Women Lead Pendidikan Seks
February 02, 2021

Manfaatkan Akun Lambe Turah untuk Beri Sanksi Sosial Pemerkosa

Sebuah ide untuk memanfaatkan akun gosip seperti Lambe Turah untuk mengungkap identitas dan memberikan sanksi sosial kepada pemerkosa.

by Pratiwi Juliani
Issues
online dating fuckboy
Share:

Seorang wakil rakyat lima periode di Mataram, Nusa Tenggara Barat, memperkosa anak perempuannya sendiri ketika sang ibu tengah menjalani perawatan di rumah sakit setelah terjangkit virus COVID-19. Siapa nama pemerkosa tersebut? Seperti apa wajah setan pemerkosa itu? Namanya AA. Hanya AA. Saya berkeliling berbagai media berita daring untuk menemukan identitas lengkap sang pemerkosa, yang muncul hanya AA.

Saya kemudian berselancar di Instagram dan berbuah hasil. Satu akun gosip berhasil mengungkap wajah pemerkosa, namun namanya masih AA.

Wajah si pemerkosa itu kemudian saya bagikan di Facebook, lengkap dengan tautan berita dan permintaan agar teman-teman membantu menjadikan berita itu viral. Hasilnya? Minim respons. Beberapa teman perempuan berkomentar marah, dan seorang teman lelaki menanggapinya dengan guyon. Ya, guyonan di kasus pemerkosaan. Sisanya tidak peduli, padahal mereka sering berkomentar panjang lebar meskipun saya hanya membagikan hal tidak penting.

Sepertinya akan lain soal jika saya membagikan gosip atau tautan video asusila artis, pasti ramai. Kurang dari 24 jam mereka akan tahu, siapa artis tersebut, dan tentu saja yang disoroti habis-habisan artis perempuan, ya.

Identitas Pelaku Kejahatan Seksual Wajib Dipublikasikan

Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan bersama dengan beberapa menteri terkait telah menetapkan per Mei 2016 bahwa identitas pelaku kejahatan seksual wajib dipublikasikan. Pemerkosaan dan pencabulan adalah jenis kejahatan yang berada jauh di luar nilai kemanusiaan. Namun, mengapa hingga sekarang media kita masih saja menggunakan inisial bagi pemerkosa? Apa yang mendasari mereka masih bertahan di level kepenulisan dan pemberitaan yang itu-itu saja ketika berhadapan dengan pemerkosa?

Baca juga: Akhiri Budaya Pemerkosaan di Indonesia

Membandingkannya dengan respons sebagian besar teman-teman Facebook saya, yang sepertinya tidak terlalu tertarik pada gagasan menciptakan keadilan bagi penyintas pemerkosaan dengan cara berbondong-bondong memberikan sanksi sosial, apakah bisa dikatakan bahwa media berita kita adalah cerminan ketidakpedulian masyarakat itu sendiri? Seperti, ngapain, sih, capek-capek menuliskan keterangan lengkap untuk berita yang tidak populer?

Memang, keadilan bukanlah isu yang menarik bagi banyak orang. Siapa, sih, yang mau bersusah payah turut menghukum pemerkosa? Barangkali masih lebih asyik membagikan video perempuan yang dihukum cambuk karena kedapatan bermesraan. Atau, masih banyak isu lain yang lebih seksi, misalnya beramai-ramai menghakimi perempuan yang tidak sengaja membocorkan rekaman video pribadinya.

Ada beberapa pengecualian saat identitas pemerkosa dan pelecehan seksual dikuliti habis-habisan oleh warganet. Sebut saja pemerkosa Reynhard Sinaga dan Gilang "Bungkus". Namun, bukan dorongan ingin menegakkan keadilan bagi korban yang mendorong masyarakat kita untuk mempermalukan pelaku, melainkan keasyikan bergosip yang terkandung di dalamnya.

Baca juga: YouTuber Hina Transpuan: Natural Belum Tentu Benar

Seperti yang kita tahu, Reynhard Sinaga dan Gilang menyasar laki-laki sebagai korban. Untuk negara kita, tempat kelompok minoritas seksual masih ditolak keras oleh sebagian besar warganya dan bahkan dipersekusi, kasus ini teramat menyenangkan untuk digunjingkan. Pada kedua kasus tersebut, pembongkaran identitas pemerkosa hanyalah efek samping dari kegiatan menyenangkan masyarakat Indonesia: Menjadikan kelompok LGBTQ sebagai gosip dan lelucon.

Budaya Patriarki Lindungi Pemerkosa

Jika ingin dicari simpulnya, langkanya sanksi sosial bagi pelaku dan keadilan sosial bagi korban pemerkosaan adalah akibat budaya patriarki yang sangat mengakar. Mereka yang tidak bisa menjaga vaginanya dianggap aib, meskipun bukan mereka itu sendiri yang merusaknya (saya harus menuliskannya meskipun saya menentangnya, karena bagi saya, vagina tidak bisa rusak di mata sosial).

