Ketika Kongres Kusta Internasional Pertama digelar di Berlin pada 1897, perwakilan pemerintah Belanda, T. Broes van Dort bilang, banyak masyarakat pribumi di Nusantara yang mengidap penyakit kusta. Namun, jumlahnya sulit diperkirakan karena mayoritas masyarakat tidak melaporkan kejadian kepada penyelenggara kesehatan.
Sebagai tindak lanjut laporan itu, pemerintah kolonial mendirikan puluhan leprosaria (rumah tinggal khusus pengidap kusta) di wilayah Hindia Belanda, mulai dari Aceh hingga Papua. Salah satu yang terbesar adalah Leprosarium Plantoengan di Kendal, Jawa Tengah.
Fasilitas tersebut sekaligus menjadi inspirasi novel berjudul De Weg Naar Plantoengan (1948) karya dokter Johanna Cornelia Soewarno-van der Kaaden. Johana adalah istri salah satu pendiri Boedi Oetomo, dokter M. Soewarno.
Pada 2015, lebih seabad setelah Kongres Kusta Internasional Pertama, Indonesia masih menjadi salah satu penyumbang jumlah baru kasus kusta tertinggi di dunia. Angkanya mencapai 17.202 kasus – ketiga terbesar setelah India dan Brazil.
Baca juga: Bagaimana Penyandang Disabilitas di Sulawesi Selatan Berjuang Selama Pandemi?
Jawa Timur menyumbang angka kusta tertinggi secara nasional selama 2015-2017, dengan rincian 4.013 kasus (2015), 3.999 (2016), dan 3.373 (2017).
Riset saya di Jawa Timur menemukan, salah satu faktor dari penyebab kegagalan eradikasi kusta di Indonesia adalah stigma dan diskriminasi. Pengidap kusta maupun warga yang tinggal bersama pasien kusta – meski tidak terkena penyakit itu – sama-sama mendapatkan perlakuan diskriminatif secara sosial dan struktural. Mereka kerap menjadi korban eksploitasi.
Penyakit dan Diskriminasi
Kusta, juga dikenal dengan lepra, merupakan salah satu penyakit tertua di dunia. Selama ratusan tahun, kusta seringkali diasosiasikan dengan hukuman Tuhan untuk perilaku amoral ataupun penyakit turunan. Pengusiran dan pengucilan terhadap pengidap kusta banyak disebut dalam kitab-kitab suci atau laporan-laporan kuno, seperti misalnya di History of Sumatra yang ditulis pegawai kongsi dagang Inggris, William Marsden.
Pada 1873, Gerhard Armauer Hansen, peneliti dari Norwegia, menemukan bahwa kusta merupakan penyakit menular akibat infeksi Mycobacterium leprae. Untuk mengenang penemuannya, penyakit kusta kini disebut juga dengan penyakit Hansen (Hansen’s disease), atau morbus Hansen.
Bakteri kusta berkembang dengan lambat (slow growth). Kemunculan pertama gejala kusta dapat memakan waktu tiga hingga lima tahun sejak infeksi.
Gejala kusta diawali dengan bercak-bercak putih yang jika terlambat ditangani dapat merusak jaringan ikat dan pada akhirnya menyebabkan perubahan struktur jari tangan dan kaki, mutilasi anggota tubuh, serta kebutaan.
Pengobatan terhadap penyakit kusta saat ini dilakukan dengan pendekatan multi-drug therapy, menggunakan kombinasi rifampicin, dapsone, dan clofazimine. Sejak 1981, terapi penyakit kusta diadakan secara gratis atas kerja sama WHO dengan The Nippon Foundation dan Novartis Foundation. Upaya ini efektif menekan penularan penyakit kusta di puluhan negara.
Meski begitu, kusta masih tercatat sebagai penyakit endemik di beberapa negara. Penyebabnya antara lain kemiskinan, sanitasi yang buruk, dan lemahnya sistem kesehatan nasional.
Faktor lainnya adalah stigma dan diskriminasi yang memaksa pengidap kusta untuk bersembunyi dan tidak mengakses pengobatan. Akibatnya kondisi pasien dapat memburuk. Risiko penyebaran bakteri kusta juga bisa meningkat.
Baca juga: Pandemi Perburuk Krisis yang Dihadapi Transgender
Kusta di Indonesia
Riset saya di Pulau Mandangin – terletak di antara Pulau Jawa dan Madura – menemukan bahwa stigma terhadap penyakit kusta mengakibatkan ketertinggalan pembangunan dan populasi yang terlalu padat.
