Women Lead Pendidikan Seks
November 22, 2022

8 Miliar Penduduk Bumi: Pangan dan Kesehatan Masyarakat Dunia Terancam?

Populasi manusia sekarang tembus 8 miliar orang, apakah pangan kita cukup? Bagaimana dengan sumber air dan kemampuan sistem kesehatan kita? Pakar ini coba menjawab.

by Maureen Lichtveld
Lifestyle // Health and Beauty
Share:

Ada pertanyaan yang sangat mengkhawatirkan saya sebagai ilmuwan kesehatan populasi dan lingkungan.

Akankah kita memiliki cukup makanan untuk pertumbuhan populasi global? Bagaimana kita akan merawat lebih banyak orang saat pandemi berikutnya? Bagaimana dampak cuaca panas terhadap jutaan orang dengan hipertensi? Akankah negara mengobarkan perang air karena meningkatnya kekeringan?

Baca juga: Jumlah Manusia Tembus 8 Miliar pada 2022: Apa Artinya buat Dunia?

Semua risiko ini memiliki tiga kesamaan: kesehatan, perubahan iklim, dan pertumbuhan populasi yang menurut perkiraan Perserikatan Bangsa-Bangsa akan melewati 8 miliar orang pada 15 November 2022 – dua kali lipat populasi 48 tahun yang lalu.

Selama 40 tahun karier saya, pertama bekerja di hutan hujan Amazon dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat, dan kemudian di dunia akademis, saya telah menghadapi banyak jenis ancaman kesehatan masyarakat. Namun tidak ada efeknya yang begitu keras dan meluas seperti perubahan iklim.

Dari sekian banyak efek kesehatan yang merugikan terkait iklim, empat berikut ini mewakili masalah kesehatan masyarakat terbesar bagi populasi yang terus bertambah.

Bahaya Penyakit Menular

Para peneliti telah menemukan bahwa lebih dari setengah dari semua penyakit menular pada manusia dapat diperburuk oleh perubahan iklim.

Banjir, misalnya, dapat mempengaruhi kualitas air dan habitat tempat bakteri dan vektor berbahaya. Misalnya, nyamuk dapat berkembang biak dan menularkan penyakit menular ke manusia.

Demam berdarah, penyakit virus yang ditularkan oleh nyamuk yang membuat sakit sekitar 100 juta orang per tahun, menjadi lebih umum di lingkungan yang hangat dan basah. R0-nya, atau nomor reproduksi dasar –- ukuran seberapa cepat penyebarannya, meningkat sekitar 12 persen dari tahun 1950-an ke rata-rata pada 2012-2021, menurut laporan Countdown Lancet 2022.

Selama periode yang sama, musim malaria bertambah 31 persen di daerah dataran tinggi Amerika Latin dan hampir 14 persen di dataran tinggi Afrika karena suhu meningkat.

Banjir juga dapat menyebarkan organisme yang ditularkan melalui air yang menyebabkan hepatitis dan penyakit diare, seperti kolera. Ini dapat terjadi ketika sejumlah besar orang mengungsi akibat bencana dan tinggal di daerah dengan kualitas air yang buruk untuk minum atau mencuci.

Baca juga: Habis COVID-19 Terbitlah Hepatitis Akut: Fakta-fakta yang Harus Kamu Tahu

Kekeringan juga dapat menurunkan kualitas air minum. Akibatnya, lebih banyak populasi hewan pengerat masuk ke komunitas manusia untuk mencari makanan, meningkatkan potensi penyebaran hantavirus, kelompok virus yang menyebabkan gangguan pada paru-paru, pembuluh darah dan ginjal.

Bumi yang Makin Panas

Risiko kesehatan serius lainnya adalah kenaikan suhu.

Panas yang berlebihan dapat memperparah masalah kesehatan yang ada, seperti kardiovaskular dan penyakit pernapasan. Serangan panas yang menaikkan suhu tubuh secara cepat di atas 40 derajat Celsius (heat stroke) berisiko merusak jantung, otak, dan ginjal hingga menyebabkan kematian.

Saat ini, sekitar 30 persen populasi global terkena serangan panas yang berpotensi mematikan setiap tahun. Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) memperkirakan bahwa persentase tersebut bakal meningkat sekitar 48 persen hingga 76 persen pada akhir abad ini.

Perubahan iklim mempengaruhi kesehatan manusia. Centers for Disease Control and Prevention

Selain nyawa yang hilang, paparan panas diproyeksikan telah mengakibatkan hilangnya 470 miliar jam kerja potensial secara global pada 2021. Ini berpotensi menghilangkan pendapatan sebesar US$ 669 miliar (**Setara berapa Rp?).

Saat populasi tumbuh dan panas meningkat, lebih banyak orang akan mengandalkan AC yang digerakkan oleh bahan bakar fosil, sehingga memperparah perubahan iklim.

