Beberapa waktu lalu, sebuah tren di TikTok menyulut kemarahan warganet Malaysia. Konten yang dianggap merayakan status pernikahan itu berupa “unboxing by husband” atau “unboxing pengantin”. Di dalamnya para suami tampil dengan melepaskan aksesori istrinya di depan kaca. Hingga saat ini, motif unboxing itu belum diketahui.
Sejumlah warganet berkomentar, aktivitas ini tidak pantas direkam dan dipublikasikan di media sosial. Pasalnya, konten semacam itu justru rentan mempermalukan diri dan merusak martabat istri. Warga Malaysia Norhafizah Saad kepada The Star menyebutkan, konten tersebut tidak sopan karena kesantunan istri diperuntukkan pada suami, bukan orang lain.
“Meskipun niatnya menunjukkan kebahagiaan, enggak perlu membagikannya ke semua orang karena tindakan itu seperti menjual istri,” jelasnya.
Mirisnya, produksi konten viral menjadi jalur cepat warganet untuk meraih popularitas. Lebih lagi di era media sosial, ketika suatu informasi menyebar begitu cepat dan berpotensi menjadi tren, sehingga banyak orang ikut melakukannya.
Baca Juga: Nasi Goreng Viral dan Cerita Lama Objektifikasi Tubuh Perempuan
Penyebabnya tak lain karena orang cenderung mempelajari sesuatu dengan melihat perilaku orang lain. Robert Cialdini, psikolog asal AS, mengamini hal ini dalam Influence: The Psychology of Persuasion (1984). Menurutnya, seseorang akan bertindak berdasarkan bukti sosial, dan menganggap sesuatu yang populer itu baik.
Oleh sebab itu, warganet sering kali langsung meniru tanpa memahami makna dan tujuan sebuah konten. Ini termasuk di Indonesia yang mudah menerapkan metode ATM—amati, tiru, modifikasi. Namun, kita boleh bernapas lega, karena sampai saat ini tampaknya belum ada yang meniru “unboxing pengantin” yang disebut-sebut telah mengobjektifikasi perempuan.
Perempuan Menginternalisasi Objektifikasi
Berkaca pada konten itu, sebenarnya perempuan tengah menunjukkan bagaimana mereka mengobjektifikasi dirinya sendiri. Sebagai catatan, kata “unboxing” mengacu pada proses membuka barang dan diunggah di media sosial, yang umumnya dilakukan para influencer. Artinya, mereka memosisikan diri layaknya sebuah benda.
Menurut Tanjare McKay dari Eastern Michigan University, dalam Female Self-Objectification: Causes, Consequences and Prevention (2013), ini terjadi karena dipengaruhi interaksi sosial dan representasi perempuan di media. Karena itu, mereka cenderung melihat diri sendiri bukan sebagai manusia melainkan objek keindahan dan kesenangan.
Objektifikasi yang diinternalisasi dalam diri perempuan merupakan satu dari sekian produk hasil budaya patriarki. Bahwasanya mereka cuma dilihat dari sudut pandang laki-laki, sehingga membuat perspektif itu dianggap normal. Dalam tren “unboxing pengantin” contohnya, para perempuan terlihat bersedia melakukan, atau bahkan inisiatif itu datang dari dirinya.
Ternyata permasalahan ini dianggap normal terjadi dalam hubungan romantis, ketika laki-laki lebih banyak mengobjektifikasi pasangannya, sedangkan perempuan cenderung melakukan objektifikasi diri.
Hal ini dijelaskan dalam riset Self- and partner- objectification in romantic relationships: Associations with media consumption and relationship satisfaction (2011), oleh psikolog Eileen Zurbriggen, dkk. Menurut para peneliti, perbedaan kebiasaan membentuk perubahan tersebut. Biasanya, laki-laki membandingkan pasangannya dengan perempuan yang terdapat di media, sedangkan perempuan yang melihat citra tersebut mengimplementasikan atau membandingkan dirinya.
Baca Juga: Media, Stop Objektifikasi dan Seksualisasi Anak Perempua
Namun, baik perempuan maupun laki-laki dalam tren tersebut seharusnya memiliki kesadaran atas perilakunya. Para suami misalnya, mereka bisa menolak merekam video itu atas dasar tidak ingin menampilkan istrinya di media sosial dengan kurang pantas. Sedangkan para istri perlu memahami video tersebut telah mengekspos dan menempatkan dirinya pada posisi yang salah.
Bertentangan dengan Ajaran Islam
Selain perkara objektifikasi, tren “unboxing pengantin” juga menuai kontra lantaran dinilai melanggar nilai-nilai Islam. Menanggapi hal ini, Kementerian Agama Islam Perak angkat bicara dalam unggahan Facebook, “Aksi unboxing bukan ajaran Islam, karena itu awal dari dosa dan mengundang fitnah.”
Jika tren ini diikuti, dikhawatirkan martabat istri tidak terjaga. Alasannya, perempuan kerap dilihat sebagai sumber fitnah bagi laki-laki. Tepatnya tertulis dalam hadis HR Al-Bukhari yang berbunyi, “Aku tidak meninggalkan fitnah yang lebih besar bagi laki-laki selain dari perempuan.”
Namun, bukan berarti semua perempuan dinilai sebagai fitnah. Pasalnya, naluri laki-laki ialah menyukai perempuan hingga rela melakukan tindakan haram. Karena itu, perempuan sebaiknya melindungi kemaluan dan pandangan mereka. Pun, lelaki wajib menjaga martabat dirinya sendiri dan tak melulu menyalahkan perempuan.
Sementara yang terlihat dalam konten unboxing justru kontradiktif. Laki-laki membiarkan istrinya diperlihatkan ke publik, dan sang istri dengan sukarela menyebarkannya di dunia maya.
Baca Juga: ‘Female Gaze’ dan Cara Pandang Dunia Lewat Lensa Perempuan
Pendeta Muslim Pencetus Ummah (PU) Syed Mohd Bakri Al-Yahya juga menilai tren itu merupakan tindakan sesat. Alasannya, istri adalah milik suami sehingga kecantikan dan pesonanya tidak dapat dibagikan ke orang lain. Pun dinilai haram apabila suami menunjukkan aurat istri.
Melansir CNN Indonesia ia menambahkan, hukum Tuhan harus tetap diperhatikan ketika mencoba hal baru. Dan tidak seharusnya mengikuti sesuatu yang tidak bermanfaat.
Pernyataan Syed tersebut merupakan refleksi bagi warganet untuk mempertimbangkan tindakannya, sebelum meniru konten viral di media sosial, terlepas dari layak tidaknya di mata agama.
Pun jika ingin sekadar membagikan salah satu momen bahagia dalam hidupnya, bukankah lebih baik mengunggah hasil dokumentasi seperti pasangan baru menikah pada umumnya?
Comments