“Theresia”, mahasiswa di kelas yang saya ajar menceritakan keraguannya menjadi wartawan. Padahal saya tahu persis, sejak pertama bertemu dengannya, perempuan ini cukup aktif bertanya dan komentar apa pun soal profesi itu. Ia bergabung dengan pers mahasiswa, ia melahap habis semua buku jurnalis kawakan Kovach dan Rosenstiel, ia juga senang membaca dan menulis artikel.
Saat saya tanya, ia spontan bercerita, “Bapak saya pikir, hijrah dari media cetak ke daring bakal menyelamatkan ekonomi keluarga. Sebab, siapa, sih, sekarang yang enggak mengakses berita dari gawai dan internet? Akan tetapi, lihat kondisi bapak sekarang, saya makin sangsi mau jadi wartawan.”
Terus terang saya tak kaget-kaget amat mendengar curhatan Theresia, mengingat persaingan media daring memang lebih ngeri-ngeri sedap di era disrupsi sekarang. Bayangkan, ada 43.300 media daring yang didata Dewan Pers pada 2018 dan semua berenang di kolam yang sama. Mereka memperebutkan perhatian dari 200-an juta jiwa warga yang aktif di jagat maya.
Baca juga: Percuma Hujat Ridho Permana, Wartawan ‘Online’ Memang Hidup dari Klik
Selain mesti menghadapi persaingan ketat dengan sesama media daring, perusahaan-perusahaan tersebut juga harus berburu lagi kue iklan yang jumlah alokasinya makin rontok. Pengurus Pusat Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Anthony Wonsono dalam sebuah forum menerangkan, 80 persen kue iklan lari ke raksasa digital, seperti Google dan Facebook.
Kenyataannya ini bukan angka di Indonesia saja, di Inggris, 80 persen iklan juga mengalir ke dua perusahaan itu, kata The Competition and Markets Authority setempat. Proporsi yang tak seimbang ini juga mudah dijumpai di Australia, sehingga pemerintah mereka menyusun News Media Bargaining Code Law yang mewajibkan perusahaan teknologi membayar komisi kepada perusahaan media, untuk masing-masing berita yang nongol di cuplikan dan tautan Google Search atau yang dibagikan di Facebook.
Meski masa depan media daring tampaknya cenderung suram, ada harapan baru setelah sejumlah media memasuki ekosistem cryptocurrency. The New York Times, USA Today, Fortune, Rolling Stones, The Economist, majalah Time, Quartz, hingga kantor berita Agence France-Presse (AFP) sudah lebih dulu memulai tes ombak dengan menjual konten-konten mereka dalam format Non Fungible Token (NFT). Tak tanggung-tanggung, Time langsung melelang tiga sampul majalahnya bertajuk Is God Dead, Is Truth Dead, dan Is Fiat Dead. Sementara, The New York Times sukses menjual gambar dari jurnalisnya, Kevin Roose senilai US$560.000.
Tak hanya jual beli NFT, dalam tulisannya di Tirto, jurnalis Iqbal Lazuardi Siregar menerangkan, media sekaliber Time mengadopsi aset kripto bernama ether (ETH) sejak pertengahan November 2021, juga menjadikan aset kripto sebagai alat pembayaran sejak April. Bukan tanpa alasan, Presiden Time Keith Grossman menjelaskan pada Decrypt, melihat cepatnya industri berubah, ia memilih untuk langsung beralih ke kripto. Pasalnya, ia ingin medianya lebih terintegrasi pada perkembangan teknologi Web3 atau Web 3.0.
Sebagai informasi, Web3 digadang-gadang oleh Elon Musk sebagai evolusi internet yang ditandai dengan adanya blockchain, cryptocurrency, atau NFT. Berbeda dengan Web2 di mana pengguna bisa aktif membagikan konten mereka pada publik, di episode 3 ini, pengguna juga bertanggung jawab atas platform tempat konten ini dibagikan. Konsekuensinya, tulis IFL Science, raksasa macam Facebook, Twitter, Youtube, dan Google, akan digantikan oleh platform media sosial dan mesin pencari tanpa perusahaan di belakangnya. NFT membuktikan kepemilikan aset digital yang unik. Sementara satu bitcoin memiliki nilai yang sama dan dapat ditukar satu dengan yang lain dengan bitcoin lainnya, seperti mata uang.
Lepas dari itu, langkah yang diambil oleh lembaga-lembaga media bonafid ini melahirkan dua pertanyaan penting: Apakah sebagai pola bisnis baru, sistem blockchain cukup menjanjikan untuk dunia media? Lalu mungkinkah media di Indonesia bisa ramai-ramai meniru strategi tersebut?
Baca juga: Media Indonesia Krisis Pemberitaan Ramah Gender
Cara Kerja Blockchain dalam Jurnalisme
Dalam artikel bertajuk Blockchain in Journalism (2019) yang rilis di CJR, peneliti Columbia University Bernat Ivancsics menyebutkan, sekurang-kurangnya ada tiga fungsi blockchain untuk jurnalisme. Di antaranya, jadi solusi penyimpanan database yang bisa diverifikasi dan diaudit, model bisnis anyar dengan kripto, dan menghindari sensor oleh pihak lain.
