Simulasi dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan bahwa pada tahun 2020 akan ada setidaknya 3,63 juta penduduk yang terseret dalam kemiskinan akibat COVID-19. Namun, Antoni Tsaputra, peneliti hak disabilitas di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah di Kota Padang, mengatakan bahwa kelompok masyarakat rentan yang paling parah merasakan dampaknya adalah penyandang disabilitas yang jumlahnya sekitar 22 juta orang berdasarkan survei terakhir.
Ia mengemukakan ini pada sebuah webinar berjudul “Implementasi Kebijakan Sosial Ekonomi bagi Penyandang Disabilitas di Era Pandemi COVID-19” yang diadakan beberapa waktu lalu.
“Sebelum COVID-19 pun, mereka sudah banyak keterbatasan dari sisi partisipasi dan juga akses terhadap berbagai layanan publik, ditambah lagi kemudian pandemi dan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Ini sangat berdampak,” katanya.
Sebuah studi terhadap penyandang disabilitas di Indonesia menemukan bahwa 86 persen dari 1.683 responden yang bekerja mengalami penurunan tingkat penghasilan hingga 80 persen dari sebelum pandemi.
Aktivitas terbatas, ekonomi tertindas
Antoni mengatakan bahwa kondisi ketenagakerjaan warga penyandang disabilitas yang mayoritas bekerja di sektor informal membuat mereka rentan selama pandemi. Berdasarkan studi yang sama, hampir 80 persen pekerja dengan disabilitas berada di sektor informal. Mereka bekerja di bidang jasa (penjahit, terapis, dan tukang pijat), usaha dagang (toko kelontong dan angkringan), serta buruh harian lepas.
Ketika terjadi pandemi, mereka kehilangan sumber pendapatannya. Padahal sebelumnya, mayoritas dari mereka bahkan memiliki penghasilan di bawah Rp500 ribu.
“Misalnya yang netra, mereka banyak punya usaha pijat yang bergantung pada pelanggan yang datang ke mereka. Masalahnya, sejak pandemi orang takut datang, mereka lalu tidak punya opsi lain,” ujar Antoni.
Studi lain dari lembaga riset kebijakan ekonomi Abdul Latif Jameel Poverty Action Lab (J-PAL) di Massachusets, Amerika Serikat, menunjukkan hal serupa. Dari 205 pekerja penyandang disabilitas yang disurvei di Indonesia selama pandemi, 68 persen di antaranya kehilangan pekerjaannya.
Baca juga: Penyandang Disabilitas Luput dari Mitigasi COVID-19
Studi yang sama juga menemukan bahwa karena kehilangan pekerjaan, setidaknya 39 persen dari mereka terpaksa harus pulang kembali ke kampung halamannya. Statistiknya bahkan lebih tinggi pada penyandang disabilitas perempuan, yakni 70 persen. Angka tersebut hampir dua kali lipat lebih tinggi dari angka migrasi perempuan non-penyandang disabilitas (34 persen).
“Kita temukan banyak dari mereka tidak punya tabungan simpanan sama sekali, bahkan 94 persen dari mereka ketahanan ekonominya sangat lemah,” kata Antoni.
Bantuan sosial tidak tepat sasaran
Hal di atas diperparah dengan kesulitan penyandang disabilitas dalam mengakses bantuan dari pemerintah. Saat ini, pendataan warga penyandang disabilitas masih buruk dan membuat banyak dari mereka belum menerima bantuan sosial yang disediakan oleh pemerintah.
“Ditambah lagi banyak di antara masyarakat menyembunyikan disabilitas keluarganya, atau malu. Ada juga yang tidak merasa [difabel], ada yang tidak didatangi petugas survei,” ujar Slamet Thohari, peneliti senior di Pusat Studi dan Layanan Disabilitas, Universitas Brawijaya di Jawa Timur yang juga menghadiri webinar tersebut.
“Kalau di Jakarta itu beberapa kelurahan ada yang didampingi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam mendata ulang [penyandang disabilitas]. Masalahnya, kalau di daerahnya enggak ada LSM difabelnya bagaimana? Bisa terlewat”.
Fakta tersebut diperkuat dengan Kajian dari Jaringan Organisasi Penyandang Disabilitas yang menunjukkan tingkat penerimaan bantuan sosial warga disabel yang miskin masih sangat rendah. Penyerapan bantuan sosial bagi penyandang disabilitas baru 35,4 persen untuk subsidi listrik, 5,16 persen untuk subsidi air, 4.53 persen untuk Bantuan Sosial Tunai, 11.36 persen untuk Bantuan Pangan Non-Tunai, serta 13,03 persen untuk Program Keluarga Harapan.
Selain pendataan yang belum baik, Antoni juga menyoroti desain dari bantuan sosial terhadap penyandang disabilitas yang selama ini belum optimal karena bantuan yang diberikan pada keluarga dengan dan tanpa penyandang disabilitas itu sama besarnya.
“Seandainya di dalam keluarga tersebut ada penyandang disabilitas, otomatis bantuan sosial itu tidak begitu signifikan, karena kebutuhan keluarga dengan penyandang disabilitas tentu jauh lebih besar dibanding dengan yang tidak,” katanya.
Baca juga: Nasib di Ujung Tanduk Penyandang Disabilitas Korban Kekerasan Seksual
Apa yang harus dilakukan
Slamet dan Antoni mengatakan bahwa perbaikan kebijakan untuk warga penyandang disabilitas ke depannya harus berpusat pada penguatan kapasitas negara dalam memberikan jaminan sosial sehingga lebih tepat sasaran.
Pertama, harus ada perbaikan dalam proses pendataan penyandang disabilitas di Indonesia.
“Pemerintah harus lebih banyak bekerja sama dengan organisasi penyandang disabilitas untuk program yang dia jalankan. Karena mereka yang tahu problemnya, [pemerintah] biasanya cenderung top-down, padahal masalahnya beda di lapangan,” kata Slamet.
Kedua, Antoni menyarankan adanya ada perluasan terhadap jaring pengaman sosial untuk lebih terbuka terhadap penyandang disabilitas.
“Artinya disabilitas dijadikan kriteria tersendiri dalam syarat menerima bantuan selama COVID, tidak hanya per kepala keluarga saja,” katanya.
“Kalau ada anggota keluarga dengan disabilitas ya harus diberikan target sebagai penerima bukan hanya kepala keluarga.”
Ketiga, memperbaiki akses warga penyandang disabilitas terhadap program bantuan pemerintah terkait penanganan COVID-19. Menurut Slamet, saat ini masih banyak halaman web pemerintah yang menyajikan informasi dalam bentuk gambar dan infografik yang tidak bisa dipindai oleh penyandang tunanetra.
Antoni juga mengkritik pengumuman pemerintah di stasiun televisi yang sering kali tidak ramah penyandang disabilitas.
“Kalau lihat di TV di Jakarta atau Jawa Barat cukup baik, terutama disabilitas rungu sudah ada penyediaan juru bahasa isyarat. Tapi di daerah lain, bahkan di Sumatra Barat, Gerakan Kesejahteraan Tuli Indonesia (Gerkatin) yang memberikan surat terbuka ke gubernur untuk adanya juru akses bahasa isyarat, sampai saat ini belum direspons,” ujarnya.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Comments