Di era yang serba canggih saat ini, mengedit foto untuk terlihat lebih menarik semakin mudah dilakukan. Kamu cukup mengunggah aplikasi kamera dengan efek-efek kecantikan dan foila wajahmu bisa tirus, pipimu bisa ada freckles kekiniannya, bahkan wajah yang banyak jerawat bisa mulus dengan cara instan.
Kecanggihan ini sekilas tidak terlihat membahayakan, ya namanya juga aplikasi buat senang-senang. Namun, ternyata akibat dari teknologi ini pandangan kita terhadap standar kecantikan dalam masyarakat pun berubah.
Secara tidak sadar kita malah nggak bisa lepas dari filter kamera, kayaknya kalau nggak pakai filter ada rasa-rasa kurang di foto kita. Terkadang kita jadi malas buat update selfie sebab tidak percaya diri dengan wajah kita.
Salah satu hal mendasar yang melatar belakangi tidak pede-nya kita ketika mengunggah swafoto tanpa filter, sebab di dalam masyarakat terdapat ‘standar kecantikan’ yang sering digaungkan dalam media massa. Standar kecantikan tersebut membentuk cara pandang masyarakat bahwa yang cantik itu adalah yang putih, berbadan langsing, berambut panjang, dan hal tidak realistis lainnya.
Kenapa bisa seperti ini ya?
Di dalam podcast FTW Media episode “(Un) Filter Me” Magdalene mewawancarai L. Ayu Saraswati, Profesor Kajian Wanita di Universitas Hawaii soal standar kecantikan di media sosial. Ia mengatakan memang di dalam masyarakat masalah pemakaian filter kecantikan seperti ini masih dianggap sebagai hal-hal remeh, padahal justru di sini budaya patriarki dilangsungkan.
“Budaya kecantikan itu kan menyangkut praktek-praktek kecantikan juga contohnya, ada kosmetik yang khusus buat perempuan, tapi enggak ada tuh yang untuk laki-laki. Nah di sinilah terlihat patriark menguasai perempuan,” ujar Ayu.
Ayu menambahkan standar kecantikan tersebut juga membuat keunikan-keunikan dari diri seseorang menghilang. Padahal, sebelumnya di dalam masyarakat ada beragam warna kulit, bentuk wajah, dan hidung, akan tetapi, akibat dari standar kecantikan tersebut perempuan dituntut menjadi sama.
“Menjadi masalah ketika kita ingin jadi sama dengan orang lain jadi kita malah enggak menghargai diri kita sendiri,” ujar Ayu.
Ayu juga menjelaskan mengapa banyak orang yang tidak menyadari betapa berbahayanya fenomena ini adalah fenomena ini bergerak dari ruang-ruang rasa yang dibentuk dari unsur kekuasaan atau sesuatu yang berkuasa.
“Contohnya ketika kita lagi berkaca terus kita merasa ‘duh kok gue jelek ya’. Stop di situ, kita perlu kritisi perasaan ini datengnya darimana sih? Dari iklan, film atau sinetron. Dari media massa itu kan ada standar kecantikan yang dibentuk. Gara-gara hal tersebut kita dibelenggu oleh perasaan kita,” kata Ayu.
Standar kecantikan dan opresi terhadap perempuan
Standar kecantikan yang membumi dalam masyarakat juga menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan. Saya jadi ingat salah satu film Tiongkok berjudul “The Truth About Beauty” yang memperlihatkan betapa opresif-nya standar kecantikan terhadap perempuan.
Dalam film tersebut Guo Jing (Bai Baihe) seorang perempuan muda yang baru saja lulus dari kampusnya dengan nilai yang tinggi. Walaupun otaknya cerdas, ketika ia melamar kerja, lamarannya selalu ditolak sebab penampilannya yang jauh dari standar cantik warga Tiongkok. Rambutnya keriting, ia memakai kacamata, dan wajahnya tidak lancip. Ia bahkan rela pergi ke dokter kecantikan ‘abal-abal’ untuk merekonstruksi wajahnya.
Beberapa kali ke dokter kecantikan akhirnya Guo Jing mendapatkan wajahnya yang sempurna menurut standar kecantikan, tantangannya enggak sampai di situ saja, ia pun juga harus mati-matian menyembunyikan fakta bahwa ia telah melakukan operasi karena gebetan-nya yang baru enggak suka perempuan yang berbohong soal penampilannya.
