Kegiatan demonstrasi dan gerakan politik turun ke jalan menjadi terbatas selama pandemi COVID-19 karena adanya berbagai pembatasan aktivitas sosial. Berbagai kampanye di seluruh dunia seperti gerakan #ClimateStrike yang digagas Greta Thunberg telah pindah ke media sosial. Gerakan tersebut kini berubah menjadi #ClimateStrikeOnline, di mana ratusan unggahan konten di media sosial bermunculan setiap minggu.
Poster-poster bernuansa seni di Twitter serta koreografi tari di TikTok telah membantu meningkatkan kesadaran terkait gerakan tersebut, terutama untuk anak muda di seluruh dunia. Mereka melanjutkan gerakan itu dengan cara yang lebih ‘seru’ dan ‘ringan’.
Banyak pelajar terlibat upaya melawan krisis iklim menggunakan video TikTok.
Keberlanjutan dari gerakan ini dan juga kemampuannya untuk menarik perhatian audiens menandakan bahwa pendekatan seni semacam ini bisa menjadi media yang baik bagi aktivisme online.
Aktivisme seni – yang biasanya dilakukan secara luring (offline) pada masa pra-media sosial – menggabungkan aspek kreatif dan emosional dari seni dengan perencanaan strategis yang khas aktivisme politik. Hal ini dilakukan untuk mendorong perubahan bermakna bagi masyarakat di ruang digital.
Apalagi, di negara berkembang seperti Indonesia, praktik aktivisme seni juga kerap mengalami represi oleh negara. Belum lama ini, misalnya, mural di Tangerang, Banten yang mengkritik Presiden Joko “Jokowi” Widodo diminta dihapus karena dianggap tidak sesuai koridor hukum, melecehkan presiden, dan dinilai tidak sesuai dengan “budaya ketimuran”. Karena itu, karya seni digital dianggap bisa memberikan ruang alternatif bagi masyarakat untuk melanjutkan gerakan politiknya.
Ketiga contoh di bawah ini menunjukkan bagaimana karya seni dapat membantu menciptakan percikan perubahan dan menumbuhkan rasa keterlibatan politik seiring berpindah ruang ke dunia maya di tengah pandemi.
Menggugah Emosi, Menumbuhkan Partisipasi
Aktivisme berbasis karya seni digital memiliki kemampuan untuk membantu kita menyalurkan rasa penderitaan, trauma, dan amarah menjadi pesan-pesan yang menggugah.
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa sentuhan khas ini bisa mendorong keterlibatan dan partisipasi aktif dari masyarakat – dari aktivisme terkait hak asasi manusia (HAM) hingga kampanye melawan diskriminasi dan ketimpangan ekonomi.
Danelle Coke, ilustrator berusia 25 tahun dari Atlanta di Amerika Serikat (AS), misalnya, mengunggah berbagai karya lukis digital di Instagram untuk menyuarakan isu-isu penting seperti rasialisme yang mengakar di negaranya.
Meskipun ia telah mengkritik banyak orang karena tidak memberikan kredit atau atribusi pada dia, karya-karyanya telah banyak disebut dan dibagikan pada masyarakat luas serta digunakan untuk mendukung beragam gerakan politik seperti #BlackLivesMatter.
Misalnya, beberapa karya yang ia buat membahas kasus Ahmaud Arbery dan George Floyd - dua warga AS berkulit hitam yang dibunuh oleh polisi dalam dua insiden berbeda. Karya seni milik Coke kemudian telah digunakan ribuan orang untuk menyampaikan rasa amarah mereka terhadap rasialisme di berbagai institusi penegakan hukum AS.
Baca juga: Tertarik Aktivisme, Tapi Mulai Dari Mana?
Contoh lain adalah poster ikonik yang berjudul “ballerina and the bull” (sang balerina dan banteng). Karya tersebut, yang diciptakan oleh Micah White dari majalah anti-konsumerisme bernama Adbusters, memainkan peran yang signifikan dalam gerakan Occupy Wall Street (Duduki Wall Street). Wall Street adalah sebuah area keuangan penting di New York. Gerakan demonstrasi politik tersebut berupaya melawan ketimpangan ekonomi di AS.
