Women Lead Pendidikan Seks
June 14, 2021

7 Ormas Keagamaan Dukung Pengesahan RUU PKS

Para tokoh dari tujuh organisasi masyarakat keagamaan mendukung RUU PKS untuk disahkan karena semua ajaran agama menolak kekerasan seksual.

by Tabayyun Pasinringi, Reporter
Issues
Islam_Progresif_Moderat_KarinaTungari
Share:

Para tokoh dari tujuh organisasi masyarakat (ormas) berbasis Islam, Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, Konghucu, dan Sunda Wiwitan memberi dukungan pada pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), dengan alasan bahwa tidak ada agama yang menoleransi kekerasan seksual.

Ormas-ormas tersebut adalah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Persatuan Gereja-gereja Indoensia (PGI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan, Wanita Buddhis Indonesia, Wanita Katolik Republik Indonesia, dan Perempuan Khonghucu Indonesia.

Pernyataan publik ini diharapkan dapat mengurangi penolakan kelompok-kelompok agama terhadap rancangan aturan yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 di Dewan Perwakilan Rakyat.

Rena Hardiani dari Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) mengatakan, dukungan dari tokoh-tokoh agama diharapkan dapat mempermudah advokasi untuk pengesahan RUU PKS, apalagi karena sampai saat ini Naskah Akademik dan Draft RUU PKS belum dibahas Badan Legislasi RI.

“Harapannya, dukungan ini bisa mengawal dan mengonsolidasi masyarakat agar mendorong pembahasan RUU PKS,” ujar Rena dalam Dialog Publik “Perspektif Agama-agama atas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” yang diselenggarakan JMS (9/6).

Yanto Jaya, Ketua Bidang Hukum Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), menyerukan agar organisasi-organisasi agama yang besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan PGI mengeluarkan surat pernyataan resmi mengenai pentingnya pengesahan RUU PKS untuk lebih mendesak DPR dan pemerintah.

“Yang menjadi tantangan besar adalah ormas agama belum bersatu dalam hal ini. Jika ketua ormas bersatu dan menandatangani surat pernyataan bersama, RUU ini tidak mandek lagi,” ujarnya.

Baca juga: Akademisi Islam: RUU PKS Sejalan dengan Ajaran Agama, Lindungi Manusia

Kekerasan Seksual Melanggar Nilai Kemanusiaan

Yanto mengatakan dalam agama Hindu terdapat konsep anti-kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Selain itu, ujarnya, dalam ajaran Hindu, menyakiti perempuan berarti menyakiti satu keluarga karena perempuan adalah tiang keluarga.

Kyai Marzuki Wahid dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) mengatakan, Islam melarang kekerasan seksual karena menentang misi agama tersebut untuk membawa kedamaian, kesetaraan, dan kebahagiaan bagi manusia dan semesta alam. Ia mengatakan bahwa pemerintah dan DPR akan berdosa jika tidak mengesahkan RUU PKS karena membiarkan kezaliman pada penyintas dan masyarakat terjadi terus-menerus.

“Setiap manusia, apa pun agama, orientasi seksual, dan gendernya, mereka adalah makhluk Tuhan yang memiliki hak asasi yang setara tanpa membedakan. Kita wajib melindungi hak kemanusiaan,” ujarnya.

Juwita Jati Kusuma Putri dari lembaga masyarakat adat AKUR mengatakan, ajaran Sunda Wiwitan menjunjung tinggi kesadaran manusia yang memiliki welas asih (rasa kasih sayang), undak usuk (tata krama dalam berucap), budi daya budi bahasa, wiwahayu danaraga (menjaga perilaku). Karenanya, ajaran Sunda Wiwitan mengecam berbagai bentuk kekerasan seksual, ujarnya.

“Ada juga amanat dasa kerta (sepuluh kesejahteraan) yang mengajarkan agar tidak tersentuh dari siksa api neraka kita harus menjaga semua indra kita dari hal-hal yang dilarang, seperti meraba, menyentuh, dan melihat hal yang tidak seharusnya,” kata Juwita.

Baca juga: 5 Hal yang Harus Kamu Ketahui Tentang RUU PKS

Ajaran Cinta Kasih Larang Kekerasan Seksual

Erna Kusuma dari Wanita Katolik Republik Indonesia mengatakan, hukum kasih sayang banyak diajarkan lewat firman dan ayat-ayat Injil, seperti pada Markus ayat 30-31 yang menyebutkan bahwa ketika mengasihi Tuhan, maka hendaknya mengasihi sesama. Jika sesama manusia saling menyakiti, maka sama saja dengan melukai Tuhan karena manusia adalah gambaran dari-Nya, katanya.

“Dari pijakan itu, jika hukum kasih sayang dihayati dengan sungguh-sungguh dan dijalankan, tentu kita tidak akan tega melakukan kekerasan dalam bentuk apa pun, termasuk kekerasan seksual. Banyak yang mengatakan pengampunan yang utama lalu keadilan. Tetapi sebaiknya keadilan yang pertama, lalu pengampunan” ujarnya.

Memiliki pendapat yang serupa, Pendeta Henrek Lokra dari PGI mengatakan, kekerasan terhadap perempuan tidak sesuai dengan isi Alkitab yang berdasar pada ajaran cinta dan kasih tersebut.

“Laki-laki dan perempuan memiliki martabat sama di hadapan Tuhan Yesus. Berdasarkan basis teologi itu, kita harus mengadvokasi tentang isu kekerasan seksual dan melindungi sesama,” ujarnya.

Venita dari lembaga Wanita Buddhis Indonesia mengatakan, sila ketiga Pancasila Buddha mengatur tentang pengendalian diri untuk menghindari pelanggaran seksual. Dalam kitab suci agama Buddha, Tripitaka, sosok yang paling dicintai manusia adalah dirinya sendiri. Dengan demikian, sesama manusia tidak boleh melukai atau melakukan kekerasan karena setiap orang mencintai dirinya masing-masing, ujarnya.

“RUU PKS sesuai ajaran Buddha yang memiliki dasar cinta dan kasih sayang. Agama Buddha sangat melarang ada kekerasan baik kecil maupun besar,” ujar Venita.

Baca juga: Mental Kuat, Siap Hadapi Aparat: Menjadi Pendamping Penyintas Kekerasan

Sementara itu, Ponnie Wijaya dari Perempuan Khonghucu Indonesia mengatakan, Nabi Khongcu pernah bersabda bahwa mengendalikan diri adalah bentuk cinta kasih, maka sangat dianjurkan untuk tidak melihat, mendengar, membicarakan, dan melakukan, sesuatu yang tidak pantas.

“Ajaran ini sangat mendukung untuk RUU PKS, terutama pelecehan sering terjadi dan banyak yang tidak peduli. Kekerasan ini sangat memengaruhi jiwa, mental dan emosional korban, dan RUU PKS memberikan dukungan (kepada korban,” ia menambahkan.

Ilustrasi oleh Karina Tungari 

 
 
 

Tabayyun Pasinringi adalah penggemar fanfiction dan bermimpi mengadopsi 16 kucing dan merajut baju hangat untuk mereka.