Women Lead Pendidikan Seks
May 12, 2022

Afghanistan hingga Korut, 4 Negara yang Atur Pakaian Perempuan

Selain Taliban yang memerintahkan perempuan memakai burka, sejumlah negara lain juga masih mengatur cara berpakaian perempuan.

by Aurelia Gracia, Reporter
Issues
gaya berpakaian perempuan di berbagai negara
Share:

Secara resmi, Taliban mewajibkan perempuan yang ke luar rumah untuk mengenakan burka tertutup hingga area mata.  Pernyataan itu dilayangkan Hibatullah Akhundzada, pemimpin Taliban, lewat Kementerian Penyebaran Kebajikan dan Pencegahan Kejahatan dalam konferensi pers di Kabul, Afghanistan. Tak tanggung-tanggung, jika menolak, pekerja perempuan terancam kehilangan pekerjaan. 

Bahkan, peraturan tersebut tidak hanya ditekankan pada perempuan, tetapi juga laki-laki yang berperan sebagai wali perempuan, seperti ayah, suami, dan saudara kandung. Mereka wajib mengingatkan perempuan untuk mengenakan burka. Jika terlewat sekali, konsekuensinya adalah menerima peringatan. Terlewat dua kali dipanggil oleh pejabat Taliban, dan untuk kesekian kali, mereka bisa dipenjara selama tiga hari, tulis Voice of America (VOA).

Di mata Taliban, hijab adalah pakaian terhormat, sehingga wajib dikenakan. Burka sendiri sangat disarankan karena telah jadi bagian dari budaya Afghanistan sejak lama. Padahal dalam Islam, burka sebenarnya tak wajib-wajib amat, selama perempuan tetap menutup aurat, dan tidak mengekspos tubuh akibat pakaian terlalu ketat atau tipis.

Kebijakan Taliban dalam mengatur gaya berpakaian perempuan, merupakan contoh perampasan hak berekspresi, beragama, dan privasi, serta menghapus identitas diri.

Pasalnya, perempuan menerima tekanan yang menciptakan perasaan tidak nyaman, karena bertentangan dengan keinginan pribadi. Dalam laporannya, Human Rights Watch (HRW) menyebutkan, aturan tersebut adalah serangan terhadap kesetaraan gender. Dengan kata lain, perempuan semakin kehilangan otoritasnya untuk bergerak dengan merdeka.

Masalahnya, Afghanistan bukan satu-satunya negara yang mengatur gaya berpakaian perempuan hingga detik ini. Magdalene merangkum beberapa negara lain, yang mengambil alih otoritas perempuan atas tubuhnya lewat busana yang dikenakan.

Baca Juga: Sejarah Celana: Simbol Penting Gerakan Perlawanan Perempuan

1. Gaya Berpakaian Perempuan Korea Utara

Busana menjadi hal paling mencolok yang menandai afiliasi politik penggunanya. Di negara yang diperintah Kim Jong-un tersebut, perempuan tidak dapat mengenakan celana panjang dengan bebas. Potongan celananya harus sangat longgar, dan hanya diperkenankan dipakai saat berada di kota.

Song Eun-byul, warga Korea Utara mengungkapkan kepada The Guardian, “Aku harus mengenakan rok atau gaun tradisional Korea, sebelum pergi ke pusat kota.”

Selain celana panjang, terdapat larangan menggunakan sepatu boots. Ketika memakai sepatu barunya, Song yang sedang berjalan kaki dihentikan petugas. Umumnya, teguran pertama diberikan dengan memarahi si pelanggar, tapi yang terburuk adalah melayangkan kerja paksa.

Radio Free Asia menambahkan, Youth League—organisasi pemuda di Korea Utara, melarang perempuan di usia 20 hingga 30 tahun memiliki rambut panjang sampai ke pinggang, mengecatnya dengan warna cokelat, dan mengenakan pakaian yang bertuliskan kata-kata asing.