Poster tersebut mengontraskan citra patung banteng Wall Street – sebagai simbol dari dinamika kapitalisme – dengan “ketenangan jiwa” dari seorang penari balet. Berbagai detail tersebut, bersamaan dengan sosok-sosok misterius di latar belakang poster, membantu menanamkan rasa ketakutan maupun urgensi terkait kondisi ketimpangan ekonomi di AS. Ini mendorong banyak orang untuk berpartisipasi, atau setidaknya menjadi sadar tentang adanya gerakan #OccupyWallStreet.
Surat kabar The New York Times menyebutkan dalam suatu artikel bahwa meskipun poster yang dimuat dalam majalah tersebut tidak sepenuhnya menyebabkan timbulnya rasa frustrasi yang dirasakan para demonstran, hal itu ikut berperan besar membentuk citra estetis dari gerakan tersebut.
Mempertahankan Kompleksitas dari Performa Teatrikal
Pandemi COVID-19 telah menyebabkan banyak gerakan seni untuk bermigrasi ke ruang digital. Salah satu contohnya adalah pameran “Conexion: Art and Activism in Oaxaca” yang diselenggarakan pada akhir 2020. Conexion Oaxaca adalah pameran digital yang interaktif dari sekumpulan mahasiswa program studi Amerika Latin. Awalnya, pameran itu direncanakan sebagai salah satu pertunjukan di Museum Seni Newcomb di Louisiana, AS. Pameran digital ini mengangkat isu-isu seputar kekerasan berbasis gender, akses untuk pendidikan, keadilan migrasi, serta ketimpangan ekonomi.
Akibat pandemi, pameran ini berubah bentuk menjadi situs web yang sepenuhnya interaktif dan memandu audiens menjelajahi beberapa tema berbeda yang berbentuk karya majalah, seni tenun, dan film dokumenter.
Tetapi, mengadakan pameran digital seperti ini secara umum bukanlah hal yang mudah. Praktik menyelenggarakan pameran seni secara online pernah dikritik karena gagal membawa apa yang disebut filsuf Jerman bernama Walter Benjamin sebagai “aura seni yang autentik” – suatu pengalaman sensoris yang muncul saat suatu karya seni benar-benar ditunjukkan dalam ruang dan waktu yang secara nyata kita rasakan.
Meskipun demikian, pertumbuhan media sosial telah membantu pameran online untuk memenuhi beberapa prinsip mendasar dari seni; yakni harus tampak secara visual, adaptif, serta membawa suatu gagasan yang bisa ditangkap dan disebarkan oleh audiens.
Bahkan, saya berpendapat bahwa pengalaman dari menghadiri pameran digital justru semakin kaya. Pasalnya, dengan demikian karya seni bisa diputar ulang dan dipelajari secara mendalam, kapan pun kita inginkan, serta oleh beragam jenis audiens.
Ajarkan Aktivisme Berbasis Seni pada Mahasiswa
Suatu cara yang efektif untuk memopulerkan aktvisme berbasis karya seni digital di antara mahasiswa dan anak muda adalah dengan menanamkannnya dalam sistem pendidikan tinggi. Sayangnya, di berbagai negara berkembang, seni masih menjadi mata kuliah atau program studi yang masih sangat terpusat pada jurusan tertentu. Sementara itu, gerakan aktivisme juga kebanyakan baru diajarkan di fakultas yang mengajarkan ilmu sosial atau humaniora.
Baca juga: Gerakan Mahasiswa: Mobilisasi Cepat, Perjuangannya Sulit Berlanjut
Untuk melengkapi metodologi ilmiah yang kini banyak dipakai di universitas, kampus perlu melembagakan pelajaran terkait seni ke dalam kurikulum berbagai departemen agar menjadi suatu tradisi keilmuan yang penting dalam pendidikan tinggi.
King’s College London di Inggris, misalnya, telah mengembangkan modul interdisipliner berjudul “Seni dan Aktivisme di Era Digital” untuk diterapkan di seluruh program studi. Kampus tersebut juga berkolaborasi dengan seniman lokal serta memberikan dana hibah untuk proyek seni digital yang bisa digunakan bahkan oleh mahasiswa di luar Fakultas Humaniora.
Jika kita ingin pendidikan tinggi untuk memiliki dampak sosial sebesar-besarnya, mahasiswa perlu berlajar bagaimana menyerap dan mengekspresikan pengalaman dari berbagai kejadian di sekitar mereka. Aktivisme berbasis seni adalah strategi sekaligus praktik kreatif untuk menyalurkan gagasan-gagasan kritis mereka agar lebih bermakna dan membawa perubahan.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Comments