Sudah jatuh tertimpa tangga, Esme, 28, harus menelan pil pahit dua kali berturut-turut. Pertama, mengalami kondisi darurat kehamilan hingga ia kehilangan janinnya. Kedua, perempuan El Salvador itu diadili atas tuduhan melakukan aborsi dan divonis hukuman 30 tahun penjara, Mei silam.
Dilansir dari Vice, Esme bukanlah satu-satunya perempuan di El Salvador yang diseret ke meja hijau karena kasus aborsi. Dalam dua dekade terakhir, hampir 180 perempuan telah diadili. Para aktivis mengatakan sedikitnya 17 perempuan El Salvador dihukum secara tidak adil dan dipenjarakan setelah keadaan darurat kehamilan dan mengalami keguguran. Negara itu sendiri memang punya sikap keras terhadap perkara aborsi. Bahkan, di bawah Presiden Nayib Bukele, aborsi diklaim sebagai "genosida besar."
Realitas hukum di El Salvador ini menjadi pengingat, aborsi masih saja ajek jadi sumber perdebatan. Mereka yang kontra aborsi, biasanya menggunakan pisau moral untuk menentangnya. Tak hanya itu, kubu pro-life berargumen, kehidupan harus dihargai dan ini berarti melakukan aborsi sama saja dengan membunuh manusia lain. Argumen ini pun diperkuat dari norma agama dan adat di tengah masyarakat.
Sementara, kubu pro-choice yang mayoritas merupakan para feminis, berpendapat perempuan berhak mempunyai hak otoritas atas tubuhnya sendiri. Perempuan adalah manusia merdeka yang seharusnya diberikan kebebasan untuk memilih aborsi sesuai dengan kepentingan mereka.
Dalam perkembangannya, kubu pro-life inilah yang lebih dominan di masyarakat. Akibatnya, banyak sekali perempuan yang akhirnya memutuskan untuk melakukan aborsi tidak aman, sehingga membahayakan nyawa dan kesehatan sendiri.
Artikel ini tidak dimaksudkan untuk memihak pada salah satu pihak. Namun, melihat dampak aborsi ilegal yang kebanyakan merugikan perempuan, kita butuh lebih jauh membahas mengapa itu dibutuhkan. Berikut 4 alasan mengapa aborsi aman dan legal sangat dibutuhkan:
Baca Juga: Di Indonesia, Aborsi Bukan Sebuah Pilihan
1. Aborsi Aman dan Legal Dapat Menyelamatkan Nyawa Perempuan
Perdebatan moralitas mengenai aborsi selalu dikaitkan dengan tindak pembunuhan berat. Sayangnya dalam perdebatan ini, kesehatan dan nyawa perempuan mengandung tidak pernah menjadi pertimbangan pentingnya. WHO dan Guttmacher Institute pada 2017 menerbitkan laporan global mengenai aborsi.
Dalam laporan tersebut secara global tercatat ada sekitar 67,9 ribu perempuan meninggal setiap tahun karena praktik aborsi tidak aman dengan 13 persen di antaranya berakhir dengan kematian. Tidak hanya menyumbang ke angka kematian ibu, aborsi tidak aman dan legal juga menyebabkan 5,3 juta perempuan menderita cacat sementara atau permanen.
Dilansir dari artikel Medicins Sans Frontiers, aborsi yang tidak aman dan legal juga menjadi salah satu dari lima penyebab utama kematian ibu, bersamaan dengan perdarahan post-partum, sepsis, komplikasi dari persalinan, dan gangguan hipertensi. Hal yang perlu digarisbawahi, kelima penyebab ini bertanggung jawab atas hampir 75 persen kematian ibu di seluruh dunia.
Stigma juga pembatasan yang sangat ketat terhadap aborsi akhirnya menyebabkan perempuan acap kali mencari alternatif aborsi melalui tenaga non medis. Di Indonesia sendiri menurut penelitian Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) yang dilakukan pada 2008 – 2011, cukup banyak perempuan yang mencoba menggugurkan kandungannya dengan cara meminum jamu atau ramuan-ramuan (31 persen) atau bahkan pergi ke dukun beranak (1 persen).
