Sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), saya merasa sudah ditakdirkan jadi anak IPS. Pasalnya, saya suka sekali dengan mata pelajaran IPS, mulai dari Geografi, Sosiologi, Sejarah, sampai Ekonomi. Ketertarikan ini bukan pepesan kosong. Saya selalu betah berlama-lama membaca buku rumpun ilmu sosial yang super tebal, energi saya 100 persen saat itu.
Ketertarikan ini tak pernah padam meski saya sudah jadi siswa Sekolah Menengah Atas (SMA). Kendati saat tes penempatan, saya dianjurkan memilih IPA, kecintaan pada IPS membuat saya masuk di jurusan ini. Guru-guru otomatis heboh, bahkan ada yang sengaja mencegat saya sebelum masuk kelas.
“Jasmine, kamu milih IPS? Hasil tes kamu itu masuk IPA. Coba pikirkan lagi!”
Melihat respons guru-guru di SMA, saya enggak habis pikir. Mereka sepintas mengesankan bahwa jurusan IPA adalah segalanya, core from the core, inti kehidupan, modal paling utama dan hakiki jika mau sukses dan kaya raya sampai mati. Sebaliknya, pandangan itu tak berlaku untuk jurusan IPS. Dari sini, memori soal stigma anak IPA berseliweran di kepala saya. Apa saja stigma yang paling sering dilekatkan pada siswa IPS?
Baca Juga: Capeknya Jadi Anak Sastra, Kuliah Susah tapi Masih Distigma
1. Tidak Sepintar Anak IPA karena Jurusan Buangan
Beberapa hari lalu saya sempat menemukan cuitan figur publik yang secara implisit menyatakan, anak-anak ilmu sosial itu tidak sepintar anak-anak sains. “Sudah fakta juga bahwa di negeri ini biasanya anak-anak terpandai dikirim ke jurusan2 sains.”
Cuitannya ini jelas mengundang banyak respons dari anak-anak ilmu sosial yang merasa diri mereka diremehkan. Banyak di antara mereka yang akhirnya jadi balik menyindir dan curhat pengalaman mereka sebagai anak ilmu sosial.
Figur publik itu tak sendiri memberi kami stigma. Pandangan absurd bahwa anak IPA lebih superior ketimbang anak IPS sebenarnya berasal dari istilah sehari-hari, yaitu hard science dan soft science. Istilah yang tercipta untuk membedakan bidang ilmiah berdasarkan metodologi, ketepatan, dan objektivitasnya.
Hal yang menarik dan bikin sedih mengenai hierarki ilmu ini sebenarnya dipelopori oleh salah satu filsuf berpengaruh di dunia modern, Auguste Comte. Filsuf satu ini mengidentifikasi astronomi sebagai ilmu yang paling top, diikuti Fisika, Kimia, Biologi, dan Sosiologi.
Ilmu sosial dan humaniora yang merupakan soft science akhirnya mendapatkan gelarnya sebagai not the real science bagi banyak orang. Gelar ini lah yang rentan menciptakan stigma ke anak-anak IPS. Anak-anak IPS seringkali dipandang enggak sepintar anak IPA. Mereka cuma bisa menghafal saja (ini ngeselin banget sih karena sejak kapan menghafal itu suatu hal yang mudah).
Sayangnya, stigma ini berujung pada lapisan stigma lain, di mana IPS jadi jurusan buangan di mana semua anak-anak yang enggak bisa masuk IPA berkumpul. Padahal kenyataannya, banyak banget anak IPS yang pintar dan sengaja masuk IPS karena memang itu pilihan yang mau diambil dengan sadar.
Baca Juga: 5 Tips Mencari Tahu Potensi Diri
2. Anak IPS Enggak Punya Masa Depan
Stigma lainnya, anak IPS dianggap sebagai produk gagal yang enggak punya masa depan secerah anak IPA. Saya bahkan pernah mendapatkan cuitan dari akun tubirfess yang mengunggah pengalaman seseorang yang dimarahi orang tuanya sendiri karena ingin masuk jurusan IPS. Untuk memperlihatkan bagaimana dramatisnya stigma terhadap anak IPS, saya coba kasih penggalan cuitannya.
“Kamu mau jadi orang miskin?!! Mau jadi orang sengsara? Tuh lihat si ini sengsara, kamu mau?? Kamu sombong banget ya! Masih SMP belum pengumuman sekolah udah nyerah milih IPS.”
Sebagai anak IPS, jujur saya enggak paham dengan pemikiran seperti ini. Memang kalau jadi anak IPA, otomatis pasti menjamin masa depan kita ya? Kalau mau bicara fakta, sebenarnya enggak ada hubungannya masuk IPA sama IPS dengan masa depan kita.
