Women Lead Pendidikan Seks
November 09, 2022

Ramai-ramai Tinggalkan Twitter Era Elon Musk, Memang Semudah itu?

Banyak orang mulai hijrah dari Twitter, tapi semudah itukah memindahkan jaringan komunitas kita ke platform yang baru?

by Casey Fiesler
Lifestyle
Share:

Saat Elon Musk resmi mengakuisisi Twitter dengan nilai US$44 miliar (sekitar Rp690 triliun) pada 27 Oktober 2022, ia bilang, “sang burung kini bebas” (“the bird is freed”). Kebebasan itu ternyata belakangan justru menjadi alasan untuk ‘terbang’ ke platform lain.

Selama 48 jam berikutnya, misalnya, saya melihat banyak sekali orang di linimasa Twitter saya mengumumkan akan hengkang dari platform ini, atau setidaknya sedang bersiap-siap untuk pergi. Tagar #GoodbyeTwitter, #TwitterMigration, dan #Mastodon kemudian menjadi populer. Mastodon, platform jejaring sosial yang bersumber terbuka (open source) dan terdesentralisasi, mencatat kenaikan lebih dari 100.000 pengguna baru hanya dalam beberapa hari, berdasarkan hitungan suatu bot.

Sebagai peneliti ilmu informasi yang mengkaji komunitas daring, saya melihat migrasi media sosial seperti ini bukanlah hal baru. Platform medsos biasanya memang tidak bertahan selama-lamanya. Tergantung umur dan kebiasaan daring Anda, kemungkinan ada beberapa platform yang Anda lewatkan atau yang pernah Anda gunakan dulu dan masih eksis sampai sekarang, walaupun dalam tampilan yang berbeda, seperti Space, LiveJournal, Google+, dan Vine.

Ketika platform medsos tumbang atau popularitasnya menurun, terkadang para komunitas yang ada di sana pelan-pelan hilang, kadang juga mereka berpindah ke platform yang lain. Gejolak di Twitter saat ini menyebabkan banyak penggunanya mempertimbangkan untuk meninggalkan platform tersebut.

Beberapa riset terkait migrasi platform medsos di masa lalu menunjukkan beberapa kemungkinan dan tantangan yang bisa muncul ke depannya bagi para netizen yang memutuskan untuk pindah.

Akuisisi Twitter oleh Elon Musk menyebabkan gejolak di dalam internal perusahaan dan juga membuat banyak pengguna mempertimbangkan untuk meninggalkan platform tersebut.

Beberapa tahun lalu, saya memimpin proyek riset dengan Brianna Dym dari University of Maine, Amerika Serikat (AS). Kami memetakan migrasi platform dari hampir 2.000 orang selama periode hampir dua dekade. Komunitas yang kami amati adalah ‘transformative fandom’ – para kelompok penggemar serial budaya populer dan sastra yang kemudian membuat karya seni dan fiksi penggemar (fan fiction) menggunakan karakter-karakter dan latar-latar tersebut.

Kami memilih ini karena jaringan komunitas tersebut cukup besar dan telah berkembang di berbagai ruang daring yang berbeda. Beberapa orang yang sama yang menulis fan fiction serial Buffy the Vampire Slayer di Usenet pada tahun 1990-an, juga menulis fan fiction Harry Potter di platform LiveJournal pada tahun 2000-an dan fan fiction Star Wars di Tumblr pada tahun 2010-an.

Dengan menanyakan para partisipan tentang pengalaman mereka berpindah platform – kenapa mereka pergi, kenapa mereka memilih platform tertentu, dan tantangan yang mereka hadapi saat melakukannya – kita bisa melihat faktor-faktor yang bisa jadi menentukan sukses atau gagalnya sebuah platform. Kita juga bisa melihat apa saja konsekuensi negatif yang berpotensi dihadapi komunitas saat melakukan migrasi.

Baca juga: Benarkah Twitter Bikin Kita Lebih Mudah Marah?

“Kamu Aja Dulu”

Terlepas dari seberapa banyak orang yang pada akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Twitter, dan meski mereka memutuskan hijrah secara bersamaan, menciptakan komunitas di platform lain adalah perjuangan yang cukup menantang. Migrasi seperti ini sebagian besar didorong oleh efek jaringan. Artinya, nilai dari platform baru tergantung dari siapa saja yang sudah ada di sana.

Pada tahap-tahap awal migrasi yang merupakan momen kritis, pengguna harus berkoordinasi dengan satu sama lain untuk saling mendorong kontribusi di platform baru. Ini adalah hal yang cukup sulit. Pada akhirnya, ini menjadi – dalam kata-kata salah satu partisipan kami – apa yang disebut dalam teori permainan (game theory) sebagai ’game of chicken‘. Di sini, tidak ada yang ingin pindah sebelum teman-temannya pindah, dan tidak ada yang mau menjadi yang pertama karena takut mereka akan sendirian di platform baru tersebut.

