Kasus pemerkosaan beramai-ramai dan pembunuhan terhadap “Y” yang berusia 14 tahun baru-baru ini, menunjukkan bahwa liputan media mengenai kekerasan seksual sangat mendesak untuk diperbaiki.
Kematian Y yang mengenaskan hampir tidak menjadi berita nasional pada awalnya, hanya dilaporkan satu bulan kemudian oleh koran lokal. Kasus ini menimbulkan riak di media sosial hanya setelah beberapa aktivis menemukan artikel yang tersembunyi itu beberapa hari kemudian, dan memulai sebuah kampanye untuk mendukung Y dan meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai situasi tersebut.
Ketika kasus itu akhirnya menjadi berita utama di mana-mana, semakin terungkap bahwa media masih seksis, tidak paham dan tidak sensitif terhadap korban dan keluarganya dalam peliputannya.
“Media massa adalah sebuah potret masyarakat dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Masyarakat yang sebagian besar masih patriarkis dengan nilai-nilai laki-laki yang dominan akan tergambar dalam liputan media massa yang hidup di dalamnya,” ujar Alex Junaidi, jurnalis senior di The Jakarta Post dan Direktur Serikat Jurnalis untuk Keberagaman.
“Perempuan masih dianggap sebagai properti. Ia dinilai dan dieksploitasi lebih banyak dari bentuk tubuhnya daripada pikirannya. “
Alex merupakan salah satu pembicara dalam diskusi tanggal 11 Mei dengan tema “Peran Media dan Masyarakat Sipil untuk Menghentikan Kekerasan Seksual” di @america, Pacific Place, Jakarta. Diskusi tersebut merupakan bagian dari kampanye #MulaiBicara atau #TalkAboutIt yang berlangsung selama tujuh bulan dan diadakan oleh Lentera Indonesia dan Magdalene, untuk meningkatkan kesadaran public akan masalah kekerasan seksual di Indonesia.
Alex mengatakan bahwa jumlah jurnalis perempuan yang lebih sedikit daripada jurnalis laki-laki juga dianggap menciptakan bias-bias dalam pemberitaan kasus-kasus kekerasan seksual.
“Media masih menegaskan stereotip tertentu tentang perempuan: perempuan baik itu ibu rumah tangga yang bisa mendidik anak, wanita karir yang bisa membagi waktu untuk keluarga, dan sebagainya. Perempuan buruk adalah yang suka keluar malam, janda, dan lain-lain,” ujar Alex.
Media tidak ragu menggunakan bahasa yang seksis dan menghakimi, serta eufemisme “menggagahi” untuk pemerkosa, sementara korban digambarkan sebagai orang yang ternodai atau kehilangan kehormatannya.
Beberapa laporan media menerbitkan artikel-artikel dengan kalimat-kalimat seperti: “Untunglah, akhirnya pelaku pemerkosaan bersedia menikahi korban…” Berita lain memiliki judul seperti: “Mengharukan, Pemerkosa Nikahi Korbannya di Masjid Polres.”
“Lebih parah lagi, ada media-media yang menyebutkan alamat lengkap dan data diri korban. Ini pelanggaran Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik yang menyebutkan bahwa ‘Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan’,” kata Alex.
Media sebetulnya dapat menjalankan peran penting dalam upaya-upaya untuk mengurangi masalah kekerasan seksual dan budaya pemerkosaan yang mengakar di masyarakat Indonesia.
“Media adalah alat pendidikan, penggiring opini, dan agen informasi. Media dapat membentuk persepsi masyarakat dan merupakan tempat penting bagi orang-orang untuk berinteraksi,” ujar Wulan Danoekoesoemo, Direktur Eksekutif Lentera Indonesia, sebuah kelompok pendukung untuk para penyintas kekerasan seksual, dalam diskusi tersebut.
Media seharusnya membantu, bukannya memperburuk situasi kekerasan seksual yang sudah parah di Indonesia, katanya.
Alex menambahkan bahwa media seharusnya bukanlah cermin statis yang memotret apa adanya fakta, termasuk kekerasan seksual, dan bisa memicu kejahatan lebih lanjut.
Sebaliknya, media harus menjadi “cermin dinamis yang bisa ikut mengubah wajah buruk masyarakat menjadi lebih menghormati perempuan dan mencegah kekerasan.”
Setiap dua jam, tiga perempuan mengalami kekerasan seksual di Indonesia, menurut Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Sebagian besar pelaku adalah mereka yang dekat dengan korban dan memiliki akses terhadap mereka.
Sayangnya, fokus dalam kasus kekerasan seksual seringkali menyalahkan perempuan, membuat banyak penyintas enggan melaporkan serangan seksual yang dihadapi mereka dan membuat pelaku bebas.
Budaya diam yang meliputi kekerasan seksual sungguh “memekakkan telinga,” menciptakan iklim impunitas dan membuat penyintas sulit mendapatkan keadilan. Hal inilah yang mendorong dilakukannya kampanye selama tujuh bulan oleh Lentera Indonesia dan Magdalene.
“Kami ingin masyarakat setidaknya mulai berbicara mengenai kekerasan seksual, melalui tagar #MulaiBicara,” ujar Wulan.
Kartika Jahja, musisi independen dan aktivis perempuan dari Kolektif Betina dan Bersama Project, mengatakan masyarakat madani dapat berbuat lebih banyak untuk mencegah kekerasan seksual terhadap perempuan.
“Masyarakat dapat mulai dengan memahami akar dari kekerasan seksual dan semua kekerasan berbasis gender, yakni ketidaksetaraan gender. Begitu mata kita terbuka terhadap realitas tersebut, kita akan mulai melihat ketidakadilan berbasis gender di mana-mana. Lalu kita dapat menanggulangi isu itu dalam hidup kita sendiri.
“Guru dapat melakukannya dengan mengaplikasikan kesetaraan gender di kelas, para ibu mengajarkan putra-putra mereka untuk menghormati perempuan sebagai mitra setara, pengusaha mendorong kebijakan-kebijakan perusahaan yang tidak diskriminatif, media dengan menghasilkan konten dengan perspektif gender yang lebih baik. Hal ini perlu upaya bersama,” ujarnya.
Baca artikel tentang kaitan antara kekerasan seksual dan kemiskinan dan ikuti @heradiani di Twitter.
Comments