Ketahanan Pangan dan Air

Panas juga mempengaruhi ketahanan pangan dan air bagi populasi yang terus bertambah.

Tinjauan Lancet menemukan bahwa suhu tinggi pada 2021 mempersingkat musim tanam rata-rata sekitar 9,3 hari untuk jagung, dan enam hari untuk gandum dibandingkan dengan rata-rata 1981-2020.

Sementara itu, pemanasan lautan dapat membunuh kerang dan memindahkan atau menjauhkan ikan yang diandalkan masyarakat pesisir. Gelombang panas pada 2020 saja mengakibatkan 98 juta lebih orang menghadapi kerawanan pangan dibandingkan dengan rata-rata tahun 1981-2010.

Peningkatan suhu juga mempengaruhi pasokan air bersih melalui penguapan dan dengan menyusutnya gletser gunung dan bongkahan salju yang secara historis membuat air terus mengalir selama bulan-bulan musim panas.

Kelangkaan air dan kekeringan berpotensi menggusur hampir 700 juta orang pada 2030, menurut perkiraan PBB. Dikombinasikan dengan pertumbuhan populasi dan meningkatnya kebutuhan energi, kelangkaan air dapat memicu konflik geopolitik karena negara-negara menghadapi kekurangan pangan dan bersaing untuk mendapatkan air.

Kualitas Udara Buruk

Polusi udara dapat diperburuk oleh penyebab perubahan iklim. Cuaca panas dan gas bahan bakar fosil yang sama menghangatkan planet dapat menambah kandungan ozon di permukaan. Ozon adalah komponen utama kabut asap. Peningkatan ini dapat memperburuk alergi, asma, dan masalah pernapasan lainnya, serta penyakit kardiovaskular.

Kebakaran hutan yang dipicu oleh bentang alam yang panas dan kering menambah risiko kesehatan dari polusi udara. Asap kebakaran sarat dengan partikel kecil yang dapat menyebar jauh ke dalam paru-paru, menyebabkan masalah jantung dan pernapasan.

Apa yang Dapat Kita Lakukan?

Banyak kelompok dan ahli medis sedang bekerja untuk melawan jeram konsekuensi iklim negatif ini terhadap kesehatan manusia.

Akademi Kedokteran Nasional AS telah mengambil bagian pada tantangan besar dalam perubahan iklim, kesehatan manusia, dan kesetaraan yang ambisius untuk meningkatkan penelitian. Di banyak lembaga akademik, termasuk Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Pittsburgh, tempat saya menjadi dekan, iklim dan kesehatan dimasukkan dalam penelitian, pengajaran, dan layanan.

Penyelesaian beban kesehatan di negara berpenghasilan rendah dan menengah sangatlah penting. Seringkali, orang-orang paling rentan di negara-negara ini menghadapi bahaya terbesar dari perubahan iklim tanpa memiliki sumber daya untuk melindungi kesehatan dan lingkungan mereka. Pertumbuhan populasi dapat memperdalam ketidakadilan ini.

Baca juga: Investasi 3 Miliar dan Salah Fokus dalam Diskursus Soal Punya Anak

Penilaian adaptasi dapat membantu negara berisiko tinggi untuk bersiap menghadapi dampak perubahan iklim. Kelompok-kelompok pembangunan juga memimpin proyek untuk memperluas budi daya tanaman yang dapat tumbuh subur dalam kondisi kering. Organisasi Kesehatan Pan Amerika, yang berfokus pada Karibia, adalah contoh bagaimana negara bekerja untuk mengurangi penyakit menular dan meningkatkan kapasitas regional untuk melawan dampak perubahan iklim .

Pada akhirnya, pengurangan risiko kesehatan memerlukan pengurangan emisi gas rumah kaca untuk meredam perubahan iklim.

Negara-negara di seluruh dunia berkomitmen pada 1992 untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Namun, baru tiga puluh tahun kemudian, tren emisi global mulai melambat, di tengah penderitaan banyak komunitas di dunia akibat gelombang panas ekstrem, banjir dan kekeringan yang merusak.

Konferensi perubahan iklim PBB (COP 27) pekan ini di Mesir, yang menurut saya kurang berfokus pada kesehatan, dapat membantu memperhatikan dampak iklim utama yang membahayakan kesehatan.

Sekretaris Jenderal PBB António Guterres mengingatkan: kala kita semua merayakan kemajuan, “pada saat yang sama, ini adalah pengingat kita untuk tanggung jawab merawat planet dan momen untuk merenungkan di mana kita masih gagal memenuhi komitmen kita untuk satu lain.”

Samantha Totoni, kandidat Ph.D. di University of Pittsburgh School of Public Health, berkontribusi dalam artikel ini.The Conversation

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Maureen Lichtveld, Dean of the School of Public Health, University of Pittsburgh