Pelaku kekerasan seksual sangat jarang dipermalukan. Bahkan dalam kasus AA, barangkali kejahatan ini kelak akan ditutupi oleh keluarganya sendiri, sebab mereka khawatir terungkapnya identitas AA berarti terungkap juga identitas korban yang merupakan anak pemerkosa. Hal  demikian diamini kelak akan merusak "nilai jual" perempuan korban perkosaan di masyarakat.

Ketakutan ini bukan tidak beralasan; sumbernya adalah ketidakmampuan masyarakat kita untuk berfokus menghakimi pelaku. Masyarakat kita entah bagaimana selalu lebih tertarik pada hiburan yang ada di balik setiap kasus, seperti berapa usia korban, di mana ia bersekolah, apakah ia cantik atau tidak, atau apakah ia menjadi korban karena tidak berdaya melawan pelaku.

Dengan ponsel jadul saja akun Lambe Turah tidak perlu waktu lama untuk mengungkap pacar-pacar baru artis-artis Indonesia. Tentu akan mudah saja bagi akun seperti ini untuk mengungkap identitas lengkap pemerkosa.

Ketertarikan pada aspek hiburan ini tidak disertai kesadaran pikiran untuk melindungi penyintas. Penyintas dikuliti sampai habis identitasnya, sementara identitas pelaku tenggelam begitu saja. Dengan ketimpangan investigasi demikian di masyarakat, maka jangan heran jika banyak penyintas pemerkosaan yang tidak berani bersuara. Sistem sosial hanya punya satu solusi basi untuk ditawarkan pada korban: Dilupakan akan lebih baik.

Luka korban bertambah saat dokumen pribadinya tersebar dan dijerat pasal karet sebagai konten asusila atau pornografi. Juga jika penyintas aktif berkegiatan di malam hari dengan gaya berpakaian yang modis. Motornya sama: Masyarakat patriarkal menganggap bahwa perempuan yang tidak bisa menjaga vaginanya adalah aib. Dalam hal ini, yang sengaja tidak menjaganya harus dihukum.

Andai masyarakat kita berhenti mengaitkan vagina dengan nilai jual dan rasa malu, tentu lebih mudah bagi kita untuk menuding pemerkosa tepat di depan mata. Andai masyarakat kita sadar ke mana pikiran kita harus berfokus pada saat pemerkosaan terjadi. Andai kita semua rajin mengorek dan membeberkan informasi pemerkosa meskipun tidak ada isu LGBTQ di baliknya. Andai timbangan kita berat pada keinginan menegakkan keadilan bagi penyintas, bukan sekadar berat pada mencari penghiburan dari kemalangan orang lain.

Sayangnya, masyarakat kita tidak.

Baca juga: Magdalene Primer: Kriminalisasi Korban Pemerkosaan

Manfaatkan Akun Gosip untuk Beri Sanksi Pemerkosa

Namun, mengingat kehausan masyarakat kita pada hiburan tidak bermutu, dan temuan saya pada satu akun gosip Instagram yang berani mengungkap wajah pemerkosa AA, saya mendapatkan sebuah ide. Dibandingkan mengedukasi masyarakat dengan imbauan-imbauan membosankan seperti yang saya tuliskan ini, bagaimana jika Indonesia memiliki akun gosip seperti Lambe Turah yang berfokus khusus untuk mengorek identitas pemerkosa?

Dengan ponsel jadul saja akun itu tidak memerlukan waktu lama untuk mengungkap pacar-pacar baru artis-artis Indonesia. Tentu akan mudah saja bagi akun seperti Lambe Turah untuk mengungkap identitas lengkap pemerkosa, plus kelakuan-kelakuan bejatnya sejak dari zaman Orde Baru hingga era Kerja, Kerja, Kerja!

Bayangkan jika profil pemerkosa digaungkan dengan keterangan bagaimana teganya si pemerkosa mengkhianati keluarganya, atau kebiasaan-kebiasaan pemerkosa yang disajikan dengan kalimat-kalimat nyinyir, barangkali warganet kita akan dengan semangat membagikannya. Efek samping yang diharapkan pun terjadi: Pemerkosa mendapat sanksi sosial. Wajahnya akan tersebar di mana-mana.

Tapi kembali lagi, semua itu hanya bisa terwujud jika kita bisa berhenti merasa berhak memberikan nilai atas vagina.

Pratiwi Juliani lahir di Kalimantan Selatan, memiliki taman baca gratis yang bergerak dalam misi mengenalkan dan meningkatkan minat baca untuk anak dan perempuan di desa-desa terpencil di provinsi tersebut. Telah menerbitkan dua buku “Atraksi Lumba-lumba dan Cerita Lainnya” (KPG) dan “Dear Jane” (KPG). “Dear Jane” menjadi satu-satunya naskah novel yang lolos kurasi Ubud Writers and Readers Festival 2018.