Efeknya, pada 2015, kata PKBI, sebanyak 11-30 persen kematian ibu di Indonesia dikaitkan dengan tindakan aborsi tak aman. Tak hanya itu, dari hasil observasi medis yang dilakukan pada dua klinik di Jakarta dan Bandung pada 2010, terdapat 34 pasien yang jaringan di dalam rahimnya lengket, 12 pasien hancur jaringannya, dan 1 pasien mengalami aborsi tidak lengkap.
Baca Juga: Hak Aborsi yang Kontroversial Hukum
2. Meningkatkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan Indonesia berjumlah 53,13 persen, sedangkan laki-laki sebesar 82,41 persen. Masih ketertinggalan perempuan dalam angkatan kerja dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. Mulai dari banyaknya perempuan yang bekerja di bidang informal hingga masih tingginya tingkat kemungkinan perempuan keluar dari perusahaan karena peran barunya sebagai ibu.
Kesenjangan ini pun berusaha pemerintah perbaiki, tapi masih ada satu hal yang luput dari perhatian dan bisa menjadi pertimbangan bersama. Adalah keterkaitan antara akses aborsi aman dan legal dengan partisipasi angkatan kerja perempuan.
David E. Kalist, peneliti bidang ekonomi dari Universitas Shippensburg dalam penelitiannya pada 2004 “Abortion and Female Labor Force Participation: Evidence Prior to Roe v. Wade”, meneliti apakah liberalisasi undang-undang aborsi negara bagian tentang aborsi aman dan legal memengaruhi partisipasi angkatan kerja perempuan.
Dengan menggunakan data dari Survei Penduduk Saat Ini (CPS), Kalist menemukan, aborsi aman dan legal telah meningkatkan tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan secara keseluruhan, terutama perempuan kulit hitam lajang.
Dalam hal ini Kalist mencatat akses aborsi aman dan legal meningkatkan kemungkinan seorang perempuan bekerja 40 minggu atau lebih per tahun hampir 2 poin persentase (dari 29 persen). Efeknya pun lebih kuat untuk perempuan kulit hitam sebagai salah satu kelompok perempuan termarginalkan. Di mana terjadi peningkatan partisipasi sebesar 6,9 poin persentase, dibandingkan dengan 2 poin persentase di antara semua perempuan.
Hal yang sama juga ditemukan dalam laporan Center for American Progress (CAP) pada 2017. Dalam laporan tersebut CAP, pendanaan publik untuk aborsi aman memiliki efek positif yang signifikan dari kemungkinan peningkatan 1,6 persen transisi dari pengangguran ke pekerjaan purna waktu bagi perempuan dan laki-laki, dengan perempuan yang paling diuntungkan dengan persentase sebesar 1,1 persen.
“Tidak diragukan lagi, aborsi aman dan legal memungkinkan perempuan untuk memiliki kendali atas kehidupan ekonomi dan kemampuan mereka untuk bekerja di luar rumah,” ungkap Rosalind Petchesky, pensiunan profesor ilmu politik di Hunter College, yang penelitiannya dikutip dalam artikel The New York Times.
Baca Juga: Penipuan Sampai Risiko Nyawa: Konsekuensi Besar Aborsi Tidak Aman
3. Meningkatkan Kesempatan Perempuan untuk Mengenyam Pendidikan
Dalam fact sheets yang diterbitkan Guttmacher Institute pada Maret 2022 tercatat, sepanjang 2015-2019 terdapat 121 juta kasus Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) di seluruh dunia. Dari total kasus KTD tersebut sebanyak 61 persen atau setara dengan 73 juta KTD berakhir dengan aborsi. Proporsi ini lebih tinggi dari periode 1990-1994, ketika 51 persen KTD berakhir dengan aborsi.
Sayangnya, akses terhadap layanan aborsi aman dan legal masih belum tersedia di banyak negara utamanya, negara dunia ketiga. Hal ini pun berpengaruh pada kehidupan perempuan karena tidak jarang mereka pun berakhir mempertahankan kehamilan mereka akibat tekanan norma sosial atau agama.
