Miskin, bercerai dengan suami, dan membesarkan anak seorang diri, Rohimah terpaksa harus menjadi pekerja rumah tangga (PRT). Pekerjaan itu ia layani dengan suka cita, terlebih ketika semua berjalan lancar pada mulanya. Namun, kondisi ini tak bertahan lama setelah bekerja di rumah Yulio Kristian (29) dan Loura Francilia (29) di Perumahan Bukit Permata, Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat.
Dilansir dari Kompas dan Detik.com, selama bekerja di rumah mereka, perempuan asal Garut itu disiksa. Wajah, tangan, bahkan punggungnya dipukul berkali-kali jika ia melakukan kesalahan sepele. Tak cuma dengan tangan kosong, tetapi juga perabotan rumah tangga, dari panci, teflon, hingga sepatu.
Tak cuma tersiksa fisiknya, Rohimah juga tak diberi upah adil oleh Yulio dan Loura. Janji upah Rp2 juta per bulan itu disunat Rp500 ribu, dan jumlahnya semakin berkurang setiap ia melakukan kesalahan.
Rohimah tak sendiri. Magdalene menuliskan selama kurun waktu 2012-2019, Jaringan Nasional untuk Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) mencatat, ada lebih dari 3.219 kasus kekerasan PRT. Mereka mengalami kekerasan psikis (isolasi dan penyekapan), fisik, ekonomi (penahanan dokumen pribadi, gaji tidak dibayar, gaji karena sakit, tidak dibayar THR), dan perdagangan orang.
Berdasarkan survei International Labour Organization (ILO) pada 2015, mayoritas PRT adalah perempuan (84 persen). Mereka menjadi kelompok yang cukup rentan mengalami kekerasan. Di antara kekerasan itu berupa jam kerja panjang, beban kerja yang berat, tidak memiliki kejelasan waktu istirahat, libur mingguan, atau cuti. Terlebih lagi mereka juga tidak mendapatkan jaminan sosial bahkan dilarang untuk berserikat.
Baca Juga: KUPI 2 Diadakan: Ulama Perempuan Internasional Berkumpul di Semarang dan Jepara
Bagaimana Islam Memandang Ini?
Mengingat banyaknya kerentanan di negara yang mayoritas dihuni umat Muslim ini, muncul satu pertanyaan. Bagaimana sebenarnya Islam memandang PRT? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Kiai Abdullah Aniq Nawawi memberikan penjelasan dalam diskusi KUPI II bertajuk “Merumuskan Strategi Bersama untuk Percepatan Pengesahan RUU PPRT” di Jawa Tengah beberapa waktu lalu.
Pertama, dalam fiqh Islam sebenarnya PRT disebut sebagai al-ajir al-khos atau seorang pekerja profesional dengan kemampuan khusus. Konsekuensinya, mereka bekerja untuk orang atau perusahaan tertentu dengan akad atau batasan yang jelas dan wajib menerima upah ketika pekerjaannya dimulai. Karena itu, profesi PRT sebenarnya di mata agama Islam setara dengan profesi-profesi lain.
“Tidak ada perbedaan antara PRT dan pekerja bank, arsitek, bahkan dewan legislatif. Karena ditempatkan dalam posisi ini, maka dalam Islam sebenarnya pekerja rumah tangga itu tidak dilihat sebagai pekerja kelas dua. Mereka sama derajatnya dengan kita,” katanya.
Posisi yang setara ini diperkuat dalam penjelasan hadits riwayat Bukhari Muslim 2896. Diceritakan di sana, pada suatu ketika, ada sahabat Rasul bernama Sa’ad .r.a yang memandang dirinya memiliki derajat lebih tinggi dari dari budaknya (istilah budak familier untuk menyebut PRT). Ia langsung ditegur Rasul.
“Tidaklah kalian ditolong dan diberikan kecuali dengan sebab orang-orang lemah di antara kalian’ atau sederhananya, ‘Ketahuilah kalian itu bisa eksis karena dhuafa’ yang dalam konteks ini adalah pekerja rumah tangga. Jadi sesungguhnya Allah menolong dan mengubah umat justru karena orang-orang yang kita anggap dhuafa,” jelasnya.
Hadits ini diperkuat kembali dengan analisis Ibnu Hajr. Ia bilang, Rasul tak hanya berterima kasih kepada PRT, tetapi secara tak langsung juga mengakui PRT adalah pahlawan bagi peradaban karena pekerjaannya membantu kemaslahatan.
Dalam riwayat Bukhari yang lain, Rasul juga kembali menunjukkan posisinya dalam mendukung hak-hak PRT. Misalnya ketika ada yang menghina budaknya, Rasul mengatakan dengan tegas, ''Janganlah seseorang kamu memanggil budak dengan panggilan budakku, hendaklah memanggilnya dengan sebutan pemudaku atau pemudiku. Saudara kalian adalah budak kalian.”
Perkataan Rasul, imbuh Kiai Abdullah, menjadi penegasan bahwa relasi antara pekerja dan pemberi kerja adalah ukhuwah atau persaudaraan. “Ikhwanul Qouluhu, Ikhwan itu saudara, Qouluhu itu pekerja rumah tangga. Relasi yang setara antarsesama manusia, bukan relasi yang timpang,” ujar dia lagi.
Karena kesetaraan inilah, PRT berhak mendapatkan pekerjaan atau tugas yang sesuai dengan kemampuannya. Jika pemberi kerja terpaksa memberikan pekerjaan berat, maka diwajibkan atas mereka untuk membantu PRT. Terkait ini, Bukhari meriwayatkan hadist lain: “Janganlah kalian membebani mereka (budak), dan jika kalian memberikan tugas kepada mereka, bantulah mereka.”
