Seorang perempuan berambut pirang bergelombang melenggak-lenggok di dalam sebuah diskotek. Ia mengenakan pakaian minim dan melemparkan tatapan menggoda pada tokoh protagonis. Sang tokoh protagonis lelaki menatapnya dengan penuh hasrat. Delapan adegan kemudian, mereka bercumbu di dalam sebuah kamar hotel. Setelah bercumbu, belakangan perempuan ini akan diculik, atau mati, sehingga karakter protagonis laki-laki tersebut bisa mengalami perkembangan karakter.
Anda pasti akrab dengan adegan seperti ini. Mungkin kita tidak pernah mengingat siapa nama perempuan tersebut. Tapi kita akan selalu mengingat perempuan itu sebagai perempuan seksi yang menjadi pacar si tokoh protagonis lelaki. Titik. Satu-satunya kaitan signifikan antara perempuan tersebut dengan plot adalah bagaimana kematiannya dapat menjadi titik balik bagi para karakter pria.
Anda ingin contoh yang lebih lokal dan tidak berkaca pada Holywood? Dalam sinema Indonesia, karakter perempuan dalam sinetron atau film mendapatkan penggambaran yang lebih hambar. Mereka dipandang secara hitam putih—karakter perempuan protagonis pastilah digambarkan sebagai seorang perempuan penyabar, rajin beribadah (lebih bagus lagi jika ia berjilbab), bermental nrimo, sederhana, dan tidak pernah mengumpat. Karakter perempuan antagonis selalu digambarkan sebagai perempuan pembenci, jauh dari agama, penggoda—pokoknya ia menjadi perwujudan yang sempurna dari kata ‘negatif’.
Sebuah riset berjudul "It’s a Man’s (Celluloid) World," yang dikeluarkan oleh The Center for the Study of Women in Television and Film pada tahun 2014 mengungkapkan bahwa industri perfilman mengalami krisis bias gender yang parah ketika disinggung mengenai representasi perempuan dalam layar kaca.
Studi menunjukkan hanya 12 persen dari keseluruhan film yang rilis pada tahun 2014 memiliki karakter perempuan sebagai tokoh protagonisnya. Di sisi lain, 75 persen film di tahun yang sama memiliki laki-laki sebagai tokoh protagonisnya. Belum lagi ketika kita membicarakan porsi dialog perempuan dalam film. Hanya 30 persen film yang memberikan dialog signifikan terhadap karakter perempuannya.
Belum lagi jika kita membicarakan mengenai perempuan dan representasi kultur ras dan etnis dalam film. Di Hollywood, 74 persen karakter perempuan terdiri dari ras Kaukasia. Sisanya 11 persen adalah kulit hitam, 4 persen Latina, 4 persen Asia, 3 persen dari ras campuran, dan lain-lain. Karakter-karakter perempuan yang berasal dari ras selain kulit putih kerap digambarkan dengan stereotip ras yang berlebihan (jika tidak ingin dibilang rasis). Misalnya saja, perempuan kulit hitam digambarkan sebagai perempuan lancang yang tidak tahu sopan santun, perempuan Latina selalu ditampilkan sebagai perempuan seksi, perempuan Asia digambarkan sebagai gadis polos yang mengundang ‘hasrat’, dan sebagainya.
Pertanyaannya, apakah perempuan tidak pantas mendapatkan representasi yang layak dalam film?
Beberapa film seperti Spy, Ghostbusters (2016), dan Mad Max: The Furious Road sudah mendobrak stigma tersebut. Dalam Spy misalnya, protagonis tidak saja direpresentasikan oleh seorang perempuan, tapi juga seorang perempuan dengan berat badan berlebih—yang kerap kali dipandang sebagai sesuatu yang tidak cantik di antara penggemar film Hollywood. Namun film itu tidak hanya memfokuskan jalan cerita pada penampilan perempuan tersebut, tapi juga pada talentanya sebagai seorang mata-mata yang baik.
Dalam Mad Max, Furiosa, sang tokoh utama film tersebut, tidak hanya digambarkan sebagai karakter yang kuat dan cerdas, tapi ia juga tidak pernah sekali pun digambarkan sebagai obyek seksual. Hal serupa juga terjadi dalam reboot film Ghostbusters yang dirilis tahun ini.
Tentu, masih ada kritik terhadap karakter-karakter di atas. Susan Cooper dalam film Spy dicela karena dianggap ‘kurang realistis’, sebab dunia tidak siap menerima perempuan berbadan besar yang pandai berkelahi. Furiosa dicela karena terlalu sangar dan tidak terlihat ‘indah’. Kristen Wiig, Mellisa McCarthy, Kate McKinnon, dan Leslie Jones dianggap telah merusak esensi utama dari waralaba Ghostbusters karena film tersebut memutuskan untuk tidak memotret mereka sebagai obyek seksual.
Sudah saatnya kita menerima kenyataan bahwa perempuan berada di layar kaca bukan semata-mata untuk menjadi pemanis layar. Bukan hanya agar mereka mati supaya tokoh laki-laki berkembang. Perempuan bukanlah sebuah cangkang kosong. Jika laki-laki bisa terlihat cerdas di layar kaca, mengapa perempuan tidak? Jika laki-laki bisa digambarkan menjadi sebuah tokoh kompleks yang dicintai oleh penontonnya, mengapa perempuan tidak bisa mendapatkan kesempatan yang sama?
Perempuan pantas mendapatkan representasi yang layak di layar kaca. Jika kita ingin berangkat dari stereotip, maka perempuan butuh stereotip baru. Tampilkanlah perempuan yang kuat, mandiri, independen, dan kompleks. Munculkanlah karakter perempuan yang dapat dicintai tanpa harus selalu dipersepsikan sebagai obyek yang hanya bisa dicumbu. Berilah publik karakter perempuan yang sesungguhnya.
Dyaning Pangestika adalah seorang mahasiswa tingkat akhir jurusan Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Jika tidak sedang menjadi mahasiswa, ia menghabiskan waktu luangnya dengan membaca The Onion dan dan mencari meme di internet.
Comments