Dampaknya jelas terlihat, dilansir dari Katadata KTD yang terjadi pada perempuan berusia 15 sampai 24 tahun tidak hanya berdampak pada kematian ibu dan anak, tetapi juga pada partisipasi angkatan kerja serta partisipasi pendidikan yang rendah. Data pada 2012 mencatat hanya sekitar 12 persen remaja yang mengalami KTD menamatkan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Dan hanya sekitar 0.6 persen remaja yang melanjutkan kuliah.
Sementara, jika mengacu pada studi jangka panjang selama 25 tahun di Selandia Baru berjudul “Abortion Among Young Women and Subsequent Life Outcomes” ditemukan bahwa dibandingkan dengan perempuan usia 21-25 tahun yang melanjutkan kehamilannya akibat KTD, perempuan muda yang melakukan aborsi lebih mungkin untuk mengenyam pendidikan dan melanjutkannya ke jenjang yang lebih tinggi.
Misalnya, di saat hanya 26.7 persen perempuan KTD yang dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas, terdapat 9.7 perempuan yang memiliki akses aborsi aman dan legal dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang sama dan mendapatkan gelar sarjana.
Studi ini pun juga menggarisbawahi perempuan yang memiliki akses aborsi aman dan legal dan mampu mengenyam pendidikan jauh lebih baik pada enam dari sepuluh ukuran yang pendapatan, ketergantungan kesejahteraan dan kekerasan dalam rumah tangga.
4. Aborsi Aman dapat Mengurangi Kemiskinan di Masa Mendatang
Pernahkah terpikirkan dalam benak kita bahwa pelarangan aborsi berpengaruh kuat pada pemiskinan perempuan itu sendiri? Dalam buku The Turnaway Study: Ten Years, a Thousand Women, and the Consequences of Having—or Being Denied—an Abortion (2020), Diana Greene Foster, seorang profesor di University of California San Francisco selama lima tahun mendokumentasikan pengalaman 813 perempuan di 30 klinik di 21 negara bagian yang mencari akses aborsi.
Dari hasil penelitiannya, konsekuensi penolakan aborsi menempatkan perempuan ke jurang kemiskinan yang lebih dalam. Misalnya saja, perempuan yang ditolak akses aborsi aman dan legalnya cenderung hidup di bawah garis kemiskinan di masa depan dan membutuhkan waktu empat tahun untuk mengejar status penerimaan kerja perempuan yang menerima layanan akses aborsi.
Foster kemudian lebih rinci mencatat, sekitar 72 persen perempuan yang tidak melakukan aborsi akhirnya hidup dalam kemiskinan, dibandingkan dengan 55 persen dari mereka yang melakukannya. Hal ini pun jelas berpengaruh pada masa depan perempuan, pasangan, dan anak-anak mereka hidup yang akan terus dibayang-bayangi oleh kemiskinan dengan anak-anak lebih rentan hidup dalam kemiskinan ketika mereka dewasa.
Penemuan penelitian Foster ini sebenarnya tidak mengejutkan. Dalam wawancaranya via surel bersama Reuters, Rachel K. Jones, sosiolog dan peneliti di Institut Guttmacher di New York mengatakan kebanyakan perempuan yang mencari aborsi adalah orang miskin atau berpenghasilan rendah dan sudah memiliki anak.
“Penambahan anggota keluarga mengharuskan perempuan memikirkan lebih serius sumber daya yang terbatas. Hal ini berakibat pada tingkat kemiskinan yang lebih tinggi dan ketergantungan pada tunjangan kesejahteraan sosial,” tulisnya.
Pada akhirnya, pelarangan aborsi aman dan legal bagi perempuan yang membutuhkan tidak hanya berdampak bagi bagi perempuan. Namun, itu juga berimbas untuk keluarga, masyarakat dan negara. Kemiskinan anak akan meningkat, layanan kesehatan masyarakat akan terganggu, dan sumber daya manusia berkualitas semakin menurun.
Comments