Masalahnya, pemahaman tentang hak-hak PRT kini masih tidak populer lantaran masuk dalam fiqh muamalah di bab ijarah yang diambil dari kitab babul atau kitab kuno. “Sanking kunonya ya tidak dibaca banyak orang,” kata Kiai Abdullah.
Karena itu, perlu usaha besar dalam mengubah mindset banyak orang. Menurut Kiai Abdullah, itu bisa dilakukan jika ada konsolidasi dan kolaborasi kuat dari berbagai pihak. Kiai Abdullah menyarankan agar para jaringan KUPI mulai memperkenalkan pemahaman ini lewat materi pesantren. Hal ini dilakukan agar ada pemahaman mendasar tentang isu PRT sejak dini.
“Kekayaan teks agama ini tertimbun dan tak terangkat. Masalah peradaban itu lintas batas dan kita harus mengakui ini sebagai sebuah masalah yang perlu solusi dan pendekatan. Karena itu, menurut saya kita semua perlu bergerak. Caranya adalah memasukkan isu PRT ke kurikulum. Hal yang kebetulan sudah saya praktikkan di pondok pesantren yang saya kelola di Gorontalo,” terangnya
Baca juga: Ulama Perempuan Tolak Kekerasan Seksual, Pernikahan Anak, dan Perusakan Alam
Urgensi RUU PRT
Adakah solusi lainnya?
Jika jawaban ini ditujukan kepada para aktivis dari kelompok masyarakat sipil, jawabannya adalah mempercepat pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT (RUU PRT). Ini menjadi payung hukum penting untuk menjamin dan melindungi para PRT yang rentan. Sayangnya, sejak 2004, RUU PRT mangkrak.
Satu-satunya “benteng” sementara bagi PRT untuk meningkatkan posisi tawar mereka adalah Peraturan Menaker Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Ini saja tak cukup karena Peraturan Menteri umumnya bersifat terbatas pada pengakuan, dan belum menyentuh perlindungan hukum yang lebih substantif dan mengikat.
Lalu apa sebenarnya yang membuat RUU PRT ini begitu sulit disahkan? Dalam diskusi KUPI II, Luluk Nur Hamidah, anggota DPR RI menjelaskan, RUU ini hanya dianggap mewakili satu kelompok masyarakat saja, warga kelas bawah. Berbeda dengan UU Tindak Pencegahan Kekerasan Seksual (TPKS) yang hampir mewakili semua lapisan masyarakat Indonesia dari ragam kelas sosial.
Hal ini kemudian membuat banyak orang tidak relate, dan buat sebagian majikan justru dianggap sebagai ancaman. “Apalagi RUU itu akan memberikan wadah bagi para PRT untuk berserikat. Ini yang mereka (majikan) khawatirkan. Mereka sudah membayangkan PRT ini ngumpul, berserikat, demo secara kolektif mengadvokasi hak-hak mereka sendiri. Ini yang dilihat akan mengancam stabilitas dunia usaha, investasi, dan industri keseluruhan,” ujar Luluk.
Ari Ujianto, pegiat dari Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) punya pendapat berbeda. Sebagai seseorang yang bekerja di akar rumput, pemberi kerja ternyata tak hanya berasal dari kelas menengah atas tetapi dari kelas menengah bawah.
“Di daerah saya, Tangerang, buruh punya PRT. Artinya jika RUU PPRT ini disahkan, yang menolak banyak sekali karena segala privilese mencakup kenyamanan dan kepentingan mereka akan terusik,” tegasnya.
Privilese ini pun menurut Ari hadir karena secara tidak sadar kita telah dibentuk untuk menyepelekan pekerjaan PRT. Istilah seperti babu, jongos, pembantu mengimplikasikan PRT sebagai profesi yang tidak setara dengan pekerjaan lain. Hal ini pun menurut Ari juga diperparah dengan bagaimana penggambaran PRT sebagai pihak pasif, yang dilanggengkan media.
“Lihat aja lah itu di sinetron kita, PRT kalau enggak jadi pembantu seksi ya jadi peran yang suka dimaki-maki, digoblok-goblokin. Itu termasuk kekerasan psikis tapi dilanggengin sama media. Kita ini dibentuk oleh media yang mendiskreditkan PRT,” tukas Ari.
Baca juga: Konferensi Internasional KUPI II: Teguhkan Eksistensi Ulama Perempuan
Luluk di sisi lain menambahkan, RUU PPRT mangkrak karena masih banyak anggota DPR tak memandang PRT sebagai pekerjaan berisiko. Padahal menurutnya PRT adalah kelompok yang paling rentan mengalami kecelakaan kerja karena mereka mengisi ruang-ruang privat yang tak terjangkau oleh publik.
“Kasus penyiksaan PRT itu satu hal. Kita juga tahu pas pandemi, PRT jadi sangat rentan. Mereka dipaksa mengurus anggota keluarga yang sakit. Mengungsi di tempat lain (pemberi kerja) padahal mereka tahu PRT punya risiko tinggi tertular. Pekerjaan berisiko ini yang tidak dihitung. Tidak dilihat sumbangannya ke GDP (pendapatan) negara.”
Lalu apa solusi versi mereka? Ari usul agar organisasi dan gerakan-gerakan mahasiswa bisa memulai menggaungkan isu ini di lingkungan kampus sembari menggandeng teman-teman PRT akar rumput. Luluk menawarkan solusi dengan terus mengawal RUU PPRT dan melakukan kolaborasi dengan gerakan akar rumput agar terus lanjut dibahas dalam parlemen. Buat kita, setidaknya bisa dengan satu langkah sederhana: Hargai PRT sendiri di rumah, manusiakan, dan penuhi hak-hak mereka.
Comments