Women Lead Pendidikan Seks
August 19, 2022

3 Tren Kecantikan Problematik di Medsos yang Tak Kamu Sadari

Ada tren kecantikan yang kontroversial karena berkaitan dengan latar belakang budaya dan ras tertentu.

by Aurelia Gracia, Reporter
Lifestyle
Reality Fantasy Beauty Women 46, Magdalene
Share:

Tak dimungkiri, kehadiran media sosial memudahkan penggunanya membuat tren, mulai dari makanan, fesyen, hingga kecantikan. Dalam hal ini, warganet berlomba membuat konten yang Instaworthy, atau layak diabadikan di Instagram. Bahkan, sejumlah diantaranya diharapkan bisa mendulang double tap dari followers, atau masuk For Your Page (FYP) TikTok.

Masalahnya, enggak semua tren harmless. Ada tren yang justru kontroversial karena berkaitan dengan latar belakang budaya dan ras tertentu. Berikut Magdalene rangkum beberapa tren fesyen dan kecantikan yang cukup kontroversial.

Baca Juga: Filter Dysmorphia: Buah Simalakama atau Kemajuan yang Perlu Diterima?

1. Clean Girl Aesthetic

Tren makeup yang satu ini mungkin belakangan ini banyak melintas di timeline FYP TikTok kamu. Dari konten kreator, beauty influencers, sampai public figure sekelas Hailey Bieber dan Gigi Hadid, semuanya berpenampilan serupa. Kulitnya terlihat lembab, dengan tampilan seperti “no makeup” makeup look, dan model rambut slicked-back buns.

Sebenarnya, inti dari penampilan clean girl aesthetic ini hanya menampilkan penggunaan makeup yang minimalis, tapi tetap menghasilkan kulit yang berkilau. Karena itu, produk yang digunakan hanya beauty balm (BB) cream atau skin tint, blush on, lip gloss, maskara, dan makeup untuk alis. Ditambah anting bulat berwarna emas.

Namun, seperti yang kita lihat di media sosial, kebanyakan clean girl aesthetic direpresentasikan oleh perempuan kulit putih, yang kulit wajahnya mulus tanpa hiperpigmentasi atau bekas jerawat. Dengan kata lain adalah mereka yang sesuai dengan standar kecantikan Eurosentris.

Padahal, awalnya konsep kecantikan clean girl lebih dulu diusung oleh perempuan kulit hitam dan perempuan Latin. Gaya rambut slick back dan penggunaan anting dengan model tersebut adalah ciri khas mereka dalam berpenampilan. 

Karena itu, perempuan Latin dan kulit hitam yang merupakan bagian dari people of color (POC), memandang clean girl aesthetic sebagai salah satu contoh lain atas klaim blueprint mereka. Perempuan kulit putih dianggap telah mengambil ciri khasnya dan mengganti nama lewat popularitas tren clean girl aesthetic. Sementara jika perempuan kulit hitam yang tampil sedemikian rupa, tetap dianggap tidak cukup cantik atau bersih.

Di samping itu, perempuan kulit hitam masih sulit mendapatkan produk kecantikan yang sesuai dengan warna kulit mereka. Pun harga jual yang ditawarkan belum tentu terjangkau, sehingga mereka tidak memiliki kesempatan yang sama untuk memiliki ‘clear skin’, seperti yang diusung perempuan kulit putih.

Fenomena ini serupa dengan blackfishing yang dilakukan The Kardashians. Mereka menjadi pelopor dalam menggunakan filler bibir agar tampak lebih tebal, atau dengan gaya rambut afro dan cornrows. Sebagai sosok influential dalam industri kecantikan, penampilannya lantas diikuti banyak orang.

Terlepas dari permasalahan ras, sebagian orang menilai istilah ‘clean’ juga kurang tepat digunakan. Hal itu disebabkan meninggalkan kesan ada ‘dirty girl’ bagi perempuan yang penampilannya tidak termasuk dalam kategori clean girl aesthetic.

“Pemilihan kata ‘clean’ membuat kesalahan persepsi kalau kulit yang berjerawat itu kotor,” ujar Dr Ana, seorang dokter kecantikan dan ahli skincare, dikutip dari Refinery29. “Padahal penyebab jerawat lebih kompleks dan nggak ada hubungannya dengan kebersihan.”