Selain menderita keterbatasan infrastruktur seperti klinik kesehatan dan air bersih, pulau yang hanya seluas 2 kilometer persegi ini dihuni oleh hampir 20 ribu orang yang tinggal di rumah-rumah yang saling berdempetan.
Keterbatasan air bersih menyebabkan masyarakat menggunakan sumber mata air secara bergantian. Kondisi ini mempermudah penyebaran penyakit menular, tidak hanya kusta.
Sementara di Mojokerto, Jawa Timur, pengidap kusta tinggal di lahan milik pemerintah yang disebut Kampung Berdikari. Mereka adalah pasien yang awalnya mendapat pengobatan di Rumah Sakit Kusta Sumberglagah, namun diusir dari kampung halamannya sehingga tidak dapat pulang.
Mereka lalu membangun pemukiman di sekitar rumah sakit dan mendapat bantuan bulanan dari pemerintah. Untuk bertahan hidup, mereka bekerja di sektor non-formal (petani yang menggarap lahan milik pemerintah) atau menjadi pengemis. Tidak jarang, mereka dieksploitasi oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab untuk menjadi penagih utang.
Yang terjadi di Mojokerto menimbulkan keengganan pengidap kusta untuk berobat ke rumah sakit. Mereka khawatir tidak bisa kembali ke kampung halamannya.
Inklusivitas untuk Pengidap Kusta
Stigma yang kental dan ketakutan berlebihan terhadap penyakit dan pengidap kusta di Indonesia amat disayangkan. Sebab, kusta adalah penyakit yang dapat diobati. Pengobatannya pun efektif, gratis, dan tersedia di fasilitas kesehatan terdekat.
Inklusivitas menjadi agenda paling utama untuk mencegah diskriminasi dan eksploitasi pengidap kusta, serta untuk menekan angka kasus kusta di Indonesia. Masyarakat, pemerintah, dan penyedia lapangan pekerjaan perlu bekerja sama untuk mengatasi masalah ini.
Masyarakat diharapkan mampu menekan rasa takut dan pandangan negatif terhadap pengidap kusta. Warga juga semestinya berkenan untuk membangun interaksi sosial dengan mereka.
Patut diingat, bakteri kusta tidak mudah menular, pengobatannya pun sangat efektif. Masyarakat perlu aktif mendukung terduga pengidap kusta untuk berobat, tentunya tanpa melakukan pengucilan.
Agenda strategis pembangunan nasional harus juga menyasar daerah-daerah dengan fasilitas kesehatan dan sanitasi yang masih terbatas. Pembangunan tidak hanya fokus pada daerah yang memiliki potensi ekonomi.
Pembangunan yang merata di daerah-daerah rawan penyakit menular juga efektif untuk menekan anggaran kesehatan nasional.
Pemerintah pun perlu mengupayakan produk hukum yang mencegah praktik pengucilan, pengusiran, dan diskriminasi terhadap pasien kusta.
Rumah sakit umum, puskesmas, dan posyandu, terutama di daerah dengan beban kusta, perlu melakukan skrining rutin dan menyeluruh untuk deteksi dini penyakit kusta.
Pihak swasta, perbankan, dan lembaga-lembaga pendidikan vokasi perlu memperluas akses kepada mantan pasien kusta. Caranya dengan memberikan pinjaman modal usaha dengan bunga ringan dan proteksi terhadap kegagalan usaha. Institusi-institusi tersebut dapat melakukan pendampingan usaha dan ide bisnis kepada mantan pengidap dan keluarga pasien.
Langkah ini diperlukan untuk menekan angka mantan pengidap kusta yang mengemis di jalanan, dieksploitasi, serta melepas ketergantungan mereka pada bantuan pemerintah.
Di tengah masih banyaknya kasus diskriminasi dan eksploitasi yang dialami pengidap kusta, inklusivitas menjadi kunci eradikasi.
Tema Hari Kusta se-Dunia tahun ini, “United for Dignity,” menjadi sebuah pengungkapan bahwa mereka yang memiliki pengalaman penyakit kusta, baik sebagai pengidap, mantan pasien, dan keluarga, memiliki hak dan martabat yang sama. Mereka berhak hidup tanpa stigma dan diskriminasi.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Comments