Pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mengatasi pandemi COVID-19 yang berdampak pada berbagai sektor. Namun, penyandang disabilitas adalah salah satu kelompok yang rentan dan tidak terjangkau oleh berbagai kebijakan pemerintah.
Indonesia telah meratifikasi konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang hak-hak penyandang disabilitas pada 2011 dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Namun minimnya implementasi UU tentang penyandang disabilitas membuat mitigasi pandemi bagi penyandang disabilitas tidak maksimal.
Penyandang disabilitas perlu mendapat akses yang baik terhadap informasi komunikasi risiko wabah dan akses transportasi untuk menuju ke fasilitas kesehatan—terutama di tengah kebijakan PSBB ini.
Sebelum wabah, akses ke fasilitas kesehatan sudah menjadi masalah. Misalnya, masih banyak fasilitas kesehatan yang tidak memiliki pegangan rambat, kursi roda, informasi dalam huruf braille, toilet khusus disabilitas, atau loket khusus disabilitas.
Beberapa komunitas sudah melayangkan protes dalam hal informasi dan sosialisasi pandemi. Mereka meminta layanan juru bahasa isyarat dan sulih suara dalam seluruh perangkat komunikasi dan informasi dari pemerintah dan media. Ketidaktersediaan akses informasi dan transportasi membuat penyandang disabilitas menjadi rentan di tengah wabah dan sulit mendapat jaminan kesehatan.
Dalam pandemi ini, upaya untuk perlindungan hak-hak disabilitas seharusnya dilakukan dengan memperhatikan setidaknya dua aspek penting, yaitu aksesibilitas dan kesehatan. Sayangnya, penyediaan fasilitas yang memenuhi dua aspek tersebut belum maksimal karena terbentur oleh minimnya data ragam tipe penyandang disabilitas.
Kementerian Sosial (Kemensos), salah satu pelaksana dalam Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, telah menyusun pedoman mitigasi terkait penyandang disabilitas. Namun, pedoman ini ditujukan kepada institusi di bawah Kemensos saja, seperti balai besar/balai/loka disabilitas dan lembaga kesejahteraan. Sedangkan idealnya, pedoman ini juga ditujukan kepada jajaran kementerian lain, pemerintah daerah dan pihak swasta yang terkait.
Baca juga: RUU PKS Penting Bagi Penyandang Disabilitas
Pedoman ini memang berisi tentang perlindungan kesehatan dan dukungan psikososial. Tetapi, pedoman ini kurang spesifik; isinya lebih berupa pesan dan pertimbangan bagi pendamping dan lembaga pendamping penyandang disabilitas ketimbang mencantumkan usulan tindakan konkret yang mudah dieksekusi.
Kemensos perlu membuat protokol khusus yang inklusif yang memberikan rincian penyediaan fasilitas dan bantuan bagi penyandang disabilitas. Selain itu, Kemensos juga perlu melakukan kerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Kesehatan agar dapat memberi jaminan akses informasi dan transportasi bagi penyandang disabilitas.
Seperti warga kelas dua
UU Penyandang Disabilitas mengamanatkan dibentuknya Komisi Nasional Disabilitas (KND) dalam tiga tahun sejak 2016. Namun, sampai saat ini proses pembentukannya masih tarik ulur.
KND sangat krusial karena memiliki tugas dan fungsi dalam hal pemantauan, evaluasi, dan advokasi pelaksanaan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas.
Belum terbentuknya KND juga berpengaruh pada pelaksanaan mitigasi dan perlindungan bagi penyandang disabilitas di masa pandemi ini. Padahal, KND dapat mendorong mitigasi bagi penyandang disabilitas yang tidak hanya terfokus pada bantuan sosial, namun juga jaminan hak-hak penyandang disabilitas.
Salah satu kritik yang muncul sejak kelahiran UU Penyandang Disabilitas adalah minimnya aspek hak disabilitas yang diakomodasi dalam UU. Salah satu poin pentingnya adalah aksesibilitas.
Sebelumnya, rancangan UU ini menyebut secara spesifik jenis fasilitas yang harus ada dalam setiap gedung agar mempermudah penyandang disabilitas. Namun, pemerintah menghapus poin-poin tersebut dengan alasan poin-poin tersebut sudah diatur dalam UU, Peraturan Pemerintah dan peraturan Menteri Pekerjaan Umum tentang bangunan gedung.
Baca juga: Kelompok Disabilitas di Pekanbaru Keluhkan Fasilitas Umum Tidak Memadai
Tiga peraturan tersebut belum maksimal menjamin aksesibilitas karena menggunakan frasa “penyandang cacat”. Hal ini menempatkan mereka sebagai objek dan warga negara kelas dua dalam pembangunan.
Diskriminasi dan kekerasan
Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) Badan Pusat Statistik pada 2015 menunjukkan bahwa penyandang disabilitas berjumlah 21,5 juta jiwa. Ironisnya, SUPAS itu juga juga menyatakan bahwa data tentang penyandang disabilitas terbatas karena ketiadaan pemeriksaan medis pada responden, dan mengandalkan pengamatan, pengakuan, dan pengetahuan responden.
Sebelum pandemi terjadi, penyandang disabilitas sudah mengalami banyak diskriminasi dan kekerasan fisik. Hingga tahun 2017, dalam laporan Tim Konvensi Disabilitas Indonesia kepada PBB tercatat adanya kasus diskriminasi dan kekerasan fisik terhadap penyandang disabilitas, antara lain kekerasan seksual, terbatasnya akses pada peradilan, masalah hak waris, pemasungan, bahkan ada penyandang disabilitas yang tidak tercatat dalam dokumen kependudukan seperti akte kelahiran, kartu keluarga dan kartu tanda penduduk. Ini menunjukkan bahwa perbaikan perlindungan hak-hak disabilitas membutuhkan proses yang panjang.
Usaha perlindungan tersebut harus berkelanjutan, tidak hanya pada masa pandemi, dan idealnya dimulai dari keinginan politik yang kuat dari pemerintah untuk menegakkan UU yang ada sebagai jaminan hak-hak disabilitas di mata hukum.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Ilustrasi oleh Karina Tungari.
Comments