Setelah terisolasi karena pandemi selama berbulan-bulan, beberapa pekan lalu saya akhirnya bertemu dengan dua orang teman kuliah. Kami menghabiskan satu hari berkeliling di Kota Bandung dan duduk cantik di sebuah kafe. Tentu saja mengikuti protokol kesehatan yang tidak ketat-ketat amat karena orang harus tetap mencari nafkah dan buka toko.
Hari itu segala ungkapan yang ditimbun akibat tidak bisa bertemu tatap muka tumpah. Apalagi saat membicarakan hal remeh temeh tentang menjadi anak muda kecanduan K-pop. Tentu saja kami merasa senang karena bisa berbicara tentang banyak hal. Namun, suasana menjadi sedikit asam ketika pembicaraan merambah pada realisasi: Kami sebenarnya biasa saja di antara orang lain yang luar biasa.
Teman saya “Kartika” mengatakan bosan menjadi begitu-begitu saja. Layaknya banyak orang yang punya mimpi besar dia ingin menjadi ‘lebih’. Apalagi Kartika juga seorang wartawan yang kerap mewawancarai pebisnis muda yang sukses. Namun, di tengah keinginannya untuk menjadi extraordinary, Kartika memiliki dilema. Dia merasa senang dengan menjadi ordinary atau biasa saja karena secara mental lebih damai. Akan tetapi selalu ada dorongan untuk terus menjadi lebih yang tidak bisa dihiraukan.
“Menjadi biasa saja membuat hidupmu lebih tenang, tetapi menjadi luar biasa membawa hidupmu ke jalan yang lebih mudah,” ujar Kartika.
Kalimat dari Kartika itu terngiang sampai saat ini. Mulanya saya berpikir ini adalah bagian dari krisis seperempat abad kami, orang dewasa muda seperempat baya yang masa mudanya ‘dihentikan’ karena pandemi. Hal itu mengangkat pertanyaan baru dalam diri saya: Apakah tidak boleh menjadi biasa-biasa saja?
‘Hustle Culture’ dan Menjadi Produktif
Januari lalu saya menonton film animasi dari Disney dan Pixar berjudul Soul. Ceritanya sederhana, Joe Gardner, guru musik yang beraspirasi menjadi musisi jazz masyhur meninggal sebelum ia mencapai mimpinya. Tidak terima dengan kematian, ‘nyawa’ Gardner di alam baka mencoba untuk kembali ke alam manusia. Dalam perjalanannya hidup kembali Gardner tentu saja bertemu dengan ‘nyawa’ lain yang mengajarkannya tentang arti kehidupan.
Tentu saja Soul adalah film hangat tentang hasrat dan apa yang membuat seseorang ‘hidup’. Sayangnya, selama hidup Gardner terlalu fokus bekerja menjadi hebat sampai lupa tentang orang di sekitarnya dan hal yang mampu membawa kebahagiaan.
Perkara Gardner itu mengingatkan saya pada France Corbel. Dia adalah seorang seniman yang mengatakan, dalam sistem kapitalis kesuksesan dipahami sebagai kebahagiaan, karenanya seseorang harus terus bekerja untuk menjadi bahagia. Tetapi, menilai kebahagiaan itu sebagai satu goal lagi yang harus dikerjakan adalah tidak sehat.
“Kita membutuhkan rasa bosan untuk menjadi kreatif, butuh istirahat untuk bisa melakukan apa yang ingin kita lakukan, butuh waktu untuk berkembang,” ujar Corbel dikutip dari Refinery29.
Senada dengan ungkapan itu Corbel juga membuat ilustrasi berbunyi: “Your worth is not measured by your productivity” yang saat ini sering digunakan sebagai ungkapan motivasi positif.
Saat ini produktivitas juga selalu dikaitkan dengan hustle culture yang membuat orang untuk terus bekerja. Bahkan hobi yang menjadi aktivitas kesukaan dan seharusnya tidak memberi tekanan dinilai dengan apakah hal itu bisa memberikan ‘pelajaran’ atau menghasilkan uang. Hasilnya, membaca fiksi untuk diri sendiri atau sekadar melukis untuk tidak diuangkan dianggap sia-sia. Hobi pun harus menjadi side hustle atau kerja sampingan.
Melihat hal itu juga, maka tidak heran generasi sekarang lebih mudah untuk merasakan burnout karena dinilai dari seberapa banyak hal yang mereka kerjakan. Belum lagi di masa pandemi ketika muncul kebijakan bekerja dari rumah ‘kerja produktif’ itu terasa jauh lebih panjang dan mengekang. Orang semakin tertekan.
Celeste Headlee, penulis buku Do Nothing: How to Break Away from Overworking, Overdoing, and Underliving berujar, manusia didorong paksa ke dalam situasi tidak sehat yang tentu saja berbanding terbalik dengan keinginan kita. Dorongan atau pengaruh itu pun kombinasi dari propaganda kapitalis dan religius yang membuat kita merasa bersalah ketika tidak produktif.
‘Self-improvement’ dan Definisi Sukses
Saya jadi teringat perkataan dari Hani, rekan kerja sekaligus teman serumah. Sejak kecil dia terus berusaha untuk menjadi luar biasa dan mendorong dirinya menjadi orang yang paling baik dalam satu ruangan. Namun, hal itu mempengaruhi mentalnya. Ia bercerita sering merasa sulit menikmati hidup karena harus terus produktif, sulit menerima kegagalan, dan merasa tidak mencapai potensinya secara sempurna. Selain itu, Hani jadi sering membandingkan diri dengan orang lain.