Fenomena seperti ini enggak cuma eksis di serial drama atau film saja, faktanya dalam realitanya banyak perempuan yang mengalami diskriminasi sebab ia berpenampilan tidak sesuai dengan standar kecantikan masyarakat. Salah satunya bisa kita lihat dalam dunia profesional, seperti lowongan kerja dengan kriteria berpenampilan atraktif, tinggi badan maksimal 170, usia maksimal sekian, dan diskriminasi lainnya. Adanya diskriminasi-diskriminasi seperti ini yang membuat perempuan menjadi terbelenggu dalam kungkungan standar kecantikan tidak realistis.
Efek jangka panjang beauty filter
Beauty filter memang asyik banget digunakan apalagi untuk senang-senang, tetapi efek jangka panjangnya juga bikin kita gelang-geleng kepala. Kami berkesempatan untuk ngobrol-ngobrol bersama dengan psikolog, Kasandra Putranto, ia mengatakan bahwa semakin tinggi kebutuhan kita akan filter hal ini bisa jadi mengindikasikan sebuah kondisi psikologi yaitu body dysmorphic disorder.
“Ada gangguan di mana ia tidak merasa percaya diri dengan kondisi tubuhnya, dalam hal ini wajahnya. Karena orang-orang tidak puas dengan kondisi wajahnya bukan karena masalah fisik tetapi lebih kepada kondisi psikologisnya,” ujar Kasandra.
Fenomena ini ternyata terjadi di mana-mana. Dikutip dari The Guardian, menurut penelitian dari jurnal kesehatan JAMA facial plastic surgery, filter kecantikan di kamera mengaburkan garis antara realitas dan fantasi yang memicu Body Dysmorphic Disorder (BDD). BDD merupakan sebuah kondisi mental di mana orang terpaku pada imajinasi bahwa selalu ada yang kurang atau cacat dari tubuh mereka.
Survei lain yang dilakukan oleh Girl Guiding menemukan sepertiga perempuan tidak akan mengunggah swafoto-nya tanpa filter sebab kurang pede dengan wajahnya. Mengutip BBC, survei menemukan remaja usia 11-21 tahun merasa kesal karena tidak memiliki penampilan seperti yang mereka lihat di media Kasandra juga mengatakan
Nah, di sini Kasandra juga mengingatkan peran orang tua penting juga dalam membentuk cara pandang anak agar ia lebih mementingkan prestasi akademik atau non-akademik ketimbang menilai hidup dari pembahasan soal penampilan saja.
Apa yang bisa kita lakukan
Hidup tanpa filter memang agak susah-susah gampang karena kita sudah terbiasa dengan ‘kenormalan’ cantik natural ala filter. Tetapi, kata L Ayu Saraswati walau susah bukan berarti kita hopeless banget kok. Ia mengatakan untuk melawan standar kecantikan itu bisa dimulai dari hal-hal kecil seperti, berhenti mengomentari penampilan teman dengan kalimat “wah lo kurusan ya diet ya?” atau “wah kulit lu jadi putih gini, rahasianya apa beb?”
Berkaitan dengan media sosial kita bisa memulai un-follow akun-akun toksik yang malah membuat rasa percaya diri kita malah turun. Di dalam penelitian yang dilakukan oleh Rachel Cohen, perempuan yang melihat konten tubuh positif merasa lebih puas dengan tubuh mereka, dan semakin mengapreasiasi keunikan dan kesehatan tubuh mereka. Sebaliknya, ketika mereka melihat konten bertubuh ideal di Instagram mereka memiliki Citra tubuh dan Monod yang lebih negatif.
Nah, untuk memulai langkah kecilnmu, kamu bisa mengikuti akun model Lou Northcote, yang berkampanye lewat tagar #freethepimple pada 2019 lalu. Ia mengunggah foto diri tanpa filter dan memperlihatkan wajahnya yang sedang berjerawat. Kampanye ini berhasil menginspirasi banyak perempuan di seluruh dunia antuk berani tampil pede dan meningkatkan hubungan mereka dengan kulit mereka sendiri.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments