Mainkan newsgame selengkapnya di sini, dan selami langsung pengalaman menarik mereka yang nikah muda.
Selama kurang lebih tujuh tahun, “Abiya”, seorang perempuan yang memutuskan menikah saat berusia 18 tahun, berusaha bertahan dalam rumah tangga bersama “Roby”, laki-laki yang melakukan kekerasan kepadanya.
Abiya tidak hanya menerima kekerasan fisik, suaminya itu senang berselingkuh, bahkan membawa kekasih gelapnya ke rumah. Hal ini Roby lakukan ketika Abiya sibuk membanting tulang untuk membantu memenuhi kebutuhan pokok keluarganya.
Hal serupa terjadi pada “Indira”, yang memimpikan keindahan pernikahan muda lantaran melihat anggota keluarganya juga ada yang menikah muda dan bahagia. Kenyataannya, ia justru menerima kekerasan dari suaminya, yang tak segan memukul, menarik paksa, melempar barang-barang di rumah, berteriak, dan berselingkuh.
Baca Juga: Kasus KDRT Meningkat Namun Rumah Aman Terbatas
Jika melihat peristiwa yang dialami Abiya dan Indira dari aspek psikologis, psikolog anak dan keluarga Anna Surti Ariani menjelaskan, pemicu pertengkaran dan ketidakstabilan hubungan dapat disebabkan oleh kemampuan berelasi yang belum matang. Pun, pengaturan emosi yang kurang baik dalam menyelesaikan masalah.
“Seringkali, kemampuan pasangan [usia muda] mencari solusi dari permasalahan itu masih terbatas. Makanya, pasangan cenderung melihat sedikit opsi penyelesaian dan tidak bisa memikirkan cara lain. Yang terpikir hanya meledakkan emosi,” jelasnya.
Oleh karena itu, persiapan psikologis sebelum menikah di usia muda perlu dipastikan sudah mencakup kemampuan kognitif, berkomunikasi, mengelola emosi, dan keterampilan sosial. Keempatnya saling berkaitan satu sama lain dalam membina hubungan rumah tangga. Apabila kemampuan tersebut belum terpenuhi, pernikahan yang memiliki banyak pertengkaran, akan rentan terhadap perceraian dan berdampak pada anak.
Baca Juga: KDRT Bukan Hanya Fisik, Perceraian Jalan Terbaik
“Seseorang yang berusia 18-21 tahun masih labil, mood-nya enggak bisa diprediksi, jadi dalam berelasi akan membingungkan,” ujar Anna.
Ia menjelaskan, hal itu disebabkan area prefrontal korteks pada otak yang memproses cara seseorang berpikir dan bertindak rasional belum matang sepenuhnya.
“Nantinya anak akan menjadi korban jangka panjang dari KDRT dan perceraian orang tuanya, akibat orang tua belum matang untuk menikah,” imbuh Nina.
Jika orang tua yang memegang hak asuh anaknya kembali menikah, ada kemungkinan peristiwa serupa terulang lagi. Akibatnya, anak cenderung merasa tidak aman dan ketidakstabilan emosional orang tuanya akan mempengaruhi tumbuh kembangnya. Ia pun akan menganggap pertengkaran dan kekerasan sebagai cara penyelesaian konflik rumah tangga, baik secara verbal maupun secara fisik.
Baca Juga: Aturan Perlindungan UU PKDRT Belum Beri Keamanan Bagi Korban
Tidak hanya anak yang terkena imbas dari konflik rumah tangga pasangan, orang tua mereka pun juga mau tidak mau mengambil tanggung jawab yang tidak bisa diemban pasangan saat berkonflik. Tak jarang orang tua pasangan dititipkan atau mengambil alih pengasuhan cucu-cucunya ketika ayah dan ibu sang cucu mencari nafkah dan berusaha menyelesaikan urusan rumah tangganya, sebagaimana dilakukan Indira dan Abiya.
Proyek jurnalistik ini didukung oleh International Media Support.
Comments