Jika tertangkap ketika patroli dilakukan, mereka akan dibawa ke kantor organisasi tersebut untuk menulis surat pengakuan tindakan kriminalnya, lalu menghubungi keluarga untuk membawakan pakaian yang pantas dikenakan, sebelum dibebaskan.

Dalam pidatonya, Kim Jong-un sendiri mendeskripsikan gaya berpakaian dan potongan rambut sebagai “racun berbahaya.” Pemerintahannya melakukan pembatasan, karena mengkhawatirkan invasi ideologi budaya, lewat berbagai hal yang diadaptasi dari negara lain.

Hal itu dipandang mengancam berkurangnya ketertarikan terhadap negara sendiri. Alhasil, pemerintah Korea Utara mengontrol gaya berpakaian untuk mencegah itu terjadi.

Baca Juga: Menilai Orang Lain dari Apa yang Mereka Kenakan Berarti Tak Religius

2. Arab Saudi

Baik warga lokal maupun orang asing, Arab Saudi sempat melarang keras perempuan menampilkan sedikit pun bagian tubuhnya, dan menilainya sebagai tindakan kriminal. Perbedaannya terletak pada jenis pakaian yang dikenakan.

Di awal 2000-an, perempuan muslim wajib mengenakan nikab dan abaya—jubah panjang berwarna netral. Kemudian aturan itu berubah pada 2010, ketika ada opsi lain untuk mengenakan abaya berwarna biru, burgundy, dan hijau.

Begitu pun dengan turis perempuan yang sebelumnya perlu mengenakan abaya. Namun, aturan itu kini lebih cair, sejak Putra Mahkota Mohammed bin Salman ingin meningkatkan pariwisata di Arab Saudi pada 2019.

Perempuan memiliki sejumlah alternatif pakaian, seperti jumpsuit untuk olahraga, kimono, dan jubah yang memberikan tampilan resmi bagi penggunanya.

Sementara, perempuan asing dapat memakai mantel panjang, tanpa sehelai kain yang menutupi kepala. Yang dilarang, adalah rok pendek, celana ketat, dan atasan yang mengekspos bagian tubuh karena akan menarik pandangan negatif dari masyarakat.

Kendati demikian, sejumlah masyarakat menganggap kebebasan berbusana itu tepat untuk dilakukan.

Di Wall Street Journal, Maram Mohammad, warga Arab Saudi bilang, abaya berwarna selain netral tidak pantas dan terlalu mencolok. Menurutnya, abaya hitam dengan penutup kepala dan wajah adalah representasi yang tepat untuk Arab Saudi.

“Sayang sekali kami kehilangan itu,” katanya.

3. Gaya Berpakaian Perempuan Uganda

Sejumlah peraturan ketat mengatur perempuan di Uganda dalam berpakaian. Mulai dari dilarang memakai rok atau gaun di atas lutut, pakaian tanpa lengan, blouse atau gaun transparan, serta pakaian yang menampilkan belahan dada, lutut, pusar, dan punggung.

Melansir BBC, direktur sumber daya manusia di Kementerian Layanan Umum Adah Muwanga menjelaskan, aturan itu diperlukan karena ada keluhan dari sejumlah laki-laki yang menilai, bagian tubuh harus ditutup.

Tentu alasan utamanya untuk mencegah kekerasan seksual. Bahkan penggunaan rok mini di kantor dianggap bentuk pelecehan seksual terhadap rekan kerja laki-laki. Begitu juga dengan pakaian lainnya yang perlu dicoret, karena secara sengaja menarik perhatian.

Padahal, perempuan tidak memiliki tanggung jawab untuk mengontrol hasrat seksual laki-laki. Lagi pula, bukan berarti mengekspos bagian tubuh tertentu bukan berarti mereka objek yang berhak dilecehkan.

Di negara tersebut, diskriminasi terhadap gaya berpakaian perempuan terlihat dengan nyata. Yang dilakukan pemerintah dalam membuat kebijakan justru memberikan celah untuk menghukum dan mempertanyakan perempuan atas pakaiannya.