Untuk alasan ini pula, 'kematian’ suatu platform – entah karena kontroversi, tidak disukai, ataupun efek kompetisi – sering kali merupakan proses yang lambat dan bertahap. Seorang partisipan menjelaskan turunnya popularitas Usenet layaknya “mengamati suatu mal yang makin hari makin sepi sampai akhirnya tutup”.

Baca Juga:  Kekeyi dan Tajamnya Lidah Warganet di Media Sosial

Rasanya Takkan Sama

Dorongan beberapa pihak untuk meninggalkan Twitter mengingatkan saya tentang larangan konten dewasa di Tumblr pada tahun 2018. Jauh sebelum itu, saya juga teringat perubahan kebijakan serta pergantian kepemilikan LiveJournal pada tahun 2007.

Orang-orang yang meninggalkan LiveJournal dan pindah ke platform lain, seperti Tumblr, mengatakan bahwa mereka merasa agak kurang diterima di sana. Meski Elon Musk tidak serta merta mematikan sistem moderasi konten ketika ia mulai menguasai Twitter pada akhir Oktober lalu, ada kenaikan tingkat ujaran kebencian (hate speech) di platform tersebut. Beberapa pengguna nampaknya merasa lebih berani untuk melanggar kebijakan konten platform karena menganggap akan ada beberapa perubahan besar di bawah rezim Musk.

Jadi, apa yang mungkin terjadi jika banyak pengguna Twitter memutuskan untuk pergi?

Yang membuat Twitter khas bukanlah teknologinya, melainkan dinamika dan susunan interaksi yang terjadi di platform tersebut. Peluangnya nol bahwa pengalaman di Twitter, seperti yang ada sekarang, bisa direkonstruksi kembali di platform lain.

Migrasi medsos dalam bentuk apapun kemungkinan akan menghadapi banyak tantangan yang sebelumnya mewarnai proses migrasi platform di masa lampau: kehilangan konten, komunitas yang terfragmentasi, jejaring sosial yang terputus, hingga norma komunitas yang bergeser.

Namun, Twitter bukanlah satu komunitas saja – ia merupakan koleksi banyak komunitas dengan norma dan motifnya masing-masing. Beberapa komunitas bisa jadi lebih mudah bermigrasi ketimbang komunitas lain.

Misalnya, bisa jadi komunitas K-Pop di Twitter mengkoordinasi perpindahan ke Tumblr. Saya juga melihat sejumlah besar komunitas akademik di Twitter mengkoordinasi perpindahan ke Mastodon. Komunitas lain bisa jadi sejak awal sudah hadir di platform Discord dan Reddit, lalu tinggal menunggu aktivitas mereka di Twitter memudar seiring berkurangnya perhatian orang terhadap komunitas mereka di sana.

Tapi, seperti temuan riset kami, proses migrasi selalu ada pengorbanannya. Bahkan bagi beberapa komunitas yang relatif kecil, beberapa orang tetap akan tersesat dan hilang akibat proses migrasi.

Baca Juga:  Hentikan Debat Kusir dan BuzzeRp: 6 Tips Berargumen di Media Sosial

Ikatan Komunitas

Riset yang kami lakukan juga menunjukkan beberapa rekomendasi desain untuk mendukung proses migrasi, dan juga gambaran bagaimana suatu platform bisa memanfaatkan pudarnya minat di platform lain.

Fitur untuk mengunggah secara lintas platform (cross-posting) menjadi cukup penting untuk memuluskan jalan mereka yang masih menimbang-nimbang. Mereka bisa jadi masih enggan untuk sepenuhnya memutus relasi dengan platform lama, tapi tertarik untuk mencoba platform baru dengan cara membagikan konten yang sama di dua tempat sekaligus.

Mengimpor jaringan mereka dari platform lama juga membantu pengguna untuk mempertahankan komunitas mereka. Misalnya, ada beberapa cara bagi pengguna baru di Mastodon untuk menemukan orang-orang yang mereka ikuti di Twitter. Bahkan pesan-pesan ‘selamat datang’ yang sederhana, panduan bagi pengguna baru, dan cara-cara mudah unntuk menemukan pengguna baru lainnya bisa sangat membantu memuluskan proses perpindahan.

Dalam hal ini, penting juga untuk mengingat platform memang secara sengaja mempersulit proses migrasi. Tidak ada insentif bagi mereka untuk membantu para pengguna pindah. Sebagaimana yang ditulis wartawan teknologi kawakan Cory Doctorow, ini adalah “situasi penyanderaan” (hostage situation). Media sosial membujuk orang dengan kehadiran teman-teman mereka, lalu ancaman kehilangan jejaring sosial tersebut membuat mereka bertahan di platform.

Jika pun ada harga yang harus dibayar demi meninggalkan platform, para komunitas bisa jadi sangat tangguh. Layaknya para pengguna LiveJournal dalam studi kami yang berhasil memindahkan jejaring mereka ke Tumblr, nasib Anda tidak selamanya terikat di Twitter.The Conversation

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Casey Fiesler, Associate Professor of Information Science, University of Colorado Boulder.