Dalam perjalanan dengan kereta api ekonomi Surabaya-Yogyakarta, aku bertemu dengan perempuan Jawa dan laki-laki bule. Mereka persis duduk di depan kursiku. Keduanya tampak akrab. Tidak membawa banyak barang banyak bawaan, kecuali tas ransel, dua nasi bungkus, dan botol minuman. Sebenarnya, mereka tak menarik-menarik amat, sampai akhirnya masing-masing mulai membuka mulut. Astaga, mereka ngobrol dengan Bahasa Mandarin.
Mendadak pikiranku melayang ke masa lalu. “Cina”, “Hei, meme Cina”, “Cina Komunis”. Begitu aku biasa dipanggil orang di jalan-jalan di kota kelahiranku, Sampit, Kalimantan Tengah. Sambil tertawa-tawa, mereka menirukan ucapan Cina, “Cing cua la, cing cua la.”
Tak hanya sampai di situ, kadang aku juga dilempari batu atau dicolek-colek di jalanan. Kadang aku melawan atau membalas perlakuan tak menyenangkan aku. Namun, aku lebih sering diam. Alasannya satu: Aku takut. Jika melawan, kemungkinan mereka akan lebih beringas menghina identitasku sebagai orang Cina.
Ledekan rasis itu terus aku terima, setidaknya hingga di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Mereka makin kreatif memberi hinaan. “Ngapain sih anak Cina sekolah di sini. Dasar meme Cina Komunis,” begitu kata mereka. Biasanya dilanjutkan dengan derai tawa dari mayoritas orang di sekolah. Tak ada yang membelaku saat itu. Sebagai satu-satunya perempuan Tionghoa di sekolah, aku tak punya cukup keberanian melawan mayoritas.
Baca juga: Perempuan Keturunan Tionghoa Pecah Pembungkaman Pemerkosaan Massal 1998
Aku besar di era Orde Baru, dan ini adalah bencana. Sejarah cuma mengajari kami soal kebencian. Kebencian terhadap Partai Komunis Indonesia, juga kebencian terhadap orang Cina. Celakanya aku adalah orang Cina.
Lamunanku tersentak saat dua orang di depanku makin asyik ngobrol dengan Bahasa Mandarin. Aku sangat ingat, zaman Sekolah Dasar (SD) dulu, aku dan dua orang sepupu pernah belajar Bahasa Mandarin. Kami les di rumah bekas guru Bahasa Mandarin di sekolah Tionghoa Sampit. Belum dua bulan, pelajaran itu mendadak dihentikan. Kami dilarang belajar atau bermain di rumah ibu guru tersebut.
Belakangan aku baru tahu, ibu guruku mendapat ancaman dari tentara karena membuka tempat les Bahasa Mandarin.
Rasa takut guru Bahasa Mandarin itu menular padaku. Dalam hati aku bertekad, tak mau belajar bahasa itu lagi, karena terasa sangat traumatis. Bahasa Mandarin mengingatkanku pada diskriminasi dan rasisme yang jadi langgananku sejak kecil. Bahasa Mandarin membuatku membayangkan Suharto dengan kebijakannya yang tak inklusif bagi kami, orang-orang Cina. Pada akhirnya, aku tak paham satu pun kosa kata Bahasa Mandarin karena hal ini.
Bahkan setelah Suharto jatuh, ketika tempat-tempat kursus Bahasa Mandarin mulai bermunculan di Surabaya, aku tetap enggan mempelajarinya. Guru-guru les Bahasa Mandarin mudah dicari. Tetanggaku, biasa aku panggil ai’i menawari les Bahasa Mandarin bersama anaknya. Spontan, aku langsung menjawab tidak. Tanpa berpikir.
Baca juga: Luka Turun-temurun Tionghoa Indonesia
Tak terasa, kereta sampai di Madiun. Kurang lebih sudah empat jam aku dalam kereta. Kereta berhenti sebentar, menurunkan dan mengakut penumpang yang baru. Dari balik jendela, kuperhatikan wajah orang-orang di stasiun itu. Tak kujumpai wajah serupa aku. Apakah aku memang berbeda?
Kemudian, kusapu gerbong kereta. Aku mencari-cari si mata sipit, hidung pesek, dan kulit kuning. Aku mencari tanda-tanda kecinaan di wajah orang-orang di gerbong ini. Tak ada. Aku sendirian, ah tapi bukankah aku sudah biasa sendirian dan menjadi minoritas?
Kereta kami mulai berjalan meninggalkan Madiun. Kuperhatikan lagi dua orang muda di depanku ini. Kembali aku sibuk berpikir, siapa orang Cina di antara mereka, perempuan Jawa atau lelaki bule? Ah kenapa pula aku sibuk mempertanyakan kecinaan orang. Apakah karena orang masih saja menghantuiku dengan pertanyaan, “Mbak orang Cina ya?”
Memangnya kenapa, sih jika aku orang Cina? Apa keringat orang Cina berbeda dengan keringat orang Indonesia pada umumnya? Apa bahasa Indonesia yang aku pakai tak cukup menunjukkan bahwa aku sama seperti mereka? Apa ketika aku duduk makan makanan Melayu, sambal acan, daun singkong, dan udang goreng, aku tetap tak layak disebut sebagai orang Indonesia?
Tidak tahan membiarkan pikiranku berjalan-jalan sendirian, aku ngobrol dengan orang di depanku. Rupanya si perempuan adalah penerjemah Bahasa Mandarin. Dia orang Jawa, asal Surabaya, dan bekerja di Semarang. Sementara, si bule adalah orang Polandia yang bekerja di Kedutaan Besar Polandia di Cina. Mereka bertemu di Beijing dan berkawan karib sejak sama-sama kuliah Bahasa Mandarin di Cina.
Baca juga: Ketika Kita Diwariskan Trauma dan Bagaimana Mengatasinya
Mereka mengajakku berbahasa Mandarin selama mengobrol. Aku segera membalas, “Sorry, saya tidak bisa berbahasa Mandarin.” Lelaki bule bernama Krzys itu heran kenapa orang Cina sepertiku gagap Bahasa Mandarin. Lalu meluncurlah dari mulutku kisah sejarah anti-Cina dan berbagai larangan yang mengatur orang Tionghoa. Dia mencoba bersimpati.
Tak terasa keretaku sudah sampai di Yogyakarta. Kusalami kedua teman baruku dan bergegas mencari taksi untuk pulang. Belum duduk lima menit dalam taksi, sopir bertanya, “Mbak orang Cina atau orang Indonesia?”
Tiba-tiba aku kangen sekali pada mamaku. Tempat paling aman di dunia di mana ia tak pernah bertanya siapa aku atau apa identitasku. Sosok yang mengajarkan bahwa nilai diriku bukan karena aku sipit, pesek, dan berkulit kuning. Orang yang selalu mengingatkanku untuk berani, termasuk berani mengakui pada diriku sendiri. Bahwa siapapun yang menandaiku sebagai orang Cina, maka aku bisa saja menjadi orang Cina untuknya. Sebab, dicina-cinakan tak lagi menakutkanku.
Tak ada kebencian dan sakit hati. Memang benar kata Amin Maalouf, penulis In the Name of Identity yang bukunya kerap menemaniku. Identitas itu ilusi yang mengajak orang membuat klaim tentang belonging. Kutarik selimut di ujung kakiku. Kututupi badanku. Waktunya tidur dan bermimpi indah.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Comments