Menurutnya mustahil jika kita mengharapkan tekstur kulit wajah yang sempurna, sehingga yang seharusnya disuarakan adalah kulit wajah yang sehat. Itu juga yang membuat banyak orang menggunakan filter kecantikan demi tampil cantik sesuai standar kecantikan.

Baca Juga: ‘Blackfishing’: Saat Orang Kulit Putih Tampil Layaknya Kulit Hitam

2. Bentuk Mata Fox Eye

Kalau kamu membuka tagar #foxeyesmakeup di Instagram, ada sekitar 14 ribu konten makeup tutorial yang menggunakan eyeliner, bulu mata palsu, dan eye shadow untuk menghasilkan bentuk sayap di ujung mata. Bentuk mata ini awalnya dipopulerkan Bella Hadid, hingga akhirnya menjadi salah satu tren makeup pada 2020.

Sayangnya, lagi-lagi POC yang menjadi “inspirasi” makeup dan terdampak cultural appropriation. Tren tersebut merupakan contoh lain dari standar kecantikan Eurosentris, yang mengklaim budaya lain ketika mereka menyukainya.

Padahal, bentuk mata sipit (almond) cenderung menjadi bahan cemooh yang dilemparkan terhadap orang Asia. Alhasil, tren fox eye menuai kontra dari komunitas Asia Amerika. Mereka tidak terima bentuk matanya dijadikan tren kecantikan oleh para influencers.

Bahkan, Kelly Chong, profesor di University of Kansas, Amerika Serikat sependapat dengan hal tersebut. “Budaya influencer dari kelompok dominan menganggapnya sebagai tren yang keren. Padahal dalam prosesnya mereka mengeksotiskan dan mengerotiskannya,” jelasnya, dikutip dari CNN.

Sebab, dalam industri Hollywood sendiri, bentuk mata orang Asia direpresentasikan dengan kelam. Untuk menampilkan karakter orang Asia pada 1930-an, mereka tidak melibatkan aktor yang bersangkutan. Yang dilakukan justru mengubah bentuk mata aktor kulit putih layaknya orang Asia, dengan teknik makeup serupa dengan fox eye di masa kini. Seperti pada karakter Fu Manchu dan Holly Golightly (Mickey Rooney) dalam Breakfast at Tiffany’s (1961).

Lebih dari itu, tren fox eye juga muncul ketika diskriminasi terhadap warga Asia Amerika marak terjadi. Penyebabnya adalah klaim COVID-19 yang disebabkan oleh orang Cina (Chinese virus).

Baca Juga: Di balik tren 'Makeup' Pengantin yang Manglingi

3. Headdresses dan Bindi

Dalam festival musik Coachella, sejumlah penonton berpenampilan seperti penduduk asli Amerika dan India. Mereka menggunakan headdresses—disebut juga war bonnets—sebagai kostum dan bindi untuk riasan di kepala, layaknya bagian fesyen. Setidaknya itu yang dikenakan model Alessandra Ambrosio, Kylie Jenner, dan Vanessa Hudgens pada 2018.

Padahal, bindi digunakan perempuan India sebagai tanda mereka sudah menikah. Ada juga yang menganggapnya sebagai tanda kecantikan, kemakmuran, mempertahankan energi, memperkuat konsentrasi, dan tempat cakra keenam—di mana kebijaksanaan tersembunyi.

Sementara, headdresses digunakan oleh pemimpin laki-laki dari bangsa Indian yang sangat dihormati oleh sukunya, bukan sesuatu yang bisa digunakan oleh siapa pun. Dulu headdresses justru dikenakan saat bertempur.

Itulah mengapa simbol kebudayaan dari kedua tempat tersebut tidak dapat digunakan untuk mencuri perhatian publik lewat likes di Instagram. Pun, sebenarnya cultural appropriation ini enggak hanya terjadi di festival musik tersebut.

Pharrell Williams pernah mengenakannya ketika menjadi model majalah Elle. Belakangan, ia meminta maaf lewat Buzzfeed, dan mengaku menghargai setiap latar belakang budaya.

Ada juga model Karlie Kloss yang mengenakan headdresses di runway Victoria’s Secret pada 2012. Lalu Navajo Nation—kota di Amerika Serikat yang dihuni oleh penduduk asli Amerika—yang menuntut brand Urban Outfitters pada 2011. Saat itu, brand tersebut meluncurkan beberapa produk bermerek ‘Navajo’, seperti pakaian, alcohol flask, pakaian dalam, dan aksesori.

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.