Lagi-lagi dunia digemparkan dengan berita pemerkosaan yang dilakukan terhadap anak perempuan di India. Kasus ini terendus publik saat ibu korban melaporkan ke pihak berwajib, (23/4). Dalam laporan tersebut, ia menyatakan putrinya yang berusia 13 tahun itu diculik sehari sebelumnya oleh Chandan, Rajbhan, Harishankar, dan Mahendra Chaurasia.
Keempat pelaku ini membawa korban ke Bhopal di mana korban diperkosa beramai-ramai selama tiga hari, sebelum dibawa kembali ke desanya pada 26 April dan dibuang di depan kantor polisi Pali. Keesokan hari ketika hendak mengajukan pengaduan pemerkosaan, korban justru diperkosa kembali. Kali ini oleh petugas rumah kantor (Station House Officer atau SHO) kantor polisi di Lalitpur, Uttar Pradesh.
Kejadian ini bukan kali pertama. Pada Agustus 2021, anak perempuan di India diduga juga diperkosa ramai-ramai oleh pemuka agama Hindu dan tiga orang lainnya. Ia diserang saat tengah mengambil air minum di dispenser dalam krematorium New Delhi, India. Untuk menyamarkan aksinya, para pelaku mengkremasi paksa tubuh sang anak agar pihak berwajib tak bisa melakukan pemeriksaan post-mortem.
Sementara, pada 2014, dua anak perempuan asal Uttar Pradesh yang masih saudara sepupu, diperkosa ramai-ramai oleh sebuah geng. Lalu, mereka dibunuh dan mayatnya digantung di pohon mangga. Nahas, saat melaporkan kejadian ini pada kepolisian setempat, aparat justru mencemooh hanya karena mereka adalah kasta Dalit, kasta terendah yang dijuluki the untouchable.
Beberapa contoh di atas menjadi bukti, kekerasan terhadap perempuan di India kerap dilatarbelakangi oleh problem kasta sosial. Ketiganya punya kesamaan, yakni korban yang berasal dari kasta “buangan”. Sebagai kasta terendah di masyarakat India, orang-orang dari kasta ini telah lama termarjinalisasi. Mereka dimiskinkan dan mengalami kekerasan berlapis di tangan kasta yang lebih tinggi.
Pada 1950, sistem kasta India sebenarnya secara resmi telah dihapuskan. Akan tetapi hierarki sosial yang telah berusia lebih dari 2.000 tahun yang dikenakan pada orang-orang sejak lahir itu, masih mengakar kuat di banyak aspek kehidupan.
Dalam laporan Human Rights Watch pada 2001 dijelaskan, orang-orang dari kasta Dalit tidak menggunakan sumur yang sama, mengunjungi kuil yang sama, atau minum dari cangkir yang sama di kedai teh bersama dengan kasta lain. Mereka bahkan diharamkan menyentuh bayangan orang-orang dari kasta yang lebih tinggi. Anak-anak Dalit selama bersekolah pun harus mengalami diskriminasi dari guru dan murid-murid lain. Inilah praktik “hidden apartheid" di India, di mana semua aspek kehidupan nyatanya masih tersegregasi berdasarkan kasta sosial.
Berulang kali, para sineas India berusaha mengangkat isu ini kepada publik. Mulai dari genre crime action hingga komedi satir, film-film bertema kasta diproduksi dengan harapan, gaungnya bisa terdengar oleh banyak orang di dunia. Berikut 4 film India yang bawakan tema diskriminasi kasta sosial yang tak sekadar kontroversial tapi memang digarap dengan baik.
Baca Juga: ‘Bandit Queen’ Kebangkitan Perempuan Penyintas Kekerasan
1. Article 15 (2019)
Penelitian pada 2006 terhadap 500 perempuan Dalit di empat negara bagian di seluruh India menemukan, perempuan Dalit adalah kelompok paling rentan terhadap kekerasan seksual. Dilansir BBC, tercatat sebanyak 54 persen perempuan Dalit diserang secara fisik, 46 persen pernah dilecehkan secara seksual, 43 persen pernah menghadapi kekerasan dalam rumah tangga, dan 23 persen diperkosa.
Fakta lapangan mengenai kerentanan perempuan Dalit inilah yang berusaha digambarkan dalam film Article 15. Melalui narasi Ayan Ranjana (Ayushmann Khurrana) sebagai Kepala Kepolisian Distrik, film ini menelusuri gelapnya realitas kasta di India yang berujung pada pemerkosaan, pembunuhan, dan penyuapan.
Dalam hal ini, Ayan harus menyaksikan di hari pertamanya bertugas bagaimana dua remaja perempuan dari kasta Dalit dibunuh dengan cara digantung. Beberapa hari sebelum ditemukan jasad kedua remaja perempuan ini, orang tua mereka telah mencoba melaporkannya ke pihak berwajib. Namun sayangnya, polisi tidak menggubris aduan mereka dan tak ada laporan resmi yang pernah dibuat.
Melihat bagaimana remaja perempuan Dalit berakhir mati digantung, perwira senior di kantor kepolisian pun berusaha menutup kasus ini dengan alasan, pembunuhan terhadap anak atau remaja perempuan di kasta rendah kerap terjadi dengan motif kehormatan (honour killing). Usaha menutup kasus ini pun dilakukan secara diam-diam dengan cara memalsukan laporan autopsi.
Akan tetapi, Ayan tidak percaya dengan hasil autopsi yang ia dapat karena ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana terdapat jejak kekerasan seksual di tubuh korban. Belum lagi fakta bahwa satu remaja perempuan menghilang, yang membuat ia semakin curiga ada pembungkaman paksa atas kasus ini.
Karenanya, Ayan pun berusaha mengusut kasus ini sendirian. Ia tidak peduli jika ia mendapatkan kecaman dari berbagai pihak apalagi dengan statusnya yang seorang Brahmin. Status yang membuat orang sekitarnya terus menerus mengingatkannya untuk menjauh dari kasta Dalit, yang bisa “mencemarkan” kemurniaan kasta kelahirannya ini. Dengan tekad kuatnya, ia ingin keadilan mampu menjangkau semua orang tanpa pandang kasta sosial.
Baca Juga: 4 Rekomendasi Film India yang Urai Patriarki dengan Gamblang
2. Swades (2006)
Jika ogah menonton film kasta sosial yang terlalu kelam, mungkin Swades bisa menjadi pilihan lain. Dengan sentuhan klasik film India, yaitu tarian dan nyanyian, film ini tetap punya pesan penting mengenai diskriminasi sosial berdasarkan kasta.
Film berdurasi tiga jam itu bercerita tentang pengalaman Muhan Bhargava (Shah Rukh Khan), non-residen India yang bekerja sebagai Project Manager pada program Global Precipitation Measurement (GPM) di NASA yang pergi ke desa terpencil di India. Tujuannya adalah demi menemukan pengasuh masa kecilnya, Kaveri Amma. Awalnya, Muhan hanya berencana membawa Kaveri pergi bersama tinggal di Amerika. Namun, jiwanya terguncang setelah melihat berbagai ketimpangan sosial yang ia saksikan selama kunjungan tua. Ia melihat bagaimana di tingkat akar rumput, politik kasta masih terus dipraktikkan.
“Jo kabhi nai jaati, usi ko jati kehte hain”
Hal yang tidak pernah pergi, hal itu disebut kasta
Warga desa yang berasal dari kasta Dalit tidak bisa hidup secara layak. Hak-hak dasar, termasuk memperoleh pekerjaan dan pendidikan yang layak dilucuti habis-habisan. Sebuah keluarga dari kasta Dalit misalnya, harus hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka tinggal di gubuk tanpa listrik dengan anak-anak perempuan yang tidak diizinkan untuk bersekolah dan dipaksa bekerja. Sang Ayah berkilah, orang-orang dari kasta Dalit tidak mungkin bisa bersekolah di sekolah yang sama dengan kasta lain. Pasalnya, anak perempuan mereka pasti akan diperlakukan tidak baik selama bersekolah.
Jika pun anak perempuan mereka sekolah, masa depan mereka tak akan bisa berubah. Hal ini karena pemiskinan akibat politik kasta hanya akan membuat perempuan bernilai sebagai objek tukar. Anak perempuan dinikahkan dalam usia masih belia demi meringankan beban keluarga yang hidup di bawah angka kemiskinan.
Realitas inilah yang membuat Mohan membuatnya berpikir keras bagaimana caranya ia, seseorang dari kelas Brahmin, bisa membawa perubahan. Setidaknya pada desa kecil ini. Usahanya ini terlihat dari bagaimana mulai mengajak anak-anak dari kasta sosial manapun untuk bersekolah di sekolah yang sama. Ia juga mengajak seluruh penduduk desa gotong royong membangun pembangkit tenaga listrik tenaga air mandiri.
3. Serious Men (2020)
Diangkat berdasarkan novel dengan judul yang sama yang ditulis oleh Manu Joseph, Serious Men mungkin adalah pilihan tepat bagi kalian yang ingin menonton film sarat isu sosial, tapi disampaikan melalui komedi satir. Serious Men sendiri bercerita tentang Ayyan Mani (Nawazuddin Siddiqui), asisten (lebih tepatnya pesuruh) peneliti antariksa berkasta Brahmin, Dr. Arvind Acharya.
Sebagai seseorang dari kelas Dalit, Mani selalu diperlakukan semena-mena sejak ia kecil. Bodoh, tolol, dan dungu adalah julukan yang kerap ia terima, dan ia harus pasrah dipanggil demikian karena ia bahkan tidak bisa mengenyam pendidikan yang setara.
Melihat bagaimana kehidupannya begitu menyedihkan, Ayyan pun bertekad untuk merubah nasib anak laki-lakinya, Adi. Ia berusaha mendaftarkan Adi ke sekolah swasta berkualitas dengan tabungan, namun sayang Adi ditolak oleh sekolah dan tidak mendapatkan rekomendasi dari atasannya ,semata-mata karena Ayyan adalah seseorang dari kasta Dalit.
Merasa geram karena diskriminasi tersebut, Ayyan memutuskan untuk mengambil tindakan ekstrem agar anaknya bisa diakui publik. Ia membentuk persona baru bagi Adi, seorang jenius dari kasta Dalit. Segala cara ia ambil, mulai dari membeli soal-soal ujian anak Sekolah Dasar (SD) hingga memodifikasi alat bantu dengar Adi dengan bluetooth. Alasannya? Agar jika Adi kesulitan berbicara pada orang lain atau sedang menjadi berbicara di depan massa, Ayyan bisa mendikte setiap kata-kata yang ada.
Inilah esensi dari satir yang ditawarkan oleh Serious Men. Serious Men mencerminkan bagaimana kendati India telah masuk dalam era modern, diskriminasi atas kasta sosial masih terasa sampai-sampai seseorang dari kasta bawah rela menjadikan anaknya “badut” di panggungnya sendiri.
Baca Juga: 7 Film Bollywood Terlaris yang Membicarakan Isu Sosial
4. The White Tiger (2021)
Sama seperti dengan Serious Men, The White Tiger juga adalah film yang diangkat dari novel dengan judul sama yang ditulis oleh Aravind Adiga. Poros narasi The White Tiger dibangun melalui cerita seorang laki-laki bernama Balram Halwai (Adarsh Gourav) yang berasal dari kasta rendah. Sebagai seseorang dari kasta rendah yang mengalami pemiskinan sosial, Balram terpaksa putus sekolah setelah ayahnya meninggal dan melakukan pekerjaan serabutan sebagai pemecah batu dan bekerja di warung teh untuk menghidupi keluarganya.
Pada suatu hari, putra The Stork (tuan tanah desa), Ashok (Rajkummar Rao), bersama istrinya Pinky (Priyanka Chopra), datang ke India dan sedang mencari supir pribadi. Balram pun melihat ini sebagai peluang besarnya untuk keluar dari kemiskinan. Ia lalu mengambil les dan tes mengemudi hingga akhirnya memberanikan diri melamar sebagai supir pribadi yang beruntungnya diterima tanpa kendala berarti.
Sebagai seseorang dari kasta rendah yang didikte untuk hidup melayani tuannya, Balram awalnya menikmati pekerjaan barunya ini. Namun dengan cepat segalanya berubah menjadi kacau setelah malam pengkhianatan yang dilakukan tuannya yang ia puji-puji terhadapnya.
Ashok menjadikan Balram sebagai kambing hitam dari kecelakaan tabrak lari yang dilakukan oleh istrinya, Pinky (Priyanka Chopra). Tidak hanya itu, Balram juga melihat dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana sang tuan Ashok, dapat melakukan korupsi demi menjamin keselamatannya sendiri dengan menjebak Balram.
Dengan penokohan yang kuat dalam diri Balram inilah, The White Tiger mengelaborasi narasi apik tentang politik kasta di India yang berkelindan dengan sistem negara yang korup. Film ini menawarkan perspektif tentang bagaimana sampai kapan pun kaum dari kasta rendah tidak akan pernah bisa merubah nasibnya kecuali dengan dua hal, kejahatan dan politik yang nyatanya juga dibangun dari skema besar kepicikan.
Comments