Kata siapa anak IPA pasti sukses, anak IPS auto-madesu? Temen-temen sekelas saya dulu jika didefinisikan pakai standar kesuksesan boomers, termasuk sukses lho. Ada yang buka usaha sampai tokonya buka di mal bergengsi Jakarta Selatan, ada yang jadi koki moncer di hotel luar negeri, ada juga yang jadi relationship manager di salah satu bank terbesar di Indonesia.
Jadi, tolong lah, setop berpikir dengan masuk IPS, maka masa depan kami otomatis terkubur. Pada akhirnya, tergantung individu masing-masing kok untuk mengasah dan mengembangkan kemampuan dan pengetahuan mereka yang bakal berguna saat kerja nanti.
Baca Juga: Stigma Otak Kotakkan Perempuan
3. Kumpulan Anak-Anak Santuy yang Enggak Ambis
Saya kemarin baru saja mengobrol dengan dua teman, sebut saja Adiba (IPS) dan Lani (IPA). Saat saya tanya stigma apa yang melekat di anak IPS bahkan sampai sekarang, keduanya sepakat, anak IPS distigma sebagai kumpulan anak-anak yang santuy dan enggak ambis dalam bidang akademis.
“Karena stigma (masuk jurusan) IPS itu gampang, jadinya ya cenderung santai belajarnya,” kata Lani.
Klaim anak IPS yang cenderung santai ini diejawantahkan dalam dugaan bahwa lebih banyak anak-anak yang mengisi waktu dengan bermain atau bersenda gurau di kelas, bahkan bolos. Padahal buat saya, stigma ini tak berdasar sama sekali. Saya sendiri misalnya, ketika masuk jurusan IPS, justru menjadi sangat ambisius. Berusaha belajar keras untuk selalu dapat juara dan bisa masuk perguruan tinggi negeri (PTN) lewat jalur undangan.
Usaha saya tak tanggung-tanggung. Saya les hampir tiap hari sepulang sekolah. Les bimbel tiap Senin dan Rabu, les privat tiap Selasa, Kamis, Sabtu (bahkan jelang ulangan, biasanya Minggu sore saya masih menyempatkan diri untuk les). Kadang, karena sibuk belajar, saya bisa sampai di rumah pukul 9 malam.
4. Yang Cowok Bandel, yang Cewek Genit
Entah ini stigma berasal dari mana. Namun, sebelum saya masuk jurusan IPS, saya sering mendengar perkataan orang-orang dewasa kalau anak IPS diisi anak-anak bandel dan genit. Kumpulan siswa nakal yang lebih suka berantem, tawuran antarsekolah. Pokoknya kalau ada segerombolan anak cowok masuk ke ruang BK, orang-orang pasti langsung berprasangka “Ah, palingan anak IPSyang dipanggil guru BK.”
Kalau cowok-cowoknya distigma suka berantem, anak cewek IPS distigma genit dan senang bikin geng, macam perempuan di Mean Girls. Mereka di mata mayoritas orang dituding hobi melanggar aturan pakaian sekolah, dari memakai rok span yang “haram”, sengaja memakai seragam ketat, sampai memendekkan rok. Mereka juga diklaim suka menggoda senior atau gonta-ganti pacar.
Faktanya, anak IPA sekolah saya dulu juga banyak kok yang ikut tawuran atau berantem Bandel mah bandel aja, enggak memandang bulu mana IPA atau IPS, mau belajar kanuragan atau belajar salat. Titik.
Menurut saya, siswi IPS juga cuma segelintir saja yang suka ngelanggar aturan pakaian di sekolah, bahkan senior saya dahulu yang suka melanggar aturan pakaian biasanya punya partner in crime anak IPA. Lalu untuk urusan genit-genitan juga enggak ada hubungannya sama IPA IPS. Bahkan, kebanyakan anak IPS yang saya tahu saat itu, kalau enggak belajar ya sibuk memikirkan oppa-oppa Korea atau cowok gepeng di manga/ anime.
Intinya saya cuma mau bilang, melekati anak IPS dengan beragam stigma adalah salah satu bentuk arogansi pengetahuan yang hakiki. Mungkin orang-orang enggak membaca tren perubahan zaman sekarang: Saat dunia dikepung oleh kecerdasan artifisial, robot, dan semua hal berbau mekanik, tetap dibutuhkan pembangunan manusia lewat kecerdasan emosional dan humanis. Kita cuma harus belajar untuk menjadi manusia, dan IPS menjembataninya.
Comments