Setelah tiga bulan berupaya mengendalikan penularan wabah COVID-19 melalui karantina wilayah, pemerintah Indonesia akhirnya memilih kembali menjalankan roda perekonomian yang sempat lesu, termasuk membuka tempat ibadah dan mal.
Pemerintah mengampanyekan normal baru (new normal). Istilah ini merujuk pada sebuah tatanan baru yang menganjurkan perilaku hidup bersih dan sehat dengan pelaksanaan protokol kesehatan yang lebih ketat untuk masyarakat dan fasilitas umum guna mencegah penularan virus corona.
Pemberlakuan normal baru di sini mengundang risiko lebih besar karena Organisasi Kesehatan Dunia menganjurkan penerapan normal baru dilakukan di suatu negara jika sudah tidak ditemukan kasus baru di negara tersebut.
Faktanya, kasus COVID-19 di Indonesia belum pernah melandai sejak ditemukannya kasus pertama pada awal Maret 2020. Dalam sebulan terakhir, setelah pertemuan massal orang pada Hari Raya Idul Fitri, jumlah kasus baru harian COVID-19 di Indonesia justru cenderung melebihi 1000 kasus.
Hal itu tampaknya dipicu oleh maraknya kerumunan masyarakat baik sengaja maupun tidak sengaja karena mereka mendatangi pasar untuk berbelanja baju atau perlengkapan sebelum Lebaran, beribadah Bersama, dan bersilaturahmi dengan keluarga.
Masalah serius yang kurang disadari adalah sistem pelayanan kesehatan di Indonesia belum didesain untuk siap menghadapi sebuah bencana kesehatan, apalagi bencana penyakit yang dahsyat, penularannya cepat, dan belum ada vaksin dan obatnya seperti COVID-19.
Keadaan ini berbeda dengan negara lain seperti Korea Selatan, Jerman dan Inggris yang sudah mematangkan sistem pelayanan kesehatannya sejak lama, sehingga mereka lebih mampu menghadapi lonjakan pasien COVID-19 dalam waktu singkat.
Sebenarnya, Indonesia yang memiliki hampir 10.000 Pusat Kesehatan Masyarakat (puskesmas), namun sekitar 30 persen di antaranya berada di Pulau Jawa, bisa memperkuat kapasitasnya untuk menghadapi pandemi yang belum pasti kapan berakhirnya.
Masalah puskesmas
Dalam sistem kesehatan di Indonesia, puskesmas merupakan institusi terdepan tingkat pertama pelayanan kesehatan di akar rumput. Mereka melayani kebutuhan kesehatan masyarakat dan perorangan dengan lebih mengutamakan aspek promotif dan preventif.
Petugas kesehatan di layanan kesehatan ini paling dekat dengan masyarakat, termasuk memiliki program pengembangan yang melibatkan peran masyarakat melalui keberadaan kader kesehatan. Bersama kader kesehatan, upaya edukasi dan sosialisasi terkait pencegahan COVID-19 dapat menggunakan cara-cara yang lebih sesuai dengan budaya dan bahasa masyarakat setempat, bukan dengan bahasa “langit” yang sering digunakan pemerintah.
Sayangnya, program sosialisasi dan kader kesehatan di puskesmas sering tidak maksimal pelaksanaannya karena hanya bertujuan untuk menyelesaikan program, bukan pada perubahan perilaku masyarakat agar lebih sehat.
Selain itu, kondisi dan kemampuan puskesmas di Indonesia berbeda-beda di setiap wilayah, tergantung dari kapasitas dan manajemen masing-masing puskesmas. Ketimpangan sumber daya manusia, akses informasi serta infrastruktur mempengaruhi kinerja puskesmas dalam melaksanakan upaya menyehatkan masyarakat.
Dalam suatu diskusi pada April 2020, yang diadakan oleh Pusat Penelitian Kependudukan LIPI dalam rangka kegiatan riset yang sedang berlangsung, seorang tenaga kesehatan di Wakatobi mengatakan pada masa-masa awal pandemi COVID-19 petugas puskesmas di sana belum memiliki pengetahuan yang cukup untuk disebarkan ke masyarakat guna mencegah COVID-19.
Selain karena banyaknya perubahan informasi pada awal pandemi COVID-19, menurut keterangan dari tenaga kesehatan tersebut, paparan informasi terkait COVID-19 di daerah-daerah luar Pulau Jawa, khususnya di Wakatobi, memang cenderung kurang masif.
