Aku ingin melihat bayang-bayang lain lagi di cermin. Bayang-bayang yang lebih menarik dari bayangan yang ayah buat. Bayang-bayang yang lebih menarik dari hidupku yang membosankan.
Hujan turun tepat di rumah kami, di pipi kami lebih tepatnya. Hujan itu datang bersamaan dengan peti yang diantar ke beranda.
Aku sedang melilitkan kain pada mulut seorang pria ketika ponselku berdering, menampilkan pesan singkat dari keponakanku, “Aunty, boleh titip beliin rokok?”
Dia mulai mengecupku, menyayangiku, kemudian seperti biasa, mencintaiku sampai puas. Apakah itu cinta? Aku tidak tahu, aku tidak pernah yakin.
“Ra, pasti selama ini dirimu kesepian. Begitu dipuja, tapi jarang sekali dipertanyakan. Begitu ditakuti, hingga orang berlari pergi. Begitu sakti, hingga harus selalu menyendiri”, tutur Aya.
Perempuan memang sudah semestinya dilenyapkan identitasnya setelah menikah, termasuk si Mama Asu.
Cermin selalu menjadi dunia terbalik. Kenyataannya adalah mimpi. Mimpinya berupa kenyataan. Mayanya nyata. Dan senyata-nyatanya maya.
Apa boleh buat, seorang anak perempuan lahir dari dan dalam kedukaan yang teramat sangat. Begitulah riwayatnya mengapa ia bernama Lara.
Mai berhenti sekolah, dia tidak dapat melanjutkan pendidikannya di sekolah menengah pertama.Tak lama kemudian, kabar perkawinannya sampai ke telingaku.
Selama enam tahun, Kana mengisi celengan itu dengan semua uang jajannya. Hanya satu yang dia mau dari tabungannya tersebut: Membeli dua handphone.