Sederet figur publik diduga atau telah terbukti menjadi pelaku kekerasan seksual. Reaksi para fans pun beragam: Ada yang percaya ia terlibat dalam kasus itu dan berhenti mengaguminya, ada pula yang tak peduli dan tetap setia pada karya mereka.
Fenomena orang-orang yang mulai meninggalkan sosok pelaku kekerasan dan memboikot karya-karya mereka adalah contoh cancel culture. Merriam Webster Dictionary mendefinisikan hal ini sebagai praktik atau kecenderungan untuk membatalkan secara massal [kesukaan terhadap karya atau orang tertentu-red] sebagai cara mengekspresikan penolakan dan tekanan sosial. Tak hanya terkait kasus kekerasan seksual, cancel culture juga berkelindan dengan masalah-masalah sosial lain seperti rasialisme, sikap homo/transfobia, atau lingkungan.
Dilansir The New York Post, Profesor Sosiologi dan Kriminologi dari Villanova University Dr. Jill McCorkel menyatakan, cancel culture telah berakar sejak lama dalam sejarah manusia. Masyarakat sudah menghukum orang-orang yang dianggap melanggar norma sosial dan cancel culture hanyalah variasi hukuman itu.
“Pada saat yang sama, ini menguatkan pembagian politik dan rasa solidaritas, setidaknya di antara orang-orang yang melakukan canceling,” kata McCorkel.
Pro-Kontra Cancel Culture
Dalam diskursus cancel culture, opini publik terbagi dua. Survei Pew Research Center Mei 2021 lalu terhadap warga Amerika usia dewasa misalnya mencatat, 58 persen responden yang menyatakan bahwa calling out orang-orang tertentu (dalam upaya menerapkan cancel culture) bertujuan mendesak mereka untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Sementara 38 persen responden menilai hal ini lebih bertujuan menghukum orang-orang yang tidak pantas menerimanya.
Lebih lanjut dinyatakan, orang-orang yang memandang negatif cancel culture merasa tindakan ini tidak efektif dan jelas-jelas kejam. Selain itu, ada pandangan cancel culture merupakan wujud penyensoran, pembatasan kebebasan berpendapat, dan upaya menghapus sejarah. Mereka yang punya pandangan ini juga menilai, cancel culture bisa saja dilakukan hanya karena sekelompok orang punya pendapat lain dengan orang tertentu dan karenanya menjadi aksi yang tidak bijak karena tidak membiarkan adanya perbedaan cara pandang.
Sementara, mereka yang pro cancel culture merasa upaya ini pantas dan efektif dilakukan untuk memberi efek jera pada pelaku/terduga pelaku sementara proses hukum belum tentu menjamin ditegakkannya keadilan. Lewat cancel culture yang marak di media sosial ini, mereka berharap kesadaran dan kewaspadaan masyarakat luas terhadap orang-orang yang di-call out juga meningkat sehingga mereka bisa berpikir ulang untuk terus mendukung atau mengonsumsi karya-karya public figure yang mereka idolakan dulu.
Perdebatan tentang Konsumsi Karya sang Artis
Sebagian orang beranggapan, karya dan artisnya adalah dua entitas terpisah. Sementara sang artis terjerat dalam suatu kasus yang secara moral tidak dibenarkan, mereka merasa karya-karya artis tersebut sah-sah saja untuk tetap dikonsumsi, apalagi jika hal tersebut sejalan dengan selera dan mewakili pengalaman mereka.
Ambil contoh kasus Michael Jackson, R. Kelly, Woody Allen, atau Bill Cosby. Mereka punya kontribusi tidak sepele di dunia seni dan karya-karyanya telah diakui dunia.
Sejumlah lagu Michael Jackson seperti “Earth Song”, “Black or White”, dan “Heal The World” dianggap banyak orang sebagai karya apik yang mengangkat isu lingkungan dan sosial. Bahkan, sebuah artikel di IndiaToday mengangkat tajuk “Why Michael Jackson’s songs on climate change and racial inequality need to be youth anthems now”. R. Kelly tidak hanya menjadi solois ternama, ia juga berkontribusi dalam lagu-lagu musisi papan atas mulai dari Celine Dion sampai Lady Gaga.
Dalam kolomnya di DW, Nicole Hemmer menyebut karya-karya Woody Allen signifikan dalam perkembangan sejarah film Amerika, sementara The Cosby Show menjadi kunci untuk memahami persoalan representasi di media termasuk isu ras, kelas, dan penerimaan. Ia percaya bahwa penting untuk tetap membuat karya-karya mereka tetap dapat diakses.
Kendati begitu, Hemmer tidak bisa lagi memandang artis-artis yang disebut terlibat skandal tersebut dengan tatapan yang sama. Ada pertimbangan moral yang tidak bisa dilepaskan dalam dirinya dan mempengaruhi pilihan tindakannya kemudian dalam mengonsumsi karya-karya artis tertentu.
Hemmer kemudian mengangkat dilema saat mengambil contoh lain, yakni soal canceling film-film yang diproduseri Harvey Weinstein. Laki-laki ini melecehkan banyak perempuan termasuk para aktris yang bekerja untuknya seperti Salma Hayek dalam film Frida. Di satu sisi, orang bisa membenci dan memboikot film-film yang ditelurkan Weinstein akibat pelanggaran moral yang dibuatnya. Namun di lain sisi, Frida menjadi salah satu dokumentasi penting yang menggambarkan pelukis ikonik asal Meksiko Frida Kahlo dan telah melibatkan kerja keras banyak aktor termasuk Hayek.
“Menghindari film itu karena itu adalah produksi Weinstein menghukum perempuan yang telah mengalami pelecehan ketika ia sedang mewujudkan visinya. Tidak ada produk artistik yang sepenuhnya dimiliki hanya satu orang, khususnya di dunia film dan penyiaran,” tulis Hemmer.