Seniman dan penulis Lindsey Kukunda menceritakan pengalamannya, ketika sejumlah laki-laki memanggilnya prostitusi, karena ia mengenakan celana pendek di pinggir jalan. 

Bukannya memberikan bantuan, polisi lalu lintas yang ia hampiri untuk melaporkan peristiwa tersebut, malah melihat penampilan Kukunda dari atas hingga bawah, kemudian mengatakan, “Bukannya itu yang kamu inginkan?”

Realitas tersebut menunjukkan bagaimana perempuan dibebankan atas objektifikasi dan seksualisasi, yang diberikan laki-laki terhadapnya. Pada 2014, Uganda justru mengeluarkan Undang-Undang Anti-Pornografi yang dikenal sebagai “undang-undang rok mini”.

Tentu, keberadaannya secara tidak langsung adalah dukungan bagi laki-laki untuk melecehkan perempuan. Namun, pada Agustus 2021, Mahkamah Konstitusi Uganda memutuskan, bagian kontroversial dalam undang-undang tersebut—yang melarang perempuan mengenakan rok mini—tidak konstitusional dan dibatalkan secara hukum. 

Selain pakaian, perempuan di Uganda juga menghadapi keterbatasan lainnya dalam berpenampilan. Mereka dilarang memiliki rambut berwarna cerah, berkuku panjang lebih dari tiga sentimeter, dan mengecatnya dengan warna cerah atau berwarna-warni.

Baca Juga: BTS ARMY: Perempuan Cuma Ingin Bebas Berekspresi

4. Indonesia

Meskipun tidak ada hukum yang mengatur busana perempuan secara umum seperti beberapa negara lain, tekanan untuk mengenakan pakaian yang mencerminkan sosok Islami tetap menekan perempuan di negara ini.

Aturan berhijab di sekolah, misalnya, yang diskriminatif dengan memaksa siswi non-muslim untuk berhijab, di Sekolah menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 2 Padang, Sumatera Barat beberapa waktu lalu.

Begitu juga dengan peraturan yang diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada 2014, mewajibkan penggunaan hijab sebagai bagian dari seragam sekolah negeri.

Namun, sewaktu menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh menekankan pada HRW, tidak pernah menyertakan kata “wajib” dalam peraturannya. Justru terdapat opsi untuk mengenakan dan tidak mengenakan hijab, saat para siswi berseragam sekolah.

Hanya saja, sejumlah sekolah menginterpretasikannya sebagai kewajiban, sehingga anak-anak yang tidak ingin memakai hijab harus menjelaskannya kepada guru atau kepala sekolah, bagi siswi non-muslim.

Padahal, siswi non-muslim juga berhak memiliki opsi tersebut, untuk membuat keputusan secara sadar tanpa menerima tekanan untuk memakai hijab. Pasalnya, kebanyakan dari mereka secara otomatis menggunakan hijab layaknya sesuatu yang harus dilakukan, dan orang tuanya tidak keberatan.

Diskriminasi itu juga berlaku di sejumlah instansi. Dalam wawancara bersama HRW, dosen di sebuah perguruan tinggi negeri Jakarta memilih mengundurkan diri, setelah didesak lingkungannya untuk memakai hijab, lewat sejumlah komentar yang mempertanyakan dirinya tidak menutupi aurat sebagai seorang muslimah.

Keragaman tafsir dari peraturan yang menyebutkan penggunaan busana muslim ataupun pakaian yang sopan, kerap berakhir pada tindakan diskriminatif seperti itu. Ditambah citra “perempuan baik” yang terpancar, ketika hijab digunakan.

Namun, perkara penggunaan hijab lebih baik berangkat dari kesadaran individu, bukan tuntutan masyarakat. Ketika hijab adalah bagian dari seragam, penggunaannya harus dipisahkan dari simbol keagamaan. Sementara ketika hijab menjadi pilihan seseorang, fungsinya bukanlah sebuah sistem yang mengatur.

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.