Mungkin masih lekat di ingatan gelombang protes besar-besaran di berbagai kota Indonesia pada 2019. Ribuan mahasiswa dan masyarakat sipil turun ke jalan, yang juga menandai lahirnya tagar #ReformasiDikorupsi, ekspresi dari berbagai lapisan masyarakat yang menolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). RUU itu ditolak lantaran memuat pasal-pasal bermasalah yang mengancam demokrasi, ruang privat, dan membuka peluang kriminalisasi terhadap masyarakat.
Lima orang tewas dan setidaknya 232 orang, sebagian besar mahasiswa, menjadi korban akibat tindakan represif aparat yang berusaha membubarkan pendemo kala itu.
Pada (6/12), setelah perdebatan panjang selama lebih dari 60 tahun – melewati masa periode tujuh presiden – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya mengesahkan RKUHP menjadi UU KUHP.
Implementasi aturan pidana baru yang menggeser aturan warisan kolonial Belanda ini akan melalui masa transisi selama tiga tahun ke depan dan mulai berlaku efektif sepenuhnya pada 2025.
Sesuai dugaan, KUHP yang disahkan tersebut tetap membawa serta sejumlah pasal-pasal bermasalah yang mengancam demokrasi dan kebebasan berpendapat, serta berpotensi merusak ruang privat warga negara.
Panel pakar kami membagi analisis mereka tentang apa saja pasal bermasalah dalam KUHP yang harus diwaspadai oleh publik.
Baca juga: Tok! UU KUHP Sah, Selanjutnya Apa?
Bungkam Kritik terhadap Negara
Bivitri Susanti - Pakar Hukum Tata Negara, Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera
Beberapa pasal dalam KUHP baru bisa dengan mudah menjadi alat bagi penguasa untuk mengkriminalisasi rakyat.
Adapun pasal tersebut di antaranya adalah tentang Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden (pasal 218), Penghinaan terhadap Pemerintah dan Lembaga Negara (240), Penghinaan terhadap Lambang Negara (pasal 236), serta Penyebaran dan Pengembangan Ajaran atau Paham yang Bertentangan dengan Pancasila (pasal 188) – termasuk ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
Yang dimaksud dengan pemerintah dalam pasal 240 mencakup presiden, wakil presiden, dan para menterinya, sedangkan lembaga negara mencakup DPR, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Agung (MA), serta Mahkamah Konstitusi (MK).
Sedangkan definisi tindakan menghina dalam KUHP adalah “perbuatan yang merendahkan atau merusak kehormatan, atau citra pemerintah atau lembaga negara, termasuk menista atau memfitnah”.
Definisi itu masih sangat multitafsir, sehingga membuat pasal-pasal itu berpotensi menjadi pasal karet dan jelas tidak sejalan dengan nilai demokrasi.
Melalui KUHP ini, pemerintah seakan berupaya untuk membatasi kritik dan kontrol dari masyarakat dan aturan ini dibuat hanya demi kenyamanan dan kepentingan penguasa.
Baca juga: Revisi KUHP Terbaru: Masih Ada Pasal Penghinaan Pemerintah dan Kohabitasi
Terlalu Campuri Urusan Privat Warga
M. Fatahillah Akbar - Dosen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM)
Beberapa pasal dalam KUHP baru yang selama ini menyita perhatian masyarakat dan banyak ditentang oleh sejumlah lapisan masyarakat, termasuk aktivis hak asasi manusia (HAM), adalah pasal-pasal yang menghukum seks di luar nikah (terdapat dalam pasal 411) – hukumannya mencapai satu tahun penjara – serta melarang kohabitasi atau hidup bersama di luar perkawinan (dalam pasal 412).
Pasal-pasal tersebut sebenarnya adalah perluasan dari pasal perzinahan yang sudah diatur dalam KUHP lama. Sebelumnya, yang bisa dipidana adalah mereka yang sudah punya pasangan dalam ikatan perkawinan, namun melakukan persetubuhan dengan orang lain di luar ikatan perkawinan mereka – biasa disebut selingkuh. Dalam KUHP baru ini, semua pihak, baik yang sudah menikah belum, yang melakukan persetubuhan tanpa ikatan perkawinan, bisa dipenjara.
Namun, perkara ini adalah delik aduan absolut, artinya tidak dapat diproses tanpa aduan atau pelaporan dari pihak yang sudah ditentukan dalam pasal terkait.
Pengaduan hanya dapat dilakukan oleh suami atau istri bagi pelaku yang sudah menikah atau orang tua dan anak bagi pelaku yang belum menikah. Pihak di luar itu tidak berhak melaporkan, dan polisi tidak dapat mempidana bila tidak ada pelaporan.
Meski demikian, tetap saja, hukum pidana seharusnya bersifat publik, yakni adanya kepentingan negara, masyarakat dan individu. Pasal zina ini pada dasarnya bertujuan melindungi kepentingan individu yang bersifat privat, sama halnya dengan pidana terhadap kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), karena KDRT pada akhirnya akan mengganggu kepentingan masyarakat dan kelompok rentan. Sementara dalam pasal zina, tujuan kepentingannya masih dipertanyakan.
Dalam konteks agama, sudah pasti hampir semua agama menganggap persetubuhan di luar nikah adalah dosa, tapi untuk konteks negara, ini sudah terlalu privat. Jika alasannya adalah tingginya angka aborsi dan penularan penyakit menular seksual, maka mempidana perzinahan jelas belum terbukti menjadi solusi.
Jauh lebih penting bagi penegak hukum untuk memproses kasus-kasus yang lebih besar dan jelas merugikan seluruh lapisan masyarakat, seperti pencurian, pembunuhan, dan penyalahgunaan narkotika, daripada mengurusi orang yang melakukan hubungan seksual atas dasar suka sama suka.
Saat ini, hanya segelintir negara saja yang masih mempidana perzinahan. Ini karena hukum pidana seharusnya fokus pada kepentingan publik yang lebih luas, bukan urusan privat.
Baca juga: Wacana ‘Pidana LGBT’ di RKUHP, Bagaimana Nasib Mereka Kini?
Angin Surga buat Korporasi, Celaka Pejuang Lingkungan
Raynaldo Sembiring - Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law
Perjuangan kita akhirnya berhasil meyakinkan Pemerintah dan DPR untuk menghapuskan aturan tindak pidana lingkungan yang bermasalah dalam Pasal 342 dan 343 KUHP baru.
Sayangnya, KUHP baru masih menyisakan aturan pertanggungjawaban pidana korporasi yang dalam Pasal 46 dan 48. Aturan ini hanya bisa menjerat pengurus korporasi saja, misalnya manajer lapangan, yang sering kali bukan aktor intelektual dari suatu tindak pidana lingkungan.
Berdasarkan analisis kami, Pasal ini mengakibatkan korporasi sebagai badan usaha tidak bisa dijerat pidana. Padahal, selama ini di kasus tindak pidana lingkungan, khususnya kebakaran hutan dan lahan, pelakunya paling banyak adalah korporasi sebagai badan usaha.
Kejahatan lingkungan juga kerap dilakukan secara terencana, yang bukan hanya diketahui seorang “pengurus”, tapi juga petinggi korporasi. Semuanya bertindak atas nama badan usaha.
Pada akhirnya, aturan ini tak memberikan efek takut atau efek jera bagi pelaku korporasi. Sebaliknya, KUHP baru justru bisa menjadi “angin surga”.
KUHP baru juga tak memberikan solusi yang konkret atas kriminalisasi masyarakat yang memperjuangkan ruang hidupnya.
Sebaliknya, melalui pasal unjuk rasa (Pasal 256) dalam KUHP baru, masyarakat yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup akan mengalami masalah yang sama dengan masyarakat pada umumnya. Misalnya masyarakat yang berunjuk rasa secara spontan tanpa pemberitahuan bisa diancam pidana.
Bayangkan masyarakat pekebun atau peladang tradisional di daerah terpencil yang terkena debu akibat aktivitas perkebunan atau pertambangan, atau tambak ikannya terkena mencemari sungai akibat tambang. Mereka ingin protes, tapi kampung mereka jauh dari pusat pemerintahan.
Apakah mereka tetap disuruh mengurus izin? Membuat laporan dulu?
Padahal ini merupakan hak mereka untuk berdemonstrasi. Aksi mereka mungkin hanya dilakukan belasan orang. Kasus seperti ini banyak terjadi.
Jelas bahwa pasal ini dibuat dengan logika kota, bukan logika kampung-kampung, terlebih di daerah terpencil.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Comments