Senada dengan itu, ada satu artikel Magdalene tentang obsesi dengan self-improvement dan produktivitas yang menjadi toksik. Saking terobsesinya dengan berkembang kadang sampai merasa superior dan memandang remeh orang lain yang berjuang dengan masalahnya masing-masing. Penulisnya juga menekankan terus-menerus hustling membuat kita mengabaikan perasaan lelah untuk mengejar kebahagian dan positivisme.
Situasi pun menjadi semacam lingkaran setan. Terus bekerja untuk bahagia dan sukses, tapi tiba-tiba mati di tengah jalan. Sama seperti Joe Gardner dari Soul. Produktivitas dan ekspektasi yang mencekik itu bisa membawa kita ke dua bait pertama “Here” lagunya band Pavement: “I always dressed for success. But success it never comes.”
Memang tidak bisa dimungkiri selalu ada dorongan untuk menjadi luar biasa agar tidak dilupakan ketika sudah meninggal nantinya. Berkaca dari itu kita semua adalah Augustus Waters dari novel remaja The Fault in Our Stars yang takut akan oblivion atau dilupakan. Tapi, dalam hidup tidak semua orang akan diingat. Ada beberapa dari kita yang memang tidak ditakdirkan menjadi seperti Michelle Obama, Madonna, atau Beyonce. Dan sejatinya itu tidak apa-apa karena kesuksesan dan menjadi ‘luar biasa’ pun tidak harus melulu tenar.
Mengutip Anna Akbari, penulis Startup Your Life: Hustle and Hack Your Way to Happiness: “Hal-hal yang menginspirasi kita tidak harus langsung menjadi suatu produktivitas. Tapi tidak berarti itu memiliki nilai yang kurang, malah kebalikannya. Kita semua butuh ukuran sendiri dalam mendefinisikan sukses.”
Biasa Saja Bukan Malas
Ketika dorongan untuk terus menjadi biasa dikritik bukan berarti semacam jalan untuk melegitimasi sikap malas dan tidak ingin berkembang. Apalagi melarang orang untuk bercita-cita besar. Penulis Rainesford Stauffer mengatakan, menjadi biasa saja tidak harus selalu berlawanan dengan memiliki mimpi atau visi yang besar untuk hidup. Karena, menjadi biasa saja adalah hal yang membuat seseorang merasa terpenuhi dan nyaman. Alih-alih tentang apa yang harus dikejar atau hustling.
Namun, lanjut Stauffer, perlu digarisbawahi juga menjadi biasa saja sulit dalam masyarakat yang berkutat pada kompetisi. Setiap orang memiliki tekanan yang berpengaruh dan dipengaruhi oleh status ekonomi dan sosial masing-masing.
“(Menjadi biasa saja) itu tentang merasa cukup dengan diri sendiri dan bukan hidup dalam situasi yang terus menerus menuntut untuk menjadi optimal dan berkembang,” tukasnya dikutip dari CNN.
Senada dengan itu, bagi saya menjadi biasa-biasa saja adalah menerima diri sendiri apa adanya. Saya tetap akan berusaha produktif dan mengembangkan potensi diri tanpa memberikan ‘nilai mata uang’ untuk segala hal yang saya lakukan. Singkatnya menghindari hal-hal yang membuat proses itu mencekik. Stauffer juga mengatakan memang harus disadari seseorang sudah cukup.
Lagipula menjalani hari dan menjadi biasa saja juga bisa produktif. Ruby Granger, misalnya, seorang Studytuber atau Youtuber yang merekam dirinya belajar dan melakukan hal-hal produktif. Granger memang terlihat sangat luar biasa karena bisa membaca tujuh buku dalam satu hari. Namun, produktivitasnya bukan untuk hustle culture. Dia membaca buku ‘fiksi’ atau ‘non-fiksi untuk kesenangannya, kadang juga untuk tugas kuliah. Menulis surat untuk temannya dan bahkan menghabiskan waktu merapikan kamar.
Hal semacam itu memang biasa saja tapi terlihat luar biasa. Selain itu, menjadi biasa saja juga bukan berarti membosankan, tidak hidup, dan memberikan energi negatif. Justru biasa saja juga membawa kebahagiaan ketika mengetahui diri sudah ‘sempurna’ apa adanya. Hal yang terlihat ‘lazim’ pun sebenarnya membawa kebahagiaan kecil. Misalnya, tidur di atas kasur dengan seprai bersih dalam kamar yang dingin.
Selain itu, kita juga bisa berkaca dengan Keiko Furukura dari novel Gadis Minimarket atau Convenience Store Woman oleh Sayaka Murata. Dia sangat biasa saja menjadi penjaga toko minimarket bertahun-tahun meskipun dicap sedikit ‘kurang waras’ oleh orang sekitarnya. Toh, meskipun dia begitu-begitu saja Keiko bahagia dengan hidup dan minimarketnya.
Saya sudah berdamai dan menerima menjadi biasa saja. Sayangnya, beberapa kawan suka lupa tidak ada salahnya menjadi biasa saja. Padahal mereka sering mengatakan it’s okay not to be okay, terlebih lagi mereka tahu saya memiliki beberapa gangguan kesehatan mental. Nyatanya untuk beberapa orang, termasuk saya, bisa bernapas dan hidup esok hari sudah lebih dari cukup.
Comments