Kasus kekerasan yang dialami mahasiswi Universitas Gadjah Mada (UGM) saat kuliah kerja nyata (KKN) di Maluku pertengahan 2017 lalu menambah daftar kasus tindak kekerasan seksual di dalam instansi pendidikan di Indonesia. Sayangnya, korban yang telah melapor kepada pihak universitas justru tidak kunjung mendapatkan keadilan dan kejelasan sanksi hukum terhadap pelaku.
Kasus yang telah satu tahun empat bulan tenggelam tanpa kejelasan oleh pihak kampus akhirnya terungkap kembali dalam penulisan mendalam media kampus Balairung Pers. Tulisan tersebut memuat cerita dalam sudut pandang korban yang namanya disamarkan sebagai Agni dengan penyebutan tahun angkatan dan kelompok KKN-nya. Penyebaran berita yang begitu luas ini mendapat pro dan kontra dari masyarakat. Beberapa hal yang muncul menjadi fokus dalam tulisan ini.
Pertama, etika penulisan berita tersebut yang dianggap melanggar kode etik jurnalistik dalam membawakan berita pelecehan seksual. Pada paragraf 9-10 digambarkan dengan cukup jelas secara deskriptif bagaimana korban mendapatkan kekerasan seksual. Hal ini menjadi dalih bahwa tulisan tersebut melanggar Kode Etik Jurnalistik pada Pemberitaan Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan menurut Pasal 4 tentang Wartawan yang tidak membuat berita penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi. Dan Pasal 5 yang tidak memperbolehkan penyebutan identitas atau informasi yang menyangkut korban kejahatan seksual.
Di satu sisi, wartawan memiliki kewajiban untuk lebih berhati-hati terhadap pemilihan diksi dan konsekuensi tulisan yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan korban. Meskipun telah mendapat persetujuan dari korban untuk memuatnya, namun korban juga rentan tidak menyadari ancaman yang akan menimpa dirinya di kemudian hari. Pemberitaan yang melanggar etika ini dapat menyebabkan lahirnya newsmaking criminology, yaitu masalah yang muncul akibat pemberitaan di media massa dengan penggunaan bahasa yang menyebabkan interpretasi dan kesalahan dalam mengambil informasi dari pihak yang memiliki porsi besar dalam wawancara. Pemberitaan seperti ini juga akan rentan digunakan sebagai alat mengeksploitasi cerita korban.
Namun di sisi lain, Pasal 4 dengan terang menyebutkan bahwa pelanggaran terjadi apabila maksud yang ditulis semata-mata digunakan untuk membangkitkan nafsu birahi.
Kata-kata “membangkitkan nafsu birahi” dalam pelanggaran kode etik tersebut juga harus dilihat kembali terhadap siapa dan apa motif tulisannya, bukan semata-mata apa yang pembaca rasakan setelah membaca artikel yang bersangkutan. Terlebih yang ditunjuk adalah dua paragraf dari keseluruhan berita. Seperti yang dikatakan Samsu Somadayo dalam bukunya Strategi dan Teknik Pembelajaran Membaca (2011), pemahaman seseorang terkait teks yang dibaca merupakan hasil dari proses pemerolehan makna yang melibatkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki secara aktif. Artinya, jika tulisan tersebut kemudian dianggap mengundang nafsu birahi dan dianggap sebagai “cerita porno”, maka sebetulnya pembaca juga bertanggung jawab atas interpretasi yang dilakukannya sendiri. Dalam konteks ini juga terlihat cara berpikir pembaca dalam memandang tindak kekerasan dan pelecehan seksual.
Penulis artikel tersebut sebetulnya terburu-buru menyimpulkan kekerasan tersebut sebagai tindakan pemerkosaan, seperti dalam subjudul yang timpang dengan kronologi yang ditulis karena lebih mengarah pada tindakan pencabulan. Kedua istilah tersebut memiliki perbedaan makna dan pihak yang dirugikan atas kecerobohan tersebut adalah korban itu sendiri. Pasal 5 terkait identitas korban juga kuat menjadi dasar pelanggaran kode etik karena meskipun penulis menggunakan nama samaran, namun informasi lain seperti tahun angkatan dan nama kelompok KKN secara detail diungkapkan. Hal ini kemudian memudahkan masyarakat untuk melacak identitas korban di media sosial dan medium lainnya.
Kedua, persepsi baru yang dibentuk oleh masyarakat terkait korban yang tidak melawan dan terkesan membiarkan pelaku melakukan pelecehan merupakan produk dari budaya patriarki yang masih langgeng berkembang di tatanan masyarakat Indonesia. Masyarakat memandang bahwa posisi pelaku yang sebagai laki-laki dengan ego maskulinitasnya dianggap wajar melakukan tindakan kekerasan seksual. Lebih dari itu, opini masyarakat kini terbelah menjadi mereka yang bersimpati atas perjuangan korban dan mereka yang menyalahkan korban (victim blaming) karena dianggap seolah-olah tidak memiliki opsi lain dan tetap membiarkan pelaku melanjutkan kejahatannya. Di sini sebagian masyarakat kembali memosisikan korban sebagai objek yang pantas digoda, dilecehkan dan sebab dari tindakan kekerasan. Padahal dalam ilmu psikologi komunikasi manusia, terdapat faktor-faktor situasional yang memengaruhi perilaku manusia dalam merespons tindakan orang lain.
Dalam peristiwa kekerasan tersebut, korban berada di tengah situasi restriktif yang menghambatnya untuk berperilaku sesuai kehendak hati. Namun yang terjadi, masyarakat justru sibuk dengan asumsi-asumsi yang kemudian menjauhkan dirinya dari realitas kecatatan penegakan hukum yang berkeadilan dalam kasus kekerasan seksual. Hal ini semakin melanggengkan dominasi sistem patriarki dengan menenggelamkan substansi masalah yang seharusnya menjadi fokus dan membiarkan kejahatan pelecehan seksual, yang berdiri gagah dalam tubuh instansi pendidikan.
Retyan Sekar Nurani adalah mahasiswi Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Indonesia yang suka berkontribusi kecil di merawatjogja.
Comments