Women Lead Pendidikan Seks
September 20, 2022

Ada Bias Gender di Balik Istilah ‘Alpha Female’

Banyak artikel dan buku berisi panduan kencan hingga meniti karier buat alpha female. Namun, tak banyak yang tahu, istilah itu sendiri cukup problematik.

by Jasmine Floretta V.D., Reporter
Issues // Feminism A-Z
Di Balik Istilah Alpha Female
Share:

Apakah kamu pernah merasa harus menjadi seorang alpha female? Jika jawabanmu iya, wajar-wajar saja. Sebab, alpha female selalu dilekatkan dengan citra perempuan dominan, aktif, mandiri, percaya diri, dan cerdas. Mereka tergambarkan melalui para perempuan pemimpin, CEO,atau politikus. Dalam budaya populer, perempuan alfa juga diwakili oleh karakter-karakter badass macam Wonder Woman atau Captain Marvel.

Keinginan perempuan untuk jadi alpha female bisa terlihat dari bagaimana hasil pencarian Google dengan kata kunci “Guide to be alpha female” yang mencapai total 142.000.000 per (20/9). Berbagai artikel bahkan buku yang menyajikan panduan menjadi alpha female relatif laku keras. Tema yang diangkat pun beragam. Mulai dari panduan atau tips berkencan alpha female, menjalin ikatan pernikahan, hingga panduan untuk meniti karier.

Di Indonesia sendiri, istilah ini juga tak kalah beken. Salah satu penulis Indonesia Henry Manampiring yang terkenal karena bukunya Filosofi Teras, sampai menerbitkan buku The Alpha Girl's Guide: Menjadi Cewek Smart, Independen, dan Anti Galau. Buku ini sesuai prediksi, laris manis tanjung kimpul.

Baca Juga: Egois, Manja, dan Kesepian: Mitos-mitos tentang Sifat Anak Tunggal

Kapan Istilah Alpha Lahir?

Kendati penggambaran terhadap alpha female terkesan positif, nyatanya kemunculan istilah ini cukup problematik. Alpha female diadopsi dari cabang Ilmu Hewan atau Zoologi, yang cukup seksis. Charles Darwin dalam The Descent of Man, and Selection in Relation to Sex (1871) bilang, orang-orang kerap membedakan seleksi seksual lelaki dan perempuan seperti analogi hewan.

Laki-laki, kata Darwin, memiliki pemikiran yang mendalam, alasan, imajinasi, dan penggunaan indera yang lebih unggul. Hal ini ia lihat dari bagaimana hewan jantan, termasuk serigala secara sosial jauh lebih dominan ketimbang betina. Mereka memimpin kelompok, berburu makanan, mencari pasangan, membuahi hewan betina, dan bertarung dengan sesama pejantan lain untuk menegaskan teritorinya. Ini sejalan juga dengan buku The Wolf: Ecology and Behavior of an Endangered Species karya David Mech, pendiri Pusat Serigala Internasional.

Dilansir dari Science Norway, bukunya ini membantu mempopulerkan konsep alpha di berbagai literatur dan budaya populer. Namun ternyata, usai menerbitkan buku itu, Mech mencatat studi lanjutan tentang serigala di alam liar menunjukkan model alpha sudah sangat old school. Ia bahkan sudah berulang kali meminta penerbit untuk berhenti menerbitkan bukunya karena menimbulkan miskonsepsi.

Dalam hemat dia, penelitiannya dahulu dibuat berdasarkan koloni serigala domestik, bukan serigala liar. Berbeda dengan anggapan masyarakat pada umumnya sekarang, kawanan serigala tidak pernah memiliki model alpha dengan serigala jantan sebagai pemimpin kawanan mereka.

Di alam liar, anggota utama kawanan adalah keluarga. Secara harfiah. Kawanan ini terdiri dari orang tua dan anak-anaknya. Pemimpin kawanan adalah orang tua, baik itu serigala jantan atau betina dewasa. Mereka inilah yang menetapkan wilayah mereka dengan menandai area hutan yang luas dengan aroma mereka, kemudian berpatroli dan mempertahankan wilayah mereka dari penyusup.

Sayangnya, dinamika ini tak dibicarakan, dan model alpha tetap populer. Sampai pada awal 1990-an ketika beberapa media mulai menggunakan istilah alpha untuk menyebut laki-laki "jantan" yang unggul dalam bisnis.

Baca Juga: 5 Karakter Pemimpin Perempuan dengan Tipe Maskulin di Sinema

Bias Gender dalam Penggunaan Istilah Alpha Female

Dalam penelitian Alpha Female Representation as Ideal Women in Henry Manampiring's the Alpha Girls Guide (2017) dijelaskan, konsep ini melanggengkan kesalahan bias gender yang cukup fatal.

Pertama, karakteristik seperti mandiri dan tekun dapat dimiliki siapa pun terlepas dari gendernya. Ia dilekatkan kepada laki-laki karena masyarakat yang memilih menerapkannya. Sebaliknya, perempuan dirasa perlu diberdayakan tetapi lewat hal-hal yang tak terlepas dari sifat-sifat dan peran gender yang justru membuat mereka terkekang terus. Jika perempuan mau dihargai, ya mereka harus bisa tampil dan berperilaku seperti lelaki: Jantan, maskulin. Seperti kata Clare Longrigg, jurnalis The Guardian dalam artikelnya. Perempuan dikatakan alpha jika ia berubah total menjadi maskulin dan meninggalkan feminitasnya. Feminitas cuma akan membuat mereka terlihat lebih lemah, tak berdaya, atau tak lebih kompeten dengan laki-laki.

Hal inilah yang jadi masalah karena perempuan lagi-lagi tidak dilihat sebagai individu yang punya agensi penuh atas dirinya sendiri. Dalam buku The Alpha Girl`S Guide: Menjadi Cewek Smart, Independen, dan Anti Galau misalnya, perempuan didorong untuk jadi lebih dominan dan aktif dengan cara bekerja dan menginisiasi suatu hal.

Namun, pada kenyataannya, tak semua perempuan nyaman atau mau memilih untuk menjadi individu seperti itu. Mereka dipaksa untuk tak jadi diri mereka sendiri, memilih menjalani suatu hal yang sebenarnya tak berlaku pada diri, hanya agar mereka dapat dilihat lebih “berdaya”.

Baca Juga: Kurang Merasa Jantan? Jangan Salahkan Perempuan

Selama kita terus mengasosiasikan alpha female sebagai perempuan ideal dengan fitur maskulin, maka perempuan akan lebih rentan mengalami ketidakadilan gender. Mereka akan terus-terus dilihat diabaikan kompetensi dan kualitasnya dengan laki-laki yang dinilai secara lahiriah punya sifat-sifat maskulin.

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.