkurang, semangat perlahan datang.
Menjajal hal baru seperti berkebun, misalnya, juga bisa mengalihkan perhatian kita sejenak dari kebosanan akan rutinitas. Kalaupun sudah mau meledak, kita bisa mengontak psikolog atau psikiater untuk berkonsultasi, ini bagian dari me time juga loh!
Comments