Terkait fungsi pertama, blockchain dapat menyimpan hampir semua jenis data yang perlu diamankan, dapat diakses, dan dimodifikasi oleh banyak orang berbeda. Seperti kita tahu, dalam jurnalisme, ada puluhan ribu cerita yang dihasilkan, berita harus dipercaya oleh khalayak, dan informasi atau rumor, harus dilawan dengan menjaga tingkat transparansi seputar bagaimana informasi dikumpulkan dan disampaikan. Blockchain nyatanya mampu memastikan semua hal itu bisa tercapai.
Lalu terkait sensor, termasuk pembredelan rezim dan ragam pembungkaman lainnya, data-data dalam ekosistem ini pun dipastikan akan selamat. Twitter tak akan bisa menghapus sebuah kicauan dari New York Post jika twit itu ditempatkan di ekosistem blockchain. Facebook, dengan undang-undang baru yang sedang berjalan, juga takkan bisa memblokir artikel berita di Australia. Sebab, organisasi berita yang memutuskan untuk masuk ke sistem ini akan mengalami desentralisasi, sehingga konten mereka tak dapat diubah paksa dan cenderung tahan sensor.
Dalam kasus migrasi ke blockchain sejumlah media itu, memang belum ada model bisnis yang jelas. Namun, Ivancsics menjelaskan, beberapa model bisnis jurnalisme blockchain bisa diterapkan dan ditiru.
Salah satunya, model yang ditargetkan untuk ruang redaksi dan pengiklan, seperti Po.et, AdChain, dan SocialFlow. Perusahaan-perusahaan itu diketahui melacak metadata konten dengan aman, seperti waktu, hak cipta, kepengarangan, dan distribusi aset digital. Sehingga, perusahaan media sebagai pelanggan bisa bekerja dengan tenang karena tak perlu mencemaskan konten mereka bakal diambil alih secara ilegal oleh pihak lain. Sementara, dalam SocialFlow, para pembuat konten akan diberikan uang tunai berdasarkan ID unik pengguna yang dilacak oleh SocialFlow di seluruh sistemnya, dari konten bermerek hingga konten penerbit). Pergerakan pengguna dan transaksi token di-hash dan dibungkus ke dalam blok untuk divalidasi oleh, sekali lagi, jaringan blockchain Bitcoin. Semua transaksi diamankan lewat jaringan blockchain dan kripto.
Baca juga: Riset: Hanya 11% Perempuan Jadi Narasumber Media di Indonesia
Model lainnya, bisa meniru dari Civil, organisasi yang didanai oleh ConsenSysberita dan berisi jurnalis serta investor. Civil secara sederhana merupakan campuran dari teknologi blockchain dan organisasi berita tradisional karena menyewa jaringan Ethereum untuk menciptakan token. Nantinya, token bisa jadi bukti kepemilikan saham atau bukti bahwa mereka berlangganan konten media itu. Ini juga menjadi tanda, jurnalis cukup diapresiasi lewat token yang diberikan oleh pelanggan.
Agar Indonesia Bisa Menyusul
Masalah klasik di media kita bahkan di luar negeri adalah soal persaingan ketat, yang akhirnya mengorbankan kualitas pemberitaan. Media-media di Indonesia sebenarnya bisa mengadopsi model bisnis ini jika tak ingin tergulung persaingan dan meningkatkan mutu jurnalisme agar tak disetir melulu oleh algoritme.
David Cohn, salah satu kolumnis di Nieman, platform jurnalisme AS memberikan tiga tips jika media massa ingin hijrah ke ekosistem ini.
Pertama, buat judul semenarik mungkin untuk semua peristiwa bersejarah. Judul-judul ini di kemudian hari bisa diinventarisasi lalu diubah dalam format NFT. Meniru Time dan The New York Times, menjual NFT judul atau sampul media soal peristiwa penting, bersejarah, dan menarik adalah tren baru. Itu menghasilkan uang yang cepat, mengakomodasi kebutuhan audiens yang tak terlalu peduli pada berita, tetapi menginginkan aset yang nilainya terus meningkat.
Kedua, bangun nilai dan kredibilitas. NFT tak hanya mampu menjual aset tapi juga akses. Seorang seniman seperti GaryVee paham betul soal ini, sehingga dia menciptakan VeeFriends. Siapa saja yang membeli token dalam komunitas tersebut bisa mendapatkan akses tahunan ke konferensi VeeCon misalnya. Hal senada juga dilakukan USA Today yang melelang NFT pertamanya, termasuk paket tur eksklusif di belakang layar Space Coast.
Ketiga, bangun komunitas yang di dalamnya memuat kontrak tentang bagaimana token (aset digital langka) dapat digunakan dan ditukar. “Kontrak pintar” inilah yang dapat jadi tulang punggung Organisasi Otonomi Terdesentralisasi (DAO). Keberadaan DAO sendiri membuat pelanggan bisa berkontribusi di berbagai tingkatan, bahkan akses untuk mengedit berita. Meski begitu, ini tak berarti menyerahkan kendali editorial tapi menciptakan platform berkelanjutan yang dapat menyatukan orang.
Pertanyaannya, sejauh mana kesiapan Indonesia untuk masuk ke ekosistem ini? Jika Indonesia masih sibuk berkutat pada halal haram kripto sebagai alat tukar, sepertinya angan-angan ini masih sangat jauh.
Comments