Dari sisi industri, mempertahankan mereka untuk tetap berada di panggung tentu membawa keuntungan. Sejak ada cancel culture ini, mereka jadi harus berpikir ulang soal keuntungan tersebut: Dengan tidak mengindahkan protes warganet atas aksi-aksi para seniman tersebut, artinya reputasi pihak promotor, label, atau distributor karyanya dipertaruhkan. Salah-salah, mereka justru merugi karena reputasinya runtuh akibat mendukung para artis itu.
Tidak hanya pihak industri, berbagai artis lain yang pernah terlibat dengan terduga atau terdakwa pelaku kekerasan seksual juga melakukan tindakan canceling. Misalnya, Lady Gaga yang menarik dari semua layanan streaming lagu “Do What You Want”-nya di mana ia berkolaborasi dengan R. Kelly.
Opini Awak Magdalene tentang Public Figure yang Kena Skandal
Persoalan canceling idola-idola di dunia seni ini tak pernah menjadi area yang seluruhnya hitam atau putih. Tiap orang punya pilihan dan alasan sendiri yang tidak bisa dengan mudah disebut benar atau salah.
Berikut ini opini-opini dari awak Magdalene seputar sikap mereka terhadap sosok-sosok yang pernah mereka idolakan dan terjerat skandal.
Elma
Sebagai salah satu penggemar favorit manga Kenshin Himura, pas saya tahu kalau mangakanya ditangkap atas kasus kepemilikan video pornografi anak, sebagai seorang penyintas yang mengalami kekerasan seksual saat kecil, ini jadi tamparan besar. Saya merasa terkhianati karena anime Kenshin sejujurnya adalah salah satu anime favorit saya semasa kecil.
Bagi saya, pelaku kekerasan seksual enggak pantes cuap-cuap dan bikin cerita soal keadilan, tapi masih melecehkan dan merendahkan perempuan.
Sekarang ini saya sudah setop mengonsumsi karyanya, waktu film terakhirnya keluar pun saya enggak milih nonton. Tapi, saya enggak nyuruh orang untuk ikutin saya, sih. Kalau teman saya masih ngikutin dia, saya fine-fine aja.
Aurel
Dari SD aku suka banget sama James Franco karena karakternya sebagai Harry Osborn di Spiderman. Enggak sampai mengidolakan, tapi cukup mengagumi. Tahun 2018, dia diduga melakukan pelecehan seksual ke lima perempuan, termasuk siswanya di sekolah akting, dan menggunakan abuse of power.
Dari situ aku langsung hilang respect sama dia, dan enggak pengin nonton film-filmnya lagi. Ditambah lagi karena caranya menanggapi isu ini waktu jadi guest star di The Late Show With Stephen Colbert.
Dia bangga mengambil tanggung jawab atas apa yang dilakukan, dan kalau terbukti berbuat kesalahan pasti dia mau memperbaikinya, tapi menurutnya yang ramai dibicarakan di Twitter (re: kasusnya) itu enggak benar.
Pernah penasaran sama salah satu filmnya, Why Him?, jadi nonton lagi. Tapi sepanjang adegannya di film, mikirnya cuma, “Ini orang red flag banget." Menurutku aktor yang kelakuannya kayak James ini enggak perlu dapat spotlight lagi di industri film maupun pemberitaan media (kecuali bahas kasusnya), karena berpotensi bikin lingkungan kerjanya enggak nyaman dan merasa in danger.
Terlebih dia enggak pernah mengakui kasus itu sebagai kesalahannya. Awal tahun ini dia setuju bayar sejumlah uang buat menyelesaikan gugatan itu, tapi menurutku itu dilakuin buat membersihkan namanya aja.
Selma
Aku suka banget sama U2 dari kecil sampai sekarang. Tapi, waktu Bono tersandung kasus bullying dan pelecehan seksual, aku jadi merasa kurang etis buat tetap mendengarkan karya-karya dia. Dilematis banget sih, di satu sisi karya-karya dia dan U2 betul-betul sesuai seleraku, udah jadi bagian lain dari hidup juga kali, ya. Tapi di sisi lain, dengan dia melecehkan seorang perempuan, menurutku sama aja dengan dia melecehkan semua perempuan dan menunjukkan cara pandangnya yang seksis dan tidak mengakui otoritas diri perempuan maupun manusia.
Ketika dengerin musiknya, aku emang cuma dengerin musiknya. Sama sekali enggak menganggap dia sebagai seseorang yang harus di look-up, dikagumi, atau lainnya. Intinya jadi terpisah aja sih antara musik dia sama diri dia sebagai manusia. Yang aku nikmati cuma yang pertama. Aku gak ada kendala memisahkan dua hal itu karena sejak awal, aku melihat band/sosok tersebut sebagai musisi yang karyanya bagus, bukan panutan hidup.
Valen
Dulu, aku suka banget sama Kim Jisoo karena dia salah satu aktor yang sering dapat peran sad boy. Nah, pas dia terjerat kasus bullying terus dituduh jadi pelaku sexual assault (walaupun enggak terbukti) dan dikeluarin dari drama, aku jadi mikir ulang soal dia.
Sebenarnya aku seneng sih dia kena cancel karena kalau mereka melakukan suatu tindakan yang merugikan orang lain, aku rasa mereka harus bayar setimpal juga. Dan kalo di Korea udah kena skandal gitu biasanya akan lama dia muncul di TV lagi. Jadi, aku belum tau gimana perasaanku nantinya kalau dia muncul di TV. Sepertinya aku akan jadi salah satu yang enggak nonton dia, sih.
Comments