Beralih dari sisi kuratif
Dalam pandemi COVID-19, puskesmas mempunyai peran yang sangat penting mulai dari promotif, preventif, kuratif sampai rehabilitatif.
- Promotif: melakukan berbagai pendekatan ke masyarakat agar masyarakat mengerti tanda, gejala serta bahaya dari COVID-19.
- Preventif: melakukan skrining COVID-19 di wilayah kerjanya dengan bekerja sama dengan dokter praktik/klinik/bidan praktik. Mereka juga perlu memantau orang-orang tanpa gejala (OTG), orang dalam pemantauan (ODP) atau pasien dalam pengawasan (PDP) dengan gejala ringan.
- Kuratif: mengobati pasien OTG, ODP dan PDP dengan gejala ringan sehingga mereka dapat sembuh tanpa harus ke rumah sakit.
- Rehabilitatif: memberikan konseling ke keluarga dan lingkungan di dekat penderita COVID agar tidak mengucilkan pasien COVID 19, sebaliknya memberi dukungan pada pasien COVID-19 dan keluarganya.
Selain puskesmas, terdapat fasilitas kesehatan (faskes) swasta yang “lebih dipercaya” masyarakat dalam mengatasi berbagai masalah kesehatan yaitu klinik pratama dan bidan praktik setempat. Meski faskes tersebut lebih fokus pada pengobatan, puskesmas dapat berkoordinasi dengan faskes swasta untuk memberikan edukasi pada masyarakat terkait protokol kesehatan pada masa normal baru COVID-19 ini.
Baca juga: 32 Tahun Posyandu: Miskin Dana, Perspektif Gender, dan Regenerasi
Jika sebuah puskesmas menjalankan upaya promotif dan preventif dengan menyesuaikan pada budaya yang dimiliki masyarakat setempat, puskesmas akan memiliki ‘ikatan yang kuat’ dengan masyarakat dan mampu memobilisasi masyarakat untuk menerapkan perilaku sehat.
Bagaimana pun, protokol kesehatan seperti menjaga jarak, menggunakan masker, mencuci tangan dengan sabun serta makan makanan bergizi dan berolahraga teratur akan memiliki manfaat besar jika dilaksanakan secara massal.
Peran masyarakat
Bukan hanya pada petugas kesehatan, sesungguhnya garda terdepan upaya meningkatkan kesehatan secara umum, tidak hanya dalam konteks mengendalikan COVID-19, terletak di pundak masyarakat.
Pendekatan yang tepat pada masyarakat sebagai garda terdepan pencegahan COVID-19 sangat penting mengingat sistem pelayanan kesehatan Indonesia masih belum mampu menampung pasien yang terus meningkat baik karena COVID-19 maupun akibat penyakit lainnya.
Karena itu, pencegahan penularan di tingkat masyarakat sangat penting untuk mengurangi beban pengobatan di rumah sakit. Fasilitas kesehatan (rumah sakit) yang lengkap alat dan tenaga kesehatannya masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Selain itu rasio dokter per penduduk di Indonesia masih rendah, yakni empat dokter di bertanggung jawab menangani 10.000 penduduk (4: 10.000).
Meski mengubah perilaku masyarakat bukan perkara mudah, Puskesmas memiliki posisi strategis di masyarakat dan otoritas kesehatan yang seharusnya mampu meyakinkan masyarakat untuk berupaya mencegah COVID-19.
Kerja sama yang erat antara puskesmas dan masyarakat akan meningkatkan kepatuhan pada protokol kesehatan serta mengurangi hambatan dalam upaya penanggulangan COVID-19 yang berasal dari masyarakat. Salah satunya keengganan masyarakat untuk dites COVID-19 secara gratis, karena ketakutan tidak bisa beraktivitas seperti biasa dan stigma dari masyarakat setempat jika hasilnya positif.
Baca juga: Saya Demam 38 Derajat Celsius, Apa yang Harus Saya Lakukan?
Pada masa pandemi ini dan ke depan, puskesmas dapat bekerja sama dengan klinik pratama, bidan dan dokter praktik di wilayah kerjanya untuk menghimpun kekuatan mewujudkan perilaku kesehatan masyarakat.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Comments