Saya baru menonton Crazy Rich Asian akhir bulan September, saat antusiasme para penikmat film mulai agak menurun. Film ini bercerita tentang Nick Young yang mengajak pacarnya, Rachel Chu, ke pernikahan sahabatnya di Singapura sekaligus memperkenalkan Rachel ke ibu dan keluarga besarnya. Yang tidak Rachel tahu, Nick Young ternyata berasal dari keluarga yang sangat kaya raya.
Dari sepenggal sinopsis ini saja, kita tentu tahu bahwa film ini pasti sangat klise. Sebelum menonton, saya menduga bahwa Rachel pasti akan ditolak dan dipandang rendah oleh keluarga Nick. Setelah menonton, dugaan saya pun benar adanya. Meski begitu, Crazy Rich Asians (CRA) bisa mengemas cerita klise tersebut dengan sangat menarik. Komedi yang dihadirkan pun sangat menghibur. Saya sama sekali tidak kecewa.
Dari segi industri, film ini menorehkan prestasi yang boleh dibilang sangat membanggakan. Ini adalah film box office yang semua pemainnya adalah orang Asia atau keturunan Asia (soal jajaran pemain, ini adalah pertama kalinya setelah 25 tahun, sejak The Joy Luck Club). Selain itu, CRA juga berhasil menjadi jajaran film komedi romantis paling laris dalam 10 tahun terakhir, dan menempati urutan ke-6 sepanjang masa untuk kategori yang sama. Sebuah “crazy achievement” mengingat film ini baru dirilis Agutus 2018.
Dengan berbagai keberhasilan yang dimiliki dan cerita yang menarik, CRA juga tak lepas dari kritik. Beberapa kritikus, aktivis, juga warganet yang menonton film ini beranggapan bahwa CRA masih "kurang Asia". Ada yang beranggapan bahwa CRA hanya berfokus pada etnis Tionghoa-Singapura, padahal di negara tersebut juga banyak etnis Asia lainnya.
Ketika ada etnis Asia yang berkulit gelap, mereka berada di posisi yang “rendah”, yaitu sebagai penjaga, sopir, dan sebagainya, dan hal ini dipandang sebagai sesuatu yang buruk. Sejumlah penonton juga beranggapan bahwa CRA masih memainkan stereotip orang Asia, bahwa yang kaya raya adalah orang Tionghoa. Saya pribadi tidak setuju dan tidak suka terhadap kritik-kritik ini. Selain karena “merusak” kesenangan saya, kritik-kritik tersebut rasanya terlalu berlebihan.
Pertama, Crazy Rich Asians bukanlah sebuah film yang menceritakan orang kaya dari berbagai belahan Asia. Film ini bahkan bukan berfokus pada etnis Tionghoa-Singapura. Singapura saja pun tidak. Film ini hanya berfokus secara spesifik pada keluarga besar Young yang sangat kaya raya. Mereka memang tersebar di berbagai negara Asia, namun mereka tetaplah keluarga Young. Kita bisa melihat arogansi mereka, terutama sang ibu, Eleanor. Rachel yang merupakan Tionghoa-Amerika, bukan murni Tionghoa, bahkan dianggap rendah olehnya. Dari sinilah saya mendapat kesan mengapa penjaga, sopir, dan pekerjaan rumah tangga lainnya dilakukan oleh orang beretnis non-Tionghoa. Eleanor mungkin saja beranggapan bahwa orang etnis Tionghoa adalah keluarga, dan keluarganya harus memiliki kedudukan yang tinggi dan tidak pantas melakukan pekerjaan (yang menurutnya) “rendahan”.
Kedua, saya setuju bahwa CRA memang masih memainkan stereotip di mana orang kaya Asia itu adalah orang etnis Tionghoa. Namun stereotip ini beredar di Asia, terutama Asia Timur dan Tenggara. Di Amerika Serikat, tempat di mana rumah produksi film ini berasal (Warner Bros) dan di mana film ini akan ditayangkan di bioskop konvensional, orang Asia yang semakmur keluarga Young adalah sesuatu yang mungkin tidak pernah terpikirkan, mengingat stereotip dan diskriminasi yang dialami orang Asia di sana membuat mereka sulit menjadi kaya raya.
Di Hollywood sendiri, orang Asia banyak ditampilkan sebagai seorang pendekar, pelayan, atau nerd, si genius yang rajin belajar, pekerja keras, namun tidak sampai memiliki jabatan tinggi dan harta yang melimpah (kecuali mereka adalah pemimpin sindikat kejahatan). Maka adalah hal yang baik ketika kita bisa melihat representasi orang kaya raya Asia, meski orang kaya itu sesuai dengan stereotip yang beredar di benua sendiri. Toh, banyak stereotip yang tercipta karena sesuatu yang benar-benar ada di kehidupan kita dan tidak semua stereotip yang diangkat ke layar lebar menjadikan stereotip tersebut makin melekat dalam artian yang buruk.
Orang Amerika (atau orang lain yang beranggapan orang Asia itu sebagian besar miskin), jadi tahu bahwa ada orang-orang kaya seperti Eleanor, atau setidaknya memikirkan kemungkinan tersebut. Sedangkan orang Asia jadi bisa lebih kritis untuk bagaimana seharusnya kita bersikap jika menjadi orang kaya raya. Saya yakin pasti banyak yang tidak suka pada kesombongan para keluarga kaya di film CRA. Untuk alasan inilah, saya merasa film ini (juga bukunya) layak diberi judul Crazy Rich Asians, bukannya Crazy Rich Singaporeans.
Ketiga, film ini memang tidak berkewajiban untuk merepresentasikan kultur atau orang Asia secara utuh mengingat betapa banyaknya ragam budaya yang ada. Satu atau sebagian saja sudah cukup untuk ditampilkan dalam sebuah film.
Keempat, film, juga karya-karya seni lainnya, tidak memiliki kewajiban untuk memiliki pesan yang bisa membuat perubahan walaupun film mampu melakukannya. Memang film-film seperti CRA dan Black Panther yang menggambarkan representasi orang kulit berwarna dan kelompok minoritas lainnya di Hollywood itu membawa dampak yang sangat baik di dunia perfilman. Namun sebaik-baiknya film-film tersebut, film tidak bisa melulu ideal dengan menggambarkan apa yang sebaiknya atau yang seharusnya sepanjang film.
Aktris pemeran Rachel Chu, Constance Wu, dalam menanggapi kritik soal CRA masih “kurang Asia” menulis di akun Twitter-nya bahwa CRA mungkin tidak merepresentasikan semua orang Asia Amerika, namun dia berharap semoga orang yang merasa diri mereka “tidak terlihat”, akan segera menemukan film yang akan membuat mereka merasa terlihat. Dia juga beranggapan bahwa hanya karena beberapa orang tidak melihat film ini sebagai sebuah pergerakan, maka bukan berarti CRA bukan pergerakan. CRA tetaplah sebuah pergerakan yang menunjukkan “wajah Asia” dalam dunia perfilman.
Representasi orang kulit berwarna dan kelompok minoritas lainnya dalam dunia perfilman memang penting, baik untuk mengubah persepsi yang keliru tentang kelompok minoritas tersebut maupun untuk mengubah industri perfilman yang sejauh ini masih didominasi oleh laki-laki kulit putih. Namun hal ini harus dilakukan setahap demi setahap, menyesuaikan dengan kondisi zaman, dan harus melalui proses yang kreatif, sehingga film yang dihasilkan bukanlah film penuh pesan moral namun minim estetika dan tidak berpijak pada realitas yang ada.
Black Panther berhasil membuktikan bahwa film yang sebagian besar pemainnya berkulit hitam mampu memperoleh keuntungan yang sangat besar. Film ini berhasil menjadi film terlaris ke-9 sepanjang masa, dan berbagai pencapaian lainnya. Love, Simon menjadi film komedi romantis remaja pertama dengan tokoh utama seorang gay yang digarap oleh rumah produksi mainstream. Dan Crazy Rich Asians sendiri, seperti yang saya sebut di atas, menjadi film yang semua pemainnya adalah orang Asia, pertama kalinya sejak The Joy Luck Club pada 1993.
Film-film ini bisa jadi tidak merepresentasikan orang kulit hitam, gay, orang Asia, perempuan, dan kelompok minoritas atau yang dipinggirkan lainnya secara utuh apalagi sempurna. Namun, saya yakin, keberadaan film-film ini akan membuat para pekerja industri film lebih sadar bahwa inklusivitas itu penting, sehingga akan lebih banyak lagi film-film seperti Black Panther, Love, Simon, dan Crazy Rich Asians, dan hal ini patut kita apresiasi.
Selagi para sineas berusaha membuat film yang merepresentasikan dan menginspirasi kehidupan kita supaya dunia ini menjadi lebih baik, kita sendiri juga harus berusaha menciptakan lingkungan masyarakat yang lebih baik. Karena bagaimanapun, keseharian kita, hidup kita di dunia nyata akan selalu menjadi pijakan bagi karya-karya yang kita tonton, seberapa pun fiktifnya karya tersebut. Jika kita menginginkan film yang merepresentasikan kehidupan kita yang indah dan harmonis, maka kita juga bisa menginspirasi para pembuat film dengan menciptakan lingkungan masyarakat yang indah dan harmonis untuk diadaptasi oleh mereka.
Comments