Menjalani kehidupan sebagai perempuan selama 22 tahun, saya sadar bahwa identitas saya sebagai seorang perempuan ternyata bisa menjadi sesuatu yang memberatkan. Hal ini saya sadari ketika pada suatu malam, saya hendak pulang dari kampus saya pukul 23.00. Menyadari hari yang sudah sangat larut, saya segera mencari teman laki-laki yang mau menemani saya sampai ke tempat tinggal saya, atau paling tidak mau menemani saya untuk berjalan ke pangkalan ojek. Di otak saya, terbayang berbagai macam kemungkinan-kemungkinan buruk, sehingga, yang paling pertama saya lakukan adalah mencari teman laki-laki untuk melindungi saya.
Tidak terbayang di otak saya untuk mencari teman perempuan untuk berjalan bersama melewati daerah-daerah sepi, mencari laki-laki rasanya jadi jalan pintas yang paling menjanjikan buat saya. Laki-laki lebih berani. Laki-laki lebih kuat. Laki-laki sudah biasa pulang malam. Tidak ada yang berani mengganggu bahkan melecehkan mereka. Laki-laki punya insting alami untuk melindungi. Rasanya, ketika berbicara tentang keamanan untuk pulang larut malam, otak saya yang paling primitif langsung menjadikan pria sebagai tameng yang dapat mengentaskan semua kekhawatiran akan keberlangsungan hidup saya.
Saya pun merefleksikan pengalaman ini dengan apa yang ditanamkan oleh masyarakat selama ini.
“Perempuan tuh kalau pulang malam sendirian bahaya!” ujar Ibu.
“Kalau sudah malam, cari teman laki-laki saja, ya, atau menginap sekalian saja di kampus daripada pulang sendirian,” kata salah satu teman dekat saya dalam serangkaian nasihat panjang-lebarnya tentang bahaya pulang sendirian di malam hari.
Coba hitung, berapa kali Anda disarankan untuk menggunakan pepper spray sebagai alat untuk mempertahankan diri daripada mencari teman laki-laki untuk melindungi Anda ketika Anda harus pulang malam? Seberapa sering Anda diajarkan untuk menunjukkan pertahanan diri dasar agar bisa melawan predator-predator malam hari ketimbang mencari teman laki-laki sebagai orang yang dapat melindungi Anda? Seberapa sering Anda dibekali keberanian untuk pulang sendiri di malam hari dengan berbagai macam tips menjaga keamanan dan meningkatkan kepercayaan diri untuk pulang sendiri?
Saya menyadari bahwa perempuan masih menggantungkan keamanannya pada kekuatan laki-laki. Ada semacam privilese yang dipegang pria dalam masyarakat. Keamanan mereka lebih terjamin dibandingkan dengan perempuan, karena mereka sudah dibekali dengan kekuatan tak kasat mata yang bernama patriarki. Perempuan hanya memegang ekspektasi untuk terus berlindung di bawah sayap mereka, sebab hanya bersama mereka kita mampu merasa aman. Mereka dibekali dengan kepalan tinju dan sepasang kaki yang mampu menendang orang jahat, padahal, kita juga dibekali kekuatan yang sama, namun ekspektasi sosial rasanya mematikan kekuatan kita untuk membela diri kita sendiri di saat-saat yang dibutuhkan.
Berbicara tentang keamanan, bukan hanya keamanan fisik yang kita bicarakan, namun, masih banyak perempuan yang bergantung pada pria untuk mendapatkan keamanan emosional. Mendapat perhatian pria rasanya menjadi tropi yang harus dimenangkan, membuat perempuan menjadi satu tingkat di atas dalam tangga sosial. Bonus poin ketika perempuan mampu menjadikan laki-laki tersebut sebagai pacar. Bonus poin lagi apabila ia adalah sesosok pria yang benar-benar jantan, sesuai dengan apa yang didefinisikan masyarakat.
Keamanan emosional bagi perempuan didefinisikan sebagai kemampuan untuk memikat perhatian laki-laki dan kemampuan untuk dipilih dalam persaingan perjodohan. Keamanan emosional tidak lagi diartikan sebagai rasa utuh ketika kita sendiri. Perlahan, keamanan emosional mengalami pergeseran makna menjadi keamanan untuk mendapatkan pasangan. Sosok laki-laki dianggap sebagai pemenuh ekspektasi sosial, keberhasilan secara evolusioner, pelengkap konsep diri, ketimbang sebagai sosok yang sepadan dan sejalan untuk menjalani hidup, bukan hanya sebagai pihak yang menaikkan strata sosial.
Ketika perempuan meyakini fakta bahwa ia mampu berdiri sendiri dan aktif mengembangkan diri daripada mencari rekan berkembang biak, maka ia akan dianggap gagal dalam kehidupan. Jarang ada asumsi positif bahwa ia sedang sibuk mengaktualisasikan dirinya sehingga mungkin urusan berpasangan belum jadi prioritas. Yang pertama kali diteriakkan adalah bagaimana ia menjadi: a) perawan tua apabila ia sudah melewati 30 tahun sehingga; b) lupa akan kodratnya sebagai calon ibu. Sudah ada peran sosial yang ditanamkan dalam-dalam oleh masyarakat, perempuan yang sendiri adalah perempuan yang tidak aman secara emosional sehingga ia gagal untuk memenuhi peran hakikinya, yaitu menjadi seorang ibu. Perempuan adalah makhluk manja yang haus belaian kasih sayang dari laki-laki, sehingga, laki-laki adalah hal yang harus dicari ketika kebutuhan afeksi membuncah. Lihatlah bagaimana hingga 2017, insting primitif masih saja menggerakkan kita sebagai masyarakat post-modern.
Betapa kedudukan perempuan masih sangatlah rapuh dalam masyarakat. Seorang perempuan belum dipandang dan dihormati sebagai sosok yang utuh, sama seperti seorang laki-laki. Seorang perempuan masih dipandang sebagai seseorang yang tidak mampu melindungi dirinya sendiri, masih menjadi sesosok marionette yang harus digerakkan oleh banyak orang. Perempuan belum dipandang sebagai sosok kuat yang mampu melawan pihak-pihak yang mencoba mengancam keamanannya. Jalan kita masih panjang.
Saya percaya seluruh perempuan di muka bumi ini pun masih bergumul dalam hal ini. Mari, perempuan, mulailah dengan kepercayaan diri bahwa di gelap malam, kita mampu berjalan sendiri dan melawan orang-orang yang hendak berbuat jahat. Mulailah dengan kepercayaan diri bahwa meskipun saat ini kita belum memiliki pasangan, kita adalah perempuan yang utuh dan kuat. Tidak ada alasan lagi bagi kita untuk tergantung dengan teman laki-laki kita saat kita menyadari bahwa baik secara emosional maupun fisik, kita mampu menjaga diri kita sendiri sama baiknya dengan teman laki-laki kita. Kita sama-sama kuat, kita sama-sama bermental baja. Kepal tinju kita tidak lebih lemah dari kepal tinju laki-laki. Kita sama-sama utuh